Ini berbeda manakala pada Pemilu 2004 SBY memasangkan dirinya dengan Jusuf Kalla (JK) dari Partai Golkar. Keputusan Partai Demokrat, dan tentu saja keputusan SBY, untuk memilih Wakil Presiden bukan dari partai politik tentu memiliki alasan kuat.
Partai-partai Politik Semakin Pragmatis
Belajar dari Pemilu 2004, pasangan SBY-JK tidak menang 1 putaran, melainkan di putaran pertama meraih 33,574% suara (kendati peringkat pertama), sementara di putaran kedua 60,7% suara mengalahkan pasangan Megawati SP – KH. Hasyim Muzadi.
Di tingkat Pemilu DPR-RI tahun 2004, Partai Demokrat hanya duduk di peringkat ke-5 dengan perolehan 7,46% suara setara dengan 55 kursi DPR-RI, sementara partai JK (Partai Golkar) adalah peringkat pertama dengan perolehan 21,62% suara yang dikonversi menjadi 128 kursi DPR-RI.
Pada Pemilu 2009, SBY yang berpasangan dengan Budiono memenangkan Pemilu Presiden 1 putaran saja, dengan meraih 60,80% suara. Hasil ini berkorelasi dengan Pemilihan Umum legislatif 2009, di mana Partai Demokrat meraih 20,85% suara dengan peroleh kursi DPR-RI sebanyak 148 (26,43% di parlemen), sementara Partai Golkar duduk di tempat kedua dengan 14,45% suara dan 103 kursi (19,11% di parlemen). [01]
Pemilu 2014, suara Partai Demokrat hanya 10,19% dan kursi mereka di parlemen hanya 61 (10,89% di parlemen) melorot lebih dari 50% ketimbang Pemilu 2009. Demikian pula Partai Golkar turun suaranya dari 14,45% di Pemilu legislatif 2009 (107 kursi atau 19,11% di parlemen) menjadi hanya 91 kursi di parlemen (kendati suara tetap stagnan agak naik dari 14,45% di 2009 menjadi 14,75% di 2014). [02]
PDI Perjuangan dengan bandwagon Jokowi meraih 18,95% suara di Pileg 2014 dan 19,33% di Pileg 2019. Di kedua Pileg ini, PDI-P keluar sebagai peringkat pertama. Gerindra, partai menengah di Pileg 2009 mencatat kenaikan menjadi 11,81% di Pileg 2014 (peringkat 3) dan 12,57% di Pileg 2019 (peringkat 2).
Sejumlah partai mendapat efek dari bandwagon masing-masing bandwagon mereka, misalnya Partai Nasdem dan PKB atas Jokowi, serta PKS dan PAN atas Prabowo. Partai Demokrat yang berposisi tidak terlampau jelas mengambil bandwagon siapa di Pilpres, terus turun suaranya, dari 10,9% di Pileg 2014 menjadi 7,77% di Pileg 2019. [03]
Dalam periode 2009 sampai 2019, terjadi trend baru di perpolitikan nasional. Di tingkat daerah, muncul figur-figur baru berkarakter populis seperti Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Risma Harini, Abdullah Azwar Annas, ataupun Nurdin Abdullah.
Figur-figur ini disifatkan lintas partai politik, dan beberapa di antara mereka pun jadi populer secara nasional. Misalnya, PDIP menarik Jokowi ke level nasional dan sesuai kesepakatan partai koalisi, memasangkannya dengan JK.
Partai kini berlomba menarik keuntungan lewat fenomena bandwagoning. Partai berupaya mendongkrak suara mereka dengan bertaruh pada figur yang mereka nilai populer di mata pemilih (bandwagon).
Masing-masing bandwagon adalah orang-orang yang tidak punya kekuatan di tingkat organisasi partai politik, tetapi memiliki track-record pemetaan realitas sosial ekonomi yang jelas, keberpihakan yang jelas, sehingga arah politik manakala figur-figur tadi memerintah menjadi jelas.
Pemetaan realitas sosial ekonomi ini adalah unsur yang ambigu di dalam partai politik, atau dengan kata lain, ambiguitas ideologi. Publik menilai figur punya lebih punya faktor ideologis yang kuat sehingga tatkala mereka memerintah, arah politik menjadi jelas.
Pilihan atas partai politik sekadar efek tidak langsung dari figur tersebut. Faktor ini pula yang membuat Partai Demokrat bisa menduduki posisi sebagai pemenang Pemilu legislatif 2009, kendati Budiono tidak memiliki basis partai politik sama sekali.
Suara untuk Partai Demokrat di Pemilu 2009 adalah hasil bandwagoning mereka atas figur SBY, bukan kejelasan ideologi Partai Demokrat itu sendiri. Demikian pula yang terjadi pada PDIP dan Gerindra, adalah efek dari figur yang dinilai oleh publik pemilih sebagai mewakili ideologi mereka.
Pragmatisme Politik Picu Ambiguitas Ideologi
Ideologi yang dibahas di sini bukan dalam konteks ideologi negara, melainkan dalam konteks politik praktis. Ideologi partai politik dinilai vakum oleh publik, dan sebab itu publik lebih melihat figur yang diprediksi sejalan dengan ideologi publik pemilih ketimbang identifikasi publik pemilih dengan ideologi partai politik.
Seperti halnya Pemilu 1999 manakala PDIP menjadi pemenang dengan suara 30%, publik bukan memilih PDIP melainkan figur Megawati SP yang dinilai merupakan antitesis dari rezim sebelumnya (Orde Baru). Manakala Megawati SP memerintah menggantikan Gus Dur dan tidak memunculkan hal baru, publik pun langsung meninggalkan PDIP.
Hal yang perlu dikemukakan adalah tidak ada partai politik yang secara stabil memperoleh suara, selain suara-suara yang menjadi basis tradisionalnya. Kenyataan ini diperkuat oleh sistem multipartai pasca transisi politik 1998 yang bercorak ekstrim. Partai politik sedemikian banyaknya sehingga selain menyulitkan koalisi di tingkat parlemen dan eksekutif, juga menyulitkan publik untuk mengidentifikasi ideologi mereka.
Publik sulit membedakan ideologi antara Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, selain perbedaan pendapat di antara tokoh masing-masing partai politik. Publik tidak bisa mengidentifikasi bahwa apabila Partai Gerindra menang, maka program yang akan mereka lalukan adalah ini atau itu.
Publik juga tidak bisa mengidentifikasi bahwa apabila Partai Demokrat menang, maka partai tersebut akan melakukan ini atau itu. Publik hanya bisa mengidentifikasi bahwa apabila kedua partai tersebut menang, maka SBY atau Prabowo akan melakukan ini atau itu.
Di sinilah letak kelemahan aneka partai di Indonesia pasca transisi politik 1998. Ini berbeda dengan manakala Pemilu 1955 dilakukan di mana terdapat pula sistem multipartai ekstrim. Kendati cukup banyak partai politik yang mengikuti Pemilu 1955, hanya 4 partai yang memiliki garis ideologi yang satu sama lain berbeda secara tegas, muncul sebagai pemenang pemilu.
PNI dengan garis ideologi nasionalis yang berkarakter priyayi, birokratis, dan kejawaan; Masyumi dengan garis ideologi Islam moderen berbasis perdagangan urban dan luar Jawa; Nahdlatul Ulama dengan garis ideologi Islam tradisional berbasis pertanian dan agrikultur Jawa; PKI dengan garis ideologi kiri yang tegas, anti birokratis, anti kapitalis, sehingga diminati oleh dua kalangan massa: Petani penggarap dan Buruh.
