Ad Code

Cara Memberhentikan Presiden Wakil Presiden dalam Jabatan

Sejak sepuluh tahun lebih, diskursus pemberhentian Presiden sudah mengemuka. Kini juga muncul diskursus pemberhentian Wakil Presiden. Apakah pemberhentian Presiden, Wakil Presiden, atau keduanya sekaligus bisa? Jawabannya ya, salah satu atau sekaligus keduanya sangat bisa diberhentikan dalam masa jabatan. Namun, apabila dilakukan secara konstitusional maka perjalanan panjang wajib ditempuh. Kalau hendak melalui "jalan tol" apakah bisa? Bisa, tetapi mirip-mirip seperti kudeta militer di Thailand asalkan militernya padu. Apakah militer Indonesia seperti Thailand? Saya tidak mau menjawabnya.

Lalu, jalan "tol" lainnya apa? Ya, people power sewaktu dahulu Presiden Soeharto diturunkan dalam masa jabatan konstitusional. Perlu prakondisi yang mendukung, juga pengerahan massa besar, yang sangat sulit untuk hanya dimodali oleh 5 atau 10 konglomerat atau para lumpen elites yang punya uang banyak. Juga konfigurasi politiknya pun berbeda, dulu Soeharto (juga Habibie dan Gus Dur) cuma dipilih oleh segelintir anggota MPR dengan jumlah ratusan orang (mungkin). Saat ini, siapa pun presiden dan wakil presiden Indonesia (itu satu paket) dipilih langsung oleh jutaan orang. Pro dan kontra pemberhentian antara massa rakyat yang pro pemberhentian dan kontra pemberhentian akan jadi satu keniscayaan yang dapat saja berpotensi mengarah pada eksplosi partisipasi politik (massa versus massa) yang bukan tidak mungkin -- jika agen-agen asing seperti Mossad, CIA, MI-6 beroperasi -- akan mengarah pada Civil War Pernahkan syahwat kekuasaan para politisi AMATIR Indonesia yang sudah horny untuk berkuasa memikirkan ini? Jawabannya: Tidak. Kekuaasan itu kenikmatan, jalan apa pun dapat saja ditempuh bergantung kadar kesehatan mental mereka: Depresi, Maniak, Skizoprenia, Histeria, Megalomania, Sadistik, Anxiety Disorder, dan sejenisnya. 

Negara yang paling doyan dan "masuk Guinnes Book of Records" sebagai negara yang terbanyak melakukan kudeta atas rezim politik nasionalis negara lain yang tidak mereka sukai --- Amerika Serikat --- kini sedang habis-habisan dana buat membantu "klangenannya" -- Israel -- yang kini tengah dihujani rudal Iran, Suriah, Houthi, dan Hizbullah. Mau bela langsung juga bingung, lirak-lirik dulu masih punya duit yang engga bikin hyper-inflation tidak? Belum lagi wajib melirik tipu-daya Russia, Cina, Korea Utara, Jepang, dan Turki. Tanpa modal kuat (yang jumlahnya mungkin setara dengan hibah rutin tahunan mereka ke Zionis) mustahil mereka bisa bayar komprador lokal Indonesia buat bikin huru-hara. Juga, elit-elit dominan Indonesia (elit beneran bukan mengklaim dirinya elit) apakah tidak terbelah dan relatif satu suara? Atau, apakah Indonesia kini memiliki tokoh yang dapat dijadikan panutan sebagai citizen learder? Jawabannya adalah mudah: Tidak ada. Konfigurasi elit Indonesia kini multipolar dan selalu berubah kesetimbangannya yang bahkan karena dipicu isu-isu kecil. Elit Indonesia sudah tidak punya orientasi ideologis kuat dan common sebagai prasyarat dasar agar mereka menjadi panutan.  

Dan, hal yang terpenting apakah "rakyat" yang memilih Presiden dan Wakil Presiden di paket Pilpres mau pilihan mereka diturunkan di tengah jalan? Jangan-jangan malah nanti memantik konflik horizontal antara massa versus massa dengan elit sipil dan militer masing-masing. Alhasil, bukan pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang terjadi melainkan bellum omnium contra omnes, karena masing-masing massa punya pilihan dan kepentingan politik khas: Massa yang diuntungkan status-quo mati-matian mempertahankan, massa yang tidak diuntungkan status-quo mati-matian menggulingkan. Perang semua melawan semua.  

pemberhentian presiden wakil atau keduanya
Paripurna Kosong, Bagaimana Ini ?
Sumber: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTT21pjzoOgwFd8Ke8E_p2hKqiIy3sP72Mpbg&s

Ketimbang berspekulasi, sesungguhnya konstitusi kita sudah mengatur tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden secara elegan. Pasal 7 UUD 1945 menyatakan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Namun, apabila ada sebagian atau seluruh elit politik sipil dan atau militer (termasuk purnawirawan dan kepanjangan tangan mereka di jajaran militer aktif) yang hendak memberhentikan salah satunya (Presiden atau Wakil Presiden) maka UUD 1945 pun telah mengatur tata caranya.