Kendati kesulitan lalu muncul manakala hendak dilakukan koalisi di tingkat parlemen, tetapi publik bisa secara relatif mudah mengidentifikasi apa yang akan dilakukan PNI, Masyumi, NU, ataupun PKI manakala mereka duduk di eksekutif maupun legislatif.
Hal ini berbeda dengan Indonesia pasca transisi politik 1998 di mana ditengarai oleh banyaknya partai politik yang muncul, tetapi suara masing-masing partai relatif mendatar. Relatif mendatarnya suara masing-masing partai ini dapat dilihat dari masih banyaknya partai yang masuk ke dalam parlemen, yang rata-rata di Pemilu 2009, 2014, dan 2019 adalah 9 partai.
Dari 9 partai yang masuk ke dalam parlemen, perbedaan ideologi antara satu partai dengan lainnya tidak begitu jelas selain kepentingan dari elit pimpinan partai politik. Akibatnya adalah perdebatan di dalam tubuh koalisi bukan dilandasi pada arah koalisi melainkan lebih pada pembagian posisi di eksekutif (menteri) dan lain-lain posisi yang didasarkan pada semangat memperoleh ‘rezeki’ ketimbang pada masalah arah haluan negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partai-partai politik di Indonesia mengalami ambiguitas ideologis di dalam tubuh masing-masing partai politik. Ideologi sebagai unsur penting di dalam setiap partai politik, yaitu sebagai unsur yang mampu membedakan antara satu partai politik dengan partai politik, menjadi kabur atau ambigu.
Akibatnya, publik lebih terfokus kepada figur politik, bukan lagi partai politik. Inilah yang membuat fenomena partai politik di Indonesia dari 2009 hingga 2019 cenderung digantikan oleh banwagoning yang dilakukan setiap partai politik dengan figur politik populis.
Figur politik populis dianggap oleh publik memiliki ideologi yang lebih bisa diidentifikasi sehingga publik dapat memprediksi apa yang akan dilakukan oleh setiap figur tersebut manakala mereka berkuasa nantinya. Partai politik lebih berposisi sebagai figuran atau makelar, yang mana nasib mereka apakah nanti akan masuk parlemen, bergantung kepada figur politik yang mereka ajukan baik sebagai Capres, Cawapres, ataupun legislatif.
Inilah pula yang membuat hampir semua partai politik lebih memilih figur populer di luar anggota partai untuk posisi-posisi vital seperti anggota legislatif.
Padahal, manakala figur-figur populer ini menang Pemilu Legislatif lalu duduk di legislatif, sementara mereka justru melakukan praktek politik yang tidak diikat oleh ideologi partai politik (yang memang sudah ambigu), maka arah pengambilan keputusan publik (undang-undang) menjadi asal-buat saja.
Hal yang terpenting adalah undang-undang yang ditargetkan diproduksi, setelah itu selesai, tanpa melihat apakah undang-undang yang dibuat tersebut sesuai dengan program kerja yang dijalankan oleh eksekutif ataupun rencana pembangunan jangka menengah-panjang negara.
Artikel ini akan menetapkan dua proposisi yang akan dibuktikan dalam analisis dan pembahasannya, yaitu: (1) Terdapat fenomena ambiguitas ideologi di kalangan partai politik Indonesia periode 2009 – 2014 dan (2) Ambiguitas ideologi mendorong pada disorientasi arah politik Indonesia 2009 – 2014.
Bagaimana Ambiguitas Ideologi Terjadi
Terry Eagleton berupaya membebaskan pemaknaan atas konsep ideologi, yang baginya dapat diartikan secara beragam dan subyektif, bergantung pada sudut pandang analisis atas konsep tersebut. [03]
Bagi Eagleton, ideologi bisa dimaknai sebagai: a) proses penggunaan alat produksi yang dimaknai sebagai simbol dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial; b) seperangkat gagasan yang mencirikan kelompok atau kelas sosial tertentu; c) gagasan yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan politik dominan; d) kesadaran palsu yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan politik dominan; e) komunikasi yang didistorsikan secara sistematis; f) sesuatu yang menawarkan posisi tertentu bagi seseorang; g) bentuk pemikiran yang muncul akibat adanya kepentingan sosial; h) berpikir secara identitas; i) ilusi yang penting secara sosial; j) pertemuan antara wacana dengan kekuasaan; k) suatu medium dalam mana para pelaku sosial memahami keberadaan mereka; l) seperangkat kepercayaan yang diorientasikan kepada tindakan, dan; m) suatu proses dengan mana kehidupan sosial dikonversikan ke dalam kenyataan alamiah.
Dari sejumlah pemahaman ideologi yang ditawarkan oleh Eagleton, dapat ditarik beberapa yang bisa dikaitkan dalam konteks ideologi partai politik.
Pertama, “seperangkat gagasan yang mencirikan kelompok atau kelas sosial tertentu.” Kedua, “bentuk pemikiran yang muncul akibat adanya kepentingan sosial.” Ketiga, “berpikir secara identitas.” Keempat, “suatu medium dalam mana para pelaku sosial memahami keberadaan mereka.” Kelima, “seperangkat kepercayaan yang diorientasikan kepada tindakan.” Keenam, “suatu proses dengan mana kehidupan sosial dikonversikan ke dalam kenyataan alamiah.” Kelima definisi ideologi menurut Eagleton ini akan digunakan dalam analisis terhadap proposisi pertama artikel ini.
Jika Terry Eagtelon menawarkan definisi dari ideologi yang bisa bervariasi sesuai konteks pembicaraan, maka Andrew Heywood memberikan implikasi dari ideologi tersebut ke dalam politik praktis. Heywood menyebut ada 3 (tiga) implikasi ideologi atas kehidupan politik yaitu:
Dalam implikasi pertama, ideologi menyediakan perspektif atau ‘lensa’ melalui mana dunia ini dipahami dan dijelaskan. Lewat ideologi, orang tidak melihat dunia sebagaimana apa adanya melainkan sesuai dengan apa yang seharusnya.
Di sinilah peran ideologi untuk menggerakkan masyarakat ke arah tertentu. Keyakinan, opini, dan aneka asumsi adalah wujud dari ideologi dan itu amat sepi dari aneka partai politik yang ada di Indonesia, utamanya yang masuk ke dalam parlemen.
Dalam implikasi kedua, ideologi politik yang tegas membantu terbentuknya sifat dari suatu sistem politik. Sistem pemerintahan di dunia ini sangat beragam dan itu bergantung pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu yang diidap oleh masing-masing partai politik sebagai kekuatan utama yang menjalankan pemerintahan.
Misalnya, tabiat partai Demokrat dan partai Republik di Amerika Serikat amat berbeda. Partai Demokrat memandang bahwa pemerintah harus membantu masyarakat, sementara partai Republik memandang masyarakat harus membantu dirinya sendiri.
Demikian pula, Partai Demokrat lebih memihak pada para pekerja, sementara partai Republik lebih memihak pada para pengusaha. Ini akibat kedua partai memiliki spektrum ideologi yang relatif jelas: Partai Demokrat dari kiri ke tengah, partai Republik dari kanan ke tengah. Ini pun mudah terlihat di negara-negara dengan sistem dwi partai seperti Inggris dan Australia. Namun, di sistem politik yang menerapkan sistem kepartaian multipartai, terlebih ekstrim, hal semacam ini sulit untuk dideteksi.
Dalam implikasi ketiga adalah ideologi dapat bertindak sebagai semen sosial, yang memungkinkan aneka kelompok sosial dan seluruh masyarakat diikat oleh kepercayaan dan nilai-nilai tertentu. Masyarakat tentu tidak akan hanya memiliki garis kelompok yang homogen, melainkan heterogen sesuai kondisi okupasi, keyakinan agama, kelas sosial, yang mereka miliki.
Partai politik mendorong mereka mengidentifikasi diri dan kelompoknya dengan satu kekuatan politik yang dipercaya akan memobilisasikan kepentingan unik mereka di dataran pengambilan keputusan di tingkat negara.
Apabila partai politik tidak memiliki garis ideologi yang jelas maka publik yang terdiri atas aneka segmentasi masyarakat tersebut akan kehilangan kepercayaan atas sistem politik secara umum dan mereka mencari alternatif lain untuk mengidentifikasi kepentingan mereka: Figur Politik (para bandwagon).
Pemahaman atas implikasi ideologi ini akan diterapkan untuk menganalisis proposis kedua dari artikel ini. Penulis berupaya untuk membuktikan bahwa implikasi ideologi ini tidak terjadi pada aneka partai politik dan sebab itu mendorong disorientasi dari arah politik dari sistem politik Indonesia (negara Republik Indonesia).
Wajah Ambiguitas Ideologi Partai Politik
Dalam bukunya Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi Syamsudin Haris menulis bahwa sistem pemerintahan yang kini berlaku di Indonesia adalah sistem demokrasi presidensial kendati konstitusi hasil amandemen tidak secara eksplisit menyebut demikian. [06]
Namun, ada kesulitan karena sistem demokrasi presidensial yang diterapkan di Indonesia, sesuai konstitusi, berbasis pada multipartai, bukan dua partai. Sementara sama-sama diketahui bahwa sistem presidensial itu paling kuat di sistem dua partai ketimbang multipartai.
Sistem multipartai lebih cocok untuk menggunakan sistem demokrasi parlementarian. Sementara di Indonesia, sistem demokrasi presidensial terancam oleh tidak adanya satu partai pun yang dominan di setiap pemilu sehingga koalisi dari eksekutif yang terbentuk cenderung bersifat koalisi mendatar.
Terdapat sejumlah partai yang bisa mempengaruhi komposisi eksekutif karena suara mereka ‘relatif’ besar dan partai yang lebih kecil dapat membuat koalisi menjadi minoritas dengan ancaman ‘keluar’ dari koalisi apabila kepentingan mereka tidak terakomodasi di dalam koalisi.
Seperti pernah terjadi di era SBY ke-2, di mana PKS menjadi bagian dari koalisi tetapi di parlemen kerap menyatakan sikap yang cenderung berlawanan dengan kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh eksekutif, contohnya dalam keputusan SBY untuk menaikkan harga BBM.
Entah keputusan penentangan PKS tersebut dipicu oleh penangkapan KPK atas presiden PKS atau PKS mencari celah untuk mempopulerkan dirinya di mana publik untuk kepentingan Pileg 2014. Hal ini mengindikasikan adanya ambiguitas dari ideologi setiap partai politik yang ada di dalam koalisi: Apakah itu akibat ideologi yang tidak selaras atau ideologi masing-masing partai politik tidak jelas.
Pertama, Eagleton menyatakan bahwa ideologi adalah “seperangkat gagasan yang mencirikan kelompok atau kelas sosial tertentu.” Dalam definisi ini, dapat dipertanyakan apakah Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, ataupun Partai Nasdem memang mencirikan kelas sosial atau kelompok tertentu.
Terlebih kita sama-sama mengetahui bahwa 6 partai yang lolos ke parlemen di Pemilu 2009, 2014, dan 2019 tersebut (kecuali Partai Hanura) hanya merupakan pecahan dari Golkar belaka. SBY, Prabowo, Wiranto, Surya Paloh, semuanya merupakan elit disiden dari Partai Golkar. Mereka keluar akibat kepentingan individual mereka yang tidak lagi bisa dicover oleh Partai Golkar sehingga mendorong mereka mendirikan partai baru.
Kepentingan kelompok dan kelas sosial yang mereka wakili pun tidak akan berbeda dengan apa yang selama ini diidentifikasi merupakan unsur ideologis dari Partai Golkar. Dari sudut pandang pertama, menurut Eagleton ini, partai-partai tersebut ambigu secara ideologis. Untuk partai-partai lain seperti PDIP, PKS, PPP, PKB, dan PAN persoalan agak lebih rumit.
PDIP adalah ‘penerus’ dari PNI secara de facto dan sebab itu cukup memiliki kelompok dan kelas sosial tertentu. Juga hal ini bisa dialamatkan kepada PKB, yang kendati tidak pernah mengakui secara formal, adalah basis pengalamatan kepentingan politik dari massa Nahdlatul Ulama (kendati segmen NU-nya dapat diperdebatkan). PAN pun serupa dengan PKB, dengan mana dengan ‘logo’ parpolnya dapat ditebak ia adalah muara dari simpatisan Muhammadiyah.
PPP adalah satu partai yang mengalami krisis karena ia merupakan fusi dari aneka parpol Islam di era Orde Baru sehingga banyak elemen di dalam tubuhnya yang keluar pasca transisi politik 1998.
PKS adalah partai kader yang sama seperti PKB dan PAN cenderung memiliki basis massa cukup jelas. Ideologi Islam politik yang diusung partai ini berbeda dengan apa yang dimiliki PPP, PKB, dan PAN karena cenderung bersifat transnasionalis, atau segmen Islam yang tumbuh akibat aneka pengaruh gerakan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, yang keduanya bukan berakar di Indonesia.
PKS ini mampu menarik kelompok muda Islam yang ‘bersemangat’ akibat tawaran-tawaran ideologi mereka yang lebih ‘pasti’ dan ‘terukur’ tanpa adanya penokohan figur seperti di partai-partai politik lain.
Kedua, ideologi adalah “bentuk pemikiran yang muncul akibat adanya kepentingan sosial.” Kepentingan sosial tentu saja berbeda dengan kepentingan individual. Partai-partai seperti Gerindra, Demokrat, Nasdem, Hanura, PAN, PKB, akan sulit untuk mewakili kepentingan suatu segmen sosial dalam masyarakat selain kepentingan Prabowo, SBY, Surya Paloh, Wiranto, Amien Rais, ataupun Muhaimin Iskandar.
Ideologi partai politik yang ideal adalah apabila partai politik membangun program kerja dan sikap koalisi berdasarkan kepentingan sosial dari para konstituennya, bukan elit partai politik. Setelah Prabowo masuk ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi, dapat dikatakan bahwa ideologi Gerindra menjadi tidak jelas, sebab tentu banyak kepentingan sosial dari para konstituennya yang dilangkahi.
Demikian pula, dengan koalisi Jokowi yang lebih mendambakan stabilitas kekuasaan telah melangkahi konstituen dari Jokowi yang rata-rata memiliki ketidaksukaan tertentu atas Prabowo sejak Pemilu 2014. Identifikasi partai politik dengan kepentingan sosial kelompok yang memilih mereka dengan demikian menjadi ambigu dalam kasus ini.