Pada Pasal 7A UUD 1945 dinyatakan bahwa "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden." Terdapat enam perbuatan dengan mana Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan. Cukup bagi pengusul pemberhentian untuk memenuhi salah satu dari keenam perbuatan dengan bukti valid dan faktual. Nah, jika bukti-bukti telah ditemukan maka bersiap melakukan langkah selanjutnya yaitu seperti termuat dalam Pasal 7B berserta ketujuh ayatnya.

Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden." Jika ketentuan telah terpenuhi maka perjalanan berikutnya wajib dilalui yaitu seperti diterakan oleh Pasal 7B ayat (2).

Pasal 7B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa "Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat." Dalam hal ini DPR memegang kunci bahwa tindakah yang dituduhkan dalam Pasal 7B ayat (1) ada dalam kerangka kerja rutin DPR yaitu melakukan pengawasan, bukan pengawasan yang dilakukan oleh pihak lain misalnya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia atau Ikatan Dokter Indonesia. Keduanya bukan Dewan Perwakilan Rakyat karena DPR dipilih langsung orang konstituen dalam Pemilu Resmi sementara pengurus HNSI dan IDI hanya oleh para anggotanya saja. Lanjut, anggaplah DPR memutuskan bahwa dalam rangka kerja pengawasan mereka memutuskan tuduhan dapat dibuktikan, maka perjalanan pun harus dilanjutkan.

Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa "Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat." Di sini tarik-menarik dan manuver politik baik dari Presiden dan atau Wakil Presiden maupun dari para pihak yang ingin memberhentikan mereka harus mampu menjamin terselenggaranya dukungan 2/3 anggota DPR yang hadir menyetujui permintaan kepada MK untuk memproses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden. Anggaplah, 2/3 anggota DPR -- dengan aneka alas an dan kepentingan setuju untuk mengajukan permintaan -- tetapi proses belum selesai, karena jalan berikut harus dilalui.

Menurut Pasal 7B ayat (4) dalam hal permintaan DPR, maka "Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi." Permintaan dari DPR tidak sekonyong-konyong "distempel" oleh MK, terkecuali sudah ada konspirasi antara dua lembaga ini sebelumnya. Namun, katakanlah bahwa MK secara jujur menilai bahwa permintaan DPR layak untuk ditindaklanjuti. Tunggu dulu, Presiden dan Wakil Presiden tidak langsung bisa diberhentikan karena jalan berikut harus dilalui terlebih dahulu.

Pasal 7B ayat (5) menyatakan bahwa "Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat." Prosesnya tidak akan cepat karena para pengacara tergugat (pengacaranya pasti lebih dari satu) akan mengerahkan aneka bukti dalam melakukan counter (apalagi jika fee nya jauh dari lumayan). Baiklah, kita katakan saja MK mengabulkan permintaan DPR, maka DPR harus menyelenggarakan Sidang Paripurna guna membahas usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden atau keduanya sekaligus. Tunggu dahulu, yang memutuskan kedua eksekutif berhenti bukan DPR melainkan MPR, karena MPR Indonesia merupakan "joint-session" DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Sebab itu, perjalanan belum usai dikarenakan usulan pemberhentikan harus melalui langkah berikut.

Pasal 7B ayat (6) menyatakan bahwa "Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut." Jadi, MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD wajib menyelenggarakan sidang seputar usulan pemberhentian tersebut. Dinamika politik pasti Kembali terjadi dan hasilnya sulit diterka. Namun, baiklah kita katakan MPR (DPR + DPD) memutuskan salah satu atau kedua eksekutif harus diberhentikan, maka langkah belum selesai karena Pasal 7B ayat (7) masing mengatur masalah pemberhentian ini.

Pasal 7B ayat (7) menyatakan bahwa "Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat." Dalam negara hukum (rechtstaat) sesalah-salahnya Presiden, Wakil Presiden, atau sekaligus keduanya, konstitusi tetap memberi kesempatan guna memberikan penjelasan atas dakwaan yang ditujukan atas diri mereka.  Inilah langkah final pemberhentian Presiden, Wakil Presiden, atau keduanya.

Kejadian seperti tersebut dalam Pasal 7B ayat (7) pernah ada presedennya di Indonesia. Pertama, sewaktu Presiden Sukarno memberikan penjelasan dalam pidatonya Nawaksara, yang ternyata ditolak oleh MPRS saat itu yang dipimpin Jenderal (aktif) Abdul Haris Nasution karena suasana kebatinan massa rakyat dan MPRS sudah di titik asal kontra Sukarno. Juga hal ini pernah terjadi kedua kalinya di masa jabatan Presiden BJ Habibie tahun 1999, dalam mana di Sidang Istimewa pidato penjelasan beliau ditolak melalui voting. Di sini juga suasana kebatinan saat itu sudah di titik asal kontra Habibie. Kendati ada preseden, masing-masing peristiwa memiliki ruang, waktu, dan kondisinya yang khas. 

Saat pidato penjelasan Presiden Sukarno ditolak, ruang politik saat itu sudah hampir sepenuhnya dikuasai elemen anti Komunis dan anti Sukarno. Akibatnya, kendati terdapat penolakan dari sejumlah perwira militer loyalis Sukarno, penolakan MPRS disusul pemberhentian Presiden Sukarno berlangsung 90% mulus. Kedua, pada saat pidato penjelasan Habibie, yang kendati sangat rasional dan masuk akal, "terpaksa" harus ditolak karena ruang, waktu, dan kondisi saat itu tengah disesaki oleh "aroma" anti segala yang berbau Soeharto. Dengan demikian, kendatipun Habibie banyak melakukan pembaruan di aneka bidang dan berhasil memperkuat Rupiah (kendati dalam proses, tetapi arahnya jelas) tetap saja pidato pertanggung-jawaban beliau ditolak secara "emosional." Ketiga, sewaktu Gus Dur dikeroyok barisan Amien Rais dan Megawati dengan trigger Brunei-Gate yang sebenarnya disebabkan belum dewasanya para wakil rakyat dalam menilai suatu kebijakan Gus Dur: Anak TK melengserkan "Wali." Kini Amien Rais jadi gelandangan politik (prediksi Gus Dur) dan Megawati tersuruk di antara apakah memilih anak dari suami pertama atau suami kedua sebagai suksesornya: Pusing kepala, itu pasti. 

Ruang, waktu, dan kondisi era Prabowo-Gibran apakah seperti itu? Di Jawa Tengah saja, Prabowo-Gibran menang telak atas calon PDIP, sehingga apakah surat dari "segelintir" orang saja mampu memberhentikan sang wakil yang dipilih jutaan orang di provinsi tersebut? Di Aceh, Sumatera Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Jawa Barat, mungkin konflik horizontal akan minim, tetapi provinsi di Indonesia kan tidak hanya segelintir itu. 

Juga, pada saat menjalankan proses pemberhentian Presiden, Wakil Presiden dan atau keduanya negara harus tetap berjalan. Para Menteri harus bekerja sesuai bidang tugasnya. Kita tidak tahu kementerian mana yang dikapling-kapling antara Prabowo dan Gibran untuk mengelolanya. Hal ini belum termasuk perpanjangan pendukung setiapnya baik di DPR maupun DPD (MPR sekadar joint-session). Juga, gaji ASN, APN, dan AKN harus tetap berjalan dan nilainya harus tetap berarti dan ini berkenaan dengan ketersediaan komoditas konsumsi yang mencukupi di dalam negeri. Dengan demikian, inflasi harus tetap dapat dikendalikan. 

Pada lain pihak, seperti terjadi di Iran dengan mana Mossad seenaknya bisa beroperasi dan membunuh petinggi militer Iran. Sementara kita tahu, Iran saja sebagai adalah negara yang punya pengalaman lama diembargo sejak 1979 dan sebab itu nasionalisme mereka tinggi sekali, dan penulis berani berpendapat bahwa nasionalisme pejabat Iran dan rakyatnya jauh lebih tinggi dari Indonesia karena "ketertindasan" yang mereka alami. Sementara di Indonesia, banyak petinggi sipil dan militer yang "merelakan" dirinya jadi centeng kepentingan entah siapa di deretan panjang pagar bambu laut. Sebab itu, infiltrasi asing yang hendak memperkeruh suasana di Indonesia akan sulit diantisipasi. Kepastian investasi di Indonesia harus ada yang bersedia menjamin. 

Para elit pengaju pemberhentian wajib juga memikirkan bahwa masyarakat harus tetap tercukupi suplay sembakonya. Transportasi umum juga harus tetap beroperasi, dan sebab itu penimbunan Pertalite dan Solar harus bisa dijamin agar "tidak ada." Jika persyaratan seperti itu ada yang berani menjamin, maka silakan proses pemberhentian presiden, wakil presiden, dan atau keduanya dilanjutkan karena memang konsitusi Indonesia membuka ruang untuk itu. Jangan ragu-ragu karena semua konsekuensi Anda tentu sudah tahu, bukan?

Posting Komentar

0 Komentar