Ketiga, ideologi adalah “berpikir secara identitas.” PDIP selalu mengidentikkan diri mereka dengan wong cilik tetapi dalam perilaku mereka di 2014 dan 2019 apakah hal tersebut tercermin? Contoh saja kebijakan BPJS, kendati pada satu sisi berhasil, tetapi pada sisi lain dengan uang iuran yang cenderung naik dari tahun ke tahun apakah sudah mewakili identitas dari kelompok yang mereka identikan.
Juga, apakah Partai Demokrat, Hanura, Gerindra, PPP, sudah berpikir secara identitas selain identitas elit partai politiknya sendiri. Dapat diambil contoh identifikasi partai politik yang ambigu ini adalah identifikasi rakyat dengan SBY tahun 2009 yang paralel dengan identifikasi mereka dengan partai Demokrat yang mendorong partai tersebut menang Pemilu 2009.
Namun, segera setelah itu, identifikasi rakyat dengan partai Demokrat ‘bubar’ di Pemilu 2014 saat Demokrat mengambil posisi pendukung terselubung atas Prabowo-Hatta Rajasa. Hal ini mengindikasikan bahwa partai Demokrat belum bisa berpikir secara identitas, yaitu apa yang rakyat sukai dari SBY tidak bisa diterjemahkan secara baik di Pemilu 2014 di mana suara Demokrat langsung ‘tersungkur.’ Dalam hal berpikir secara identitas ini, PKS dan PKB adalah dua partai yang relatif lumayan.
PKS bisa berpikir secara identitas sebab itu memihak kepada Prabowo yang dianggap lebih toleran kepada Islam Politik dan gerakan Khilafah ketimbang Jokowi yang dinilai sekuler, abangan, dan ‘anti-Islam’ (menurut pola pikir identitas mereka).
Juga, PKB mampu berpikir identitas NU-nya dengan memihak Jokowi yang berasal dari PDIP di mana pada masa lain Megawati SP bisa bekerja sama dengan NU lewat pasangan Mega-Hasyim.
Keempat, ideologi adalah “suatu medium dalam mana para pelaku sosial memahami keberadaan mereka.” Partai-partai seperti yang telah disebut (Demokrat dan sejenisnya) karena tidak memiliki garis ideologi yang jelas ‘gagal’ dalam menjadi medium dengan mana para politisinya memahami keberadaan mereka.
Banyaknya artis yang mereka rekrut, yang tentu saja tidak pernah menjalani pelatihan kader partai, manakala bekerja di parlemen cenderung tidak paham untuk apa mereka berada di dalam parlemen. Ketidakpahaman ini lalu berlanjut pada aneka isu yang mereka tangani di parlemen (penyusunan undang-undang) dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan justru membuat undang-undang yang malah akan kontra dengan kepentingan konstituen yang memilih mereka.
Kelima, ideologi adalah “seperangkat kepercayaan yang diorientasikan kepada tindakan.” Kepercayaan apa yang ada di dalam partai-partai seperti Demokrat, Hanura, Gerindra, PPP, PDIP, Nasdem, ataupun PAN manakala mereka sudah duduk di parlemen? Di mana keberpihakan mereka, apakah pada kalangan Islam, kalangan buruh, kalangan petani, kalangan pengusaha, dan sejenisnya.
Tanpa adanya seperangkat kepercayaan ini mustahil apa yang akan ereka orientasikan pada tindakannya akan menjadi jelas. Jauh daripada itu, setelah mereka duduk di posisi pengambilan keputusan negara (tidak semata-mata eksekutif, melainkan pula di legislatif) di mana keberpihakan undang-undang akan mereka wujudkan? Tindakan di sini dapat bermakna teguran pada eksekutif ataupun penyusunan legislasi yang secara ketat memang merepresentasikan kepentingan segmen masyarakat yang mereka wakili.
Keenam, ideologi adalah “suatu proses dengan mana kehidupan sosial dikonversikan ke dalam kenyataan alamiah.” Ini merupakan hal ideal yang perlu diemban oleh setiap partai politik.
Saat partai Demokrat memegang kekuasaan di Amerika Serikat, aneka produk jaminan sosial diobral ke tengah masyarakat, pajak terhadap aneka perusahaan ditingkatkan, permisifisme atas kecenderungan sosial non mainstream dipromosikan (kendati ini tidak bisa diterima karena melanggar kodrat) merupakah konsekuensi logis dari ideologi partai Demokrat itu sendiri.
Hal ini akan berbeda manakala partai Republik berkuasa, dengan gaya mereka yang lebih hawkish, petantang-petenteng di dalam hubungan luar negeri, pengurangan pajak atas perusahaan, pemotongan jaminan sosial, dan sejenisnya.
Hal-hal seperti ini tidak nyata di Indonesia, misalnya selama partai Demokrat dan koalisinya berkuasa di tahun 2009-2014, tidak ada karakter kebijakan dari, baik eksekutif maupun legislatif, yang merupakan sokoguru dari sistem politik Indonesia di era tersebut.
Manakala Partai Demokrati menjadi partai penguasa di 2009-2014, tidak ada karakter unik dari sistem politik Indonesia. Ambiguitas partai Demokrat meresap ke dalam tubuh koalisi dan membuat aneka kebijakan yang berjalan di sistem politik Indonesia cenderung day to day politics dan malah terjadi skandal besar Bank Century.
Juga, manakala PDIP dan koalisinya memerintah Indonesia sejak 2014-2019 tidak ada karakter utama dari sistem politik Indonesia selain kepala eksekutif (Jokowi) dan sejumlah menteri yang justru bukan berasal dari kalangan partai politik (Basuki Hadimulyono, Susi Pujiastuti, Sri Mulyani, dan Retno Marsudi) malah mewarnai karakter Jokowi Pertama. Menteri-menteri dari kalangan partai politik cenderung bekerja pragmatis dan tidak unik.
Ambiguitas Partai Memicu Disorientasi Bangsa
Ambiguitas ideologi mendorong pada disorientasi arah politik Indonesia 2009 – 2019. Arah politik Indonesia sejak 2009 hingga 2019 adalah kurang jelas dan ini merupakan akibat krisis ideologi di antara partai-partai politik.
Pemilu 2009 lebih fokus pada figur-figur politik seperti SBY, Mega, ataupun Jusuf Kalla. Pemilu 20014 lebih fokus pada figur-figur politik seperti Jokowi dan Prabowo. Partai politik hanya bersifat melakukan bandwagoning terhadap masing-masing bandwagon. Partai politik tidak memiliki karakter ideologis, dan sebab itu mengandalkan deskripsi ideologi mereka kepada figur-figur politik yang mereka dukung untuk mengepalai eksekutif.
Menurut Heywood, ideologi akan berimplikasi pada pemahaman politik dan dengan demikian akan merancang tujuan dan menginspirasikan aktivisme. Aktivisme dalam konteks ideologi ini adalah pemihakan serius pada segmen yang seharusnya dibela oleh setiap partai politik.
Namun, akibat hampir setiap partai politik tidak memiliki ideologi yang jelas, maka ini berimplikasi pada tidak jelasnya perancangan tujuan sistem politik itu sendiri. Indonesia di era 2009-2014 seolah berjalan seperti dilakukan oleh ko-pilot. Presiden sibuk melakukan stabilisasi atas citranya, sementara setiap partai politik koalisi diberikan ketenangan untuk berbuat apapun yang mereka anggap perlu untuk secara pragmatis dilakukan.
Arah Indonesia era 2009-2014 seorang tanpa tujuan, baik dalam politik internasional maupun domestik. Semua kebijakan diambil hampir secara reaksioner, tidak terstruktur, dan kerap saling bertentangan satu sama lain. Ini membuat koalisi di dalam partai pun menjadi longgar sehingga setiap partai cenderung menjalankan agenda masing-masing.
Demokrat sibuk mengamankan posisi SBY dan keluarganya, PKS sibuk dengan mencari popularitas untuk kepentingan Pemilu 2014, Golkar dengan posis di dua kakinya, dan partai-partai lain di dalam koalisi (PPP, PAN, PKB) pun cenderung melakukan tindakan masing-masing yang dianggap menguntungkan partai politiknya. Terjadi kartelisasi parlemen dan ini mendorong disorientasi arah perpolitikan dari sistem politik Indonesia.
Implikasi kedua dari Heywood adalah ideologi yang membentuk sifat dari sistem politik. Sifat atau karakter dari sistem politik relatif baru mengentara manakala PDIP mengusung Jokowi sebagai presiden di periode 2014-2019.
Namun, pengkarakteran ini tidak holistik di rezim politik Indonesia 2014-2019 karena akibat sistem multipartai ekstrim Indonesia, presiden terpaksa membagi kursi ‘anak buah’ eksekutif kepada para anggota partai koalisi yang ideologinya bahkan tidak serupa dengan program kerja yang dijanjikan eksekutif.
Misalnya, diberikannya kursi Jaksa Agung pada partai politik (Nasdem) tentu akan bertolak belakang dengan upaya menciptakan penegakan hukum karena mustahil jaksa agung akan melakukan pembersihan pada para sponsor partai Nasdem.
Eksekutif dengan demikian hanya bisa menciptakan karakter atas sebagian kursi kementerian yang dijabat oleh kalangan non partai politik seperti telah disebutkan di bagian sebelumnya.
[01] Badan Pusat Statistik, “Perolehan Suara dan Kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut Partai Politik Hasil Pemilu Tahun 2009 dan 2014”. URL: <https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/12/1169/perolehan-suara-dan-kursi-dewan-perwakilan-rakyat-dpr-menurut-partai-politik-hasil-pemilu-tahun-2009-dan-2014.html> Tanggal Akses: 5 April 2020.
[02] ibid.
[03] Jessi Carina, “Perbandingan Suara Parpol 2014 dan 2019: Dari yang Melejit, Tersingkir, hingga yang Bertahan Jadi Juara.” URL: <https://nasional.kompas.com/read/2019/05/21/06353851/perbandingan-suara-parpol-2014-dan-2019-dari-yang-melejit-tersingkir-hingga?page=3> Tanggal Akses: 5 April 2020.
[04] Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London – New York: Verso, 1991) p. 1-2
[05] Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 5th Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2012) p. 3.
[06] Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) h. 6
Partai-partai Politik Semakin Pragmatis
Belajar dari Pemilu 2004, pasangan SBY-JK tidak menang 1 putaran, melainkan di putaran pertama meraih 33,574% suara (kendati peringkat pertama), sementara di putaran kedua 60,7% suara mengalahkan pasangan Megawati SP – KH. Hasyim Muzadi.
Di tingkat Pemilu DPR-RI tahun 2004, Partai Demokrat hanya duduk di peringkat ke-5 dengan perolehan 7,46% suara setara dengan 55 kursi DPR-RI, sementara partai JK (Partai Golkar) adalah peringkat pertama dengan perolehan 21,62% suara yang dikonversi menjadi 128 kursi DPR-RI.
![]() |
https://medium.com/@nstjohn10/turning-ambiguity-into-action-a-framework-52043fbedd6a |
Pada Pemilu 2009, SBY yang berpasangan dengan Budiono memenangkan Pemilu Presiden 1 putaran saja, dengan meraih 60,80% suara. Hasil ini berkorelasi dengan Pemilihan Umum legislatif 2009, di mana Partai Demokrat meraih 20,85% suara dengan peroleh kursi DPR-RI sebanyak 148 (26,43% di parlemen), sementara Partai Golkar duduk di tempat kedua dengan 14,45% suara dan 103 kursi (19,11% di parlemen). [01]
Pemilu 2014, suara Partai Demokrat hanya 10,19% dan kursi mereka di parlemen hanya 61 (10,89% di parlemen) melorot lebih dari 50% ketimbang Pemilu 2009. Demikian pula Partai Golkar turun suaranya dari 14,45% di Pemilu legislatif 2009 (107 kursi atau 19,11% di parlemen) menjadi hanya 91 kursi di parlemen (kendati suara tetap stagnan agak naik dari 14,45% di 2009 menjadi 14,75% di 2014). [02]
PDI Perjuangan dengan bandwagon Jokowi meraih 18,95% suara di Pileg 2014 dan 19,33% di Pileg 2019. Di kedua Pileg ini, PDI-P keluar sebagai peringkat pertama. Gerindra, partai menengah di Pileg 2009 mencatat kenaikan menjadi 11,81% di Pileg 2014 (peringkat 3) dan 12,57% di Pileg 2019 (peringkat 2).
Sejumlah partai mendapat efek dari bandwagon masing-masing bandwagon mereka, misalnya Partai Nasdem dan PKB atas Jokowi, serta PKS dan PAN atas Prabowo. Partai Demokrat yang berposisi tidak terlampau jelas mengambil bandwagon siapa di Pilpres, terus turun suaranya, dari 10,9% di Pileg 2014 menjadi 7,77% di Pileg 2019. [03]
Dalam periode 2009 sampai 2019, terjadi trend baru di perpolitikan nasional. Di tingkat daerah, muncul figur-figur baru berkarakter populis seperti Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Risma Harini, Abdullah Azwar Annas, ataupun Nurdin Abdullah.
Figur-figur ini disifatkan lintas partai politik, dan beberapa di antara mereka pun jadi populer secara nasional. Misalnya, PDIP menarik Jokowi ke level nasional dan sesuai kesepakatan partai koalisi, memasangkannya dengan JK.
Partai kini berlomba menarik keuntungan lewat fenomena bandwagoning. Partai berupaya mendongkrak suara mereka dengan bertaruh pada figur yang mereka nilai populer di mata pemilih (bandwagon).
Masing-masing bandwagon adalah orang-orang yang tidak punya kekuatan di tingkat organisasi partai politik, tetapi memiliki track-record pemetaan realitas sosial ekonomi yang jelas, keberpihakan yang jelas, sehingga arah politik manakala figur-figur tadi memerintah menjadi jelas.
Pemetaan realitas sosial ekonomi ini adalah unsur yang ambigu di dalam partai politik, atau dengan kata lain, ambiguitas ideologi. Publik menilai figur punya lebih punya faktor ideologis yang kuat sehingga tatkala mereka memerintah, arah politik menjadi jelas.
Pilihan atas partai politik sekadar efek tidak langsung dari figur tersebut. Faktor ini pula yang membuat Partai Demokrat bisa menduduki posisi sebagai pemenang Pemilu legislatif 2009, kendati Budiono tidak memiliki basis partai politik sama sekali.
Suara untuk Partai Demokrat di Pemilu 2009 adalah hasil bandwagoning mereka atas figur SBY, bukan kejelasan ideologi Partai Demokrat itu sendiri. Demikian pula yang terjadi pada PDIP dan Gerindra, adalah efek dari figur yang dinilai oleh publik pemilih sebagai mewakili ideologi mereka.
Pragmatisme Politik Picu Ambiguitas Ideologi
Ideologi yang dibahas di sini bukan dalam konteks ideologi negara, melainkan dalam konteks politik praktis. Ideologi partai politik dinilai vakum oleh publik, dan sebab itu publik lebih melihat figur yang diprediksi sejalan dengan ideologi publik pemilih ketimbang identifikasi publik pemilih dengan ideologi partai politik.
Seperti halnya Pemilu 1999 manakala PDIP menjadi pemenang dengan suara 30%, publik bukan memilih PDIP melainkan figur Megawati SP yang dinilai merupakan antitesis dari rezim sebelumnya (Orde Baru). Manakala Megawati SP memerintah menggantikan Gus Dur dan tidak memunculkan hal baru, publik pun langsung meninggalkan PDIP.
Hal yang perlu dikemukakan adalah tidak ada partai politik yang secara stabil memperoleh suara, selain suara-suara yang menjadi basis tradisionalnya. Kenyataan ini diperkuat oleh sistem multipartai pasca transisi politik 1998 yang bercorak ekstrim. Partai politik sedemikian banyaknya sehingga selain menyulitkan koalisi di tingkat parlemen dan eksekutif, juga menyulitkan publik untuk mengidentifikasi ideologi mereka.
Publik sulit membedakan ideologi antara Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, selain perbedaan pendapat di antara tokoh masing-masing partai politik. Publik tidak bisa mengidentifikasi bahwa apabila Partai Gerindra menang, maka program yang akan mereka lalukan adalah ini atau itu.
Publik juga tidak bisa mengidentifikasi bahwa apabila Partai Demokrat menang, maka partai tersebut akan melakukan ini atau itu. Publik hanya bisa mengidentifikasi bahwa apabila kedua partai tersebut menang, maka SBY atau Prabowo akan melakukan ini atau itu.
Di sinilah letak kelemahan aneka partai di Indonesia pasca transisi politik 1998. Ini berbeda dengan manakala Pemilu 1955 dilakukan di mana terdapat pula sistem multipartai ekstrim. Kendati cukup banyak partai politik yang mengikuti Pemilu 1955, hanya 4 partai yang memiliki garis ideologi yang satu sama lain berbeda secara tegas, muncul sebagai pemenang pemilu.
PNI dengan garis ideologi nasionalis yang berkarakter priyayi, birokratis, dan kejawaan; Masyumi dengan garis ideologi Islam moderen berbasis perdagangan urban dan luar Jawa; Nahdlatul Ulama dengan garis ideologi Islam tradisional berbasis pertanian dan agrikultur Jawa; PKI dengan garis ideologi kiri yang tegas, anti birokratis, anti kapitalis, sehingga diminati oleh dua kalangan massa: Petani penggarap dan Buruh.
Kendati kesulitan lalu muncul manakala hendak dilakukan koalisi di tingkat parlemen, tetapi publik bisa secara relatif mudah mengidentifikasi apa yang akan dilakukan PNI, Masyumi, NU, ataupun PKI manakala mereka duduk di eksekutif maupun legislatif.
Hal ini berbeda dengan Indonesia pasca transisi politik 1998 di mana ditengarai oleh banyaknya partai politik yang muncul, tetapi suara masing-masing partai relatif mendatar. Relatif mendatarnya suara masing-masing partai ini dapat dilihat dari masih banyaknya partai yang masuk ke dalam parlemen, yang rata-rata di Pemilu 2009, 2014, dan 2019 adalah 9 partai.
Dari 9 partai yang masuk ke dalam parlemen, perbedaan ideologi antara satu partai dengan lainnya tidak begitu jelas selain kepentingan dari elit pimpinan partai politik. Akibatnya adalah perdebatan di dalam tubuh koalisi bukan dilandasi pada arah koalisi melainkan lebih pada pembagian posisi di eksekutif (menteri) dan lain-lain posisi yang didasarkan pada semangat memperoleh ‘rezeki’ ketimbang pada masalah arah haluan negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partai-partai politik di Indonesia mengalami ambiguitas ideologis di dalam tubuh masing-masing partai politik. Ideologi sebagai unsur penting di dalam setiap partai politik, yaitu sebagai unsur yang mampu membedakan antara satu partai politik dengan partai politik, menjadi kabur atau ambigu.
Akibatnya, publik lebih terfokus kepada figur politik, bukan lagi partai politik. Inilah yang membuat fenomena partai politik di Indonesia dari 2009 hingga 2019 cenderung digantikan oleh banwagoning yang dilakukan setiap partai politik dengan figur politik populis.
Figur politik populis dianggap oleh publik memiliki ideologi yang lebih bisa diidentifikasi sehingga publik dapat memprediksi apa yang akan dilakukan oleh setiap figur tersebut manakala mereka berkuasa nantinya. Partai politik lebih berposisi sebagai figuran atau makelar, yang mana nasib mereka apakah nanti akan masuk parlemen, bergantung kepada figur politik yang mereka ajukan baik sebagai Capres, Cawapres, ataupun legislatif.
Inilah pula yang membuat hampir semua partai politik lebih memilih figur populer di luar anggota partai untuk posisi-posisi vital seperti anggota legislatif.
Padahal, manakala figur-figur populer ini menang Pemilu Legislatif lalu duduk di legislatif, sementara mereka justru melakukan praktek politik yang tidak diikat oleh ideologi partai politik (yang memang sudah ambigu), maka arah pengambilan keputusan publik (undang-undang) menjadi asal-buat saja.
Hal yang terpenting adalah undang-undang yang ditargetkan diproduksi, setelah itu selesai, tanpa melihat apakah undang-undang yang dibuat tersebut sesuai dengan program kerja yang dijalankan oleh eksekutif ataupun rencana pembangunan jangka menengah-panjang negara.
Artikel ini akan menetapkan dua proposisi yang akan dibuktikan dalam analisis dan pembahasannya, yaitu: (1) Terdapat fenomena ambiguitas ideologi di kalangan partai politik Indonesia periode 2009 – 2014 dan (2) Ambiguitas ideologi mendorong pada disorientasi arah politik Indonesia 2009 – 2014.
Bagaimana Ambiguitas Ideologi Terjadi
Terry Eagleton berupaya membebaskan pemaknaan atas konsep ideologi, yang baginya dapat diartikan secara beragam dan subyektif, bergantung pada sudut pandang analisis atas konsep tersebut. [03]
Bagi Eagleton, ideologi bisa dimaknai sebagai: a) proses penggunaan alat produksi yang dimaknai sebagai simbol dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial; b) seperangkat gagasan yang mencirikan kelompok atau kelas sosial tertentu; c) gagasan yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan politik dominan; d) kesadaran palsu yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan politik dominan; e) komunikasi yang didistorsikan secara sistematis; f) sesuatu yang menawarkan posisi tertentu bagi seseorang; g) bentuk pemikiran yang muncul akibat adanya kepentingan sosial; h) berpikir secara identitas; i) ilusi yang penting secara sosial; j) pertemuan antara wacana dengan kekuasaan; k) suatu medium dalam mana para pelaku sosial memahami keberadaan mereka; l) seperangkat kepercayaan yang diorientasikan kepada tindakan, dan; m) suatu proses dengan mana kehidupan sosial dikonversikan ke dalam kenyataan alamiah.
Dari sejumlah pemahaman ideologi yang ditawarkan oleh Eagleton, dapat ditarik beberapa yang bisa dikaitkan dalam konteks ideologi partai politik.
Pertama, “seperangkat gagasan yang mencirikan kelompok atau kelas sosial tertentu.” Kedua, “bentuk pemikiran yang muncul akibat adanya kepentingan sosial.” Ketiga, “berpikir secara identitas.” Keempat, “suatu medium dalam mana para pelaku sosial memahami keberadaan mereka.” Kelima, “seperangkat kepercayaan yang diorientasikan kepada tindakan.” Keenam, “suatu proses dengan mana kehidupan sosial dikonversikan ke dalam kenyataan alamiah.” Kelima definisi ideologi menurut Eagleton ini akan digunakan dalam analisis terhadap proposisi pertama artikel ini.
Jika Terry Eagtelon menawarkan definisi dari ideologi yang bisa bervariasi sesuai konteks pembicaraan, maka Andrew Heywood memberikan implikasi dari ideologi tersebut ke dalam politik praktis. Heywood menyebut ada 3 (tiga) implikasi ideologi atas kehidupan politik yaitu:
“a) structure political understanding and so set goal and inspire activism; b) shape the nature of political systems; dan c) act as a form of social cement. [05]
Dalam implikasi pertama, ideologi menyediakan perspektif atau ‘lensa’ melalui mana dunia ini dipahami dan dijelaskan. Lewat ideologi, orang tidak melihat dunia sebagaimana apa adanya melainkan sesuai dengan apa yang seharusnya.
Di sinilah peran ideologi untuk menggerakkan masyarakat ke arah tertentu. Keyakinan, opini, dan aneka asumsi adalah wujud dari ideologi dan itu amat sepi dari aneka partai politik yang ada di Indonesia, utamanya yang masuk ke dalam parlemen.
Dalam implikasi kedua, ideologi politik yang tegas membantu terbentuknya sifat dari suatu sistem politik. Sistem pemerintahan di dunia ini sangat beragam dan itu bergantung pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu yang diidap oleh masing-masing partai politik sebagai kekuatan utama yang menjalankan pemerintahan.
Misalnya, tabiat partai Demokrat dan partai Republik di Amerika Serikat amat berbeda. Partai Demokrat memandang bahwa pemerintah harus membantu masyarakat, sementara partai Republik memandang masyarakat harus membantu dirinya sendiri.
Demikian pula, Partai Demokrat lebih memihak pada para pekerja, sementara partai Republik lebih memihak pada para pengusaha. Ini akibat kedua partai memiliki spektrum ideologi yang relatif jelas: Partai Demokrat dari kiri ke tengah, partai Republik dari kanan ke tengah. Ini pun mudah terlihat di negara-negara dengan sistem dwi partai seperti Inggris dan Australia. Namun, di sistem politik yang menerapkan sistem kepartaian multipartai, terlebih ekstrim, hal semacam ini sulit untuk dideteksi.
Dalam implikasi ketiga adalah ideologi dapat bertindak sebagai semen sosial, yang memungkinkan aneka kelompok sosial dan seluruh masyarakat diikat oleh kepercayaan dan nilai-nilai tertentu. Masyarakat tentu tidak akan hanya memiliki garis kelompok yang homogen, melainkan heterogen sesuai kondisi okupasi, keyakinan agama, kelas sosial, yang mereka miliki.
Partai politik mendorong mereka mengidentifikasi diri dan kelompoknya dengan satu kekuatan politik yang dipercaya akan memobilisasikan kepentingan unik mereka di dataran pengambilan keputusan di tingkat negara.
Apabila partai politik tidak memiliki garis ideologi yang jelas maka publik yang terdiri atas aneka segmentasi masyarakat tersebut akan kehilangan kepercayaan atas sistem politik secara umum dan mereka mencari alternatif lain untuk mengidentifikasi kepentingan mereka: Figur Politik (para bandwagon).
Pemahaman atas implikasi ideologi ini akan diterapkan untuk menganalisis proposis kedua dari artikel ini. Penulis berupaya untuk membuktikan bahwa implikasi ideologi ini tidak terjadi pada aneka partai politik dan sebab itu mendorong disorientasi dari arah politik dari sistem politik Indonesia (negara Republik Indonesia).
Wajah Ambiguitas Ideologi Partai Politik
Dalam bukunya Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi Syamsudin Haris menulis bahwa sistem pemerintahan yang kini berlaku di Indonesia adalah sistem demokrasi presidensial kendati konstitusi hasil amandemen tidak secara eksplisit menyebut demikian. [06]
Namun, ada kesulitan karena sistem demokrasi presidensial yang diterapkan di Indonesia, sesuai konstitusi, berbasis pada multipartai, bukan dua partai. Sementara sama-sama diketahui bahwa sistem presidensial itu paling kuat di sistem dua partai ketimbang multipartai.
Sistem multipartai lebih cocok untuk menggunakan sistem demokrasi parlementarian. Sementara di Indonesia, sistem demokrasi presidensial terancam oleh tidak adanya satu partai pun yang dominan di setiap pemilu sehingga koalisi dari eksekutif yang terbentuk cenderung bersifat koalisi mendatar.
Terdapat sejumlah partai yang bisa mempengaruhi komposisi eksekutif karena suara mereka ‘relatif’ besar dan partai yang lebih kecil dapat membuat koalisi menjadi minoritas dengan ancaman ‘keluar’ dari koalisi apabila kepentingan mereka tidak terakomodasi di dalam koalisi.
Seperti pernah terjadi di era SBY ke-2, di mana PKS menjadi bagian dari koalisi tetapi di parlemen kerap menyatakan sikap yang cenderung berlawanan dengan kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh eksekutif, contohnya dalam keputusan SBY untuk menaikkan harga BBM.
Entah keputusan penentangan PKS tersebut dipicu oleh penangkapan KPK atas presiden PKS atau PKS mencari celah untuk mempopulerkan dirinya di mana publik untuk kepentingan Pileg 2014. Hal ini mengindikasikan adanya ambiguitas dari ideologi setiap partai politik yang ada di dalam koalisi: Apakah itu akibat ideologi yang tidak selaras atau ideologi masing-masing partai politik tidak jelas.
Pertama, Eagleton menyatakan bahwa ideologi adalah “seperangkat gagasan yang mencirikan kelompok atau kelas sosial tertentu.” Dalam definisi ini, dapat dipertanyakan apakah Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, ataupun Partai Nasdem memang mencirikan kelas sosial atau kelompok tertentu.
Terlebih kita sama-sama mengetahui bahwa 6 partai yang lolos ke parlemen di Pemilu 2009, 2014, dan 2019 tersebut (kecuali Partai Hanura) hanya merupakan pecahan dari Golkar belaka. SBY, Prabowo, Wiranto, Surya Paloh, semuanya merupakan elit disiden dari Partai Golkar. Mereka keluar akibat kepentingan individual mereka yang tidak lagi bisa dicover oleh Partai Golkar sehingga mendorong mereka mendirikan partai baru.
Kepentingan kelompok dan kelas sosial yang mereka wakili pun tidak akan berbeda dengan apa yang selama ini diidentifikasi merupakan unsur ideologis dari Partai Golkar. Dari sudut pandang pertama, menurut Eagleton ini, partai-partai tersebut ambigu secara ideologis. Untuk partai-partai lain seperti PDIP, PKS, PPP, PKB, dan PAN persoalan agak lebih rumit.
PDIP adalah ‘penerus’ dari PNI secara de facto dan sebab itu cukup memiliki kelompok dan kelas sosial tertentu. Juga hal ini bisa dialamatkan kepada PKB, yang kendati tidak pernah mengakui secara formal, adalah basis pengalamatan kepentingan politik dari massa Nahdlatul Ulama (kendati segmen NU-nya dapat diperdebatkan). PAN pun serupa dengan PKB, dengan mana dengan ‘logo’ parpolnya dapat ditebak ia adalah muara dari simpatisan Muhammadiyah.
PPP adalah satu partai yang mengalami krisis karena ia merupakan fusi dari aneka parpol Islam di era Orde Baru sehingga banyak elemen di dalam tubuhnya yang keluar pasca transisi politik 1998.
PKS adalah partai kader yang sama seperti PKB dan PAN cenderung memiliki basis massa cukup jelas. Ideologi Islam politik yang diusung partai ini berbeda dengan apa yang dimiliki PPP, PKB, dan PAN karena cenderung bersifat transnasionalis, atau segmen Islam yang tumbuh akibat aneka pengaruh gerakan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, yang keduanya bukan berakar di Indonesia.
PKS ini mampu menarik kelompok muda Islam yang ‘bersemangat’ akibat tawaran-tawaran ideologi mereka yang lebih ‘pasti’ dan ‘terukur’ tanpa adanya penokohan figur seperti di partai-partai politik lain.
Kedua, ideologi adalah “bentuk pemikiran yang muncul akibat adanya kepentingan sosial.” Kepentingan sosial tentu saja berbeda dengan kepentingan individual. Partai-partai seperti Gerindra, Demokrat, Nasdem, Hanura, PAN, PKB, akan sulit untuk mewakili kepentingan suatu segmen sosial dalam masyarakat selain kepentingan Prabowo, SBY, Surya Paloh, Wiranto, Amien Rais, ataupun Muhaimin Iskandar.
Ideologi partai politik yang ideal adalah apabila partai politik membangun program kerja dan sikap koalisi berdasarkan kepentingan sosial dari para konstituennya, bukan elit partai politik. Setelah Prabowo masuk ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi, dapat dikatakan bahwa ideologi Gerindra menjadi tidak jelas, sebab tentu banyak kepentingan sosial dari para konstituennya yang dilangkahi.
Demikian pula, dengan koalisi Jokowi yang lebih mendambakan stabilitas kekuasaan telah melangkahi konstituen dari Jokowi yang rata-rata memiliki ketidaksukaan tertentu atas Prabowo sejak Pemilu 2014. Identifikasi partai politik dengan kepentingan sosial kelompok yang memilih mereka dengan demikian menjadi ambigu dalam kasus ini.
Ketiga, ideologi adalah “berpikir secara identitas.” PDIP selalu mengidentikkan diri mereka dengan wong cilik tetapi dalam perilaku mereka di 2014 dan 2019 apakah hal tersebut tercermin? Contoh saja kebijakan BPJS, kendati pada satu sisi berhasil, tetapi pada sisi lain dengan uang iuran yang cenderung naik dari tahun ke tahun apakah sudah mewakili identitas dari kelompok yang mereka identikan.
Juga, apakah Partai Demokrat, Hanura, Gerindra, PPP, sudah berpikir secara identitas selain identitas elit partai politiknya sendiri. Dapat diambil contoh identifikasi partai politik yang ambigu ini adalah identifikasi rakyat dengan SBY tahun 2009 yang paralel dengan identifikasi mereka dengan partai Demokrat yang mendorong partai tersebut menang Pemilu 2009.
Namun, segera setelah itu, identifikasi rakyat dengan partai Demokrat ‘bubar’ di Pemilu 2014 saat Demokrat mengambil posisi pendukung terselubung atas Prabowo-Hatta Rajasa. Hal ini mengindikasikan bahwa partai Demokrat belum bisa berpikir secara identitas, yaitu apa yang rakyat sukai dari SBY tidak bisa diterjemahkan secara baik di Pemilu 2014 di mana suara Demokrat langsung ‘tersungkur.’ Dalam hal berpikir secara identitas ini, PKS dan PKB adalah dua partai yang relatif lumayan.
PKS bisa berpikir secara identitas sebab itu memihak kepada Prabowo yang dianggap lebih toleran kepada Islam Politik dan gerakan Khilafah ketimbang Jokowi yang dinilai sekuler, abangan, dan ‘anti-Islam’ (menurut pola pikir identitas mereka).
Juga, PKB mampu berpikir identitas NU-nya dengan memihak Jokowi yang berasal dari PDIP di mana pada masa lain Megawati SP bisa bekerja sama dengan NU lewat pasangan Mega-Hasyim.
Keempat, ideologi adalah “suatu medium dalam mana para pelaku sosial memahami keberadaan mereka.” Partai-partai seperti yang telah disebut (Demokrat dan sejenisnya) karena tidak memiliki garis ideologi yang jelas ‘gagal’ dalam menjadi medium dengan mana para politisinya memahami keberadaan mereka.
Banyaknya artis yang mereka rekrut, yang tentu saja tidak pernah menjalani pelatihan kader partai, manakala bekerja di parlemen cenderung tidak paham untuk apa mereka berada di dalam parlemen. Ketidakpahaman ini lalu berlanjut pada aneka isu yang mereka tangani di parlemen (penyusunan undang-undang) dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan justru membuat undang-undang yang malah akan kontra dengan kepentingan konstituen yang memilih mereka.
Kelima, ideologi adalah “seperangkat kepercayaan yang diorientasikan kepada tindakan.” Kepercayaan apa yang ada di dalam partai-partai seperti Demokrat, Hanura, Gerindra, PPP, PDIP, Nasdem, ataupun PAN manakala mereka sudah duduk di parlemen? Di mana keberpihakan mereka, apakah pada kalangan Islam, kalangan buruh, kalangan petani, kalangan pengusaha, dan sejenisnya.
Tanpa adanya seperangkat kepercayaan ini mustahil apa yang akan ereka orientasikan pada tindakannya akan menjadi jelas. Jauh daripada itu, setelah mereka duduk di posisi pengambilan keputusan negara (tidak semata-mata eksekutif, melainkan pula di legislatif) di mana keberpihakan undang-undang akan mereka wujudkan? Tindakan di sini dapat bermakna teguran pada eksekutif ataupun penyusunan legislasi yang secara ketat memang merepresentasikan kepentingan segmen masyarakat yang mereka wakili.
Keenam, ideologi adalah “suatu proses dengan mana kehidupan sosial dikonversikan ke dalam kenyataan alamiah.” Ini merupakan hal ideal yang perlu diemban oleh setiap partai politik.
Saat partai Demokrat memegang kekuasaan di Amerika Serikat, aneka produk jaminan sosial diobral ke tengah masyarakat, pajak terhadap aneka perusahaan ditingkatkan, permisifisme atas kecenderungan sosial non mainstream dipromosikan (kendati ini tidak bisa diterima karena melanggar kodrat) merupakah konsekuensi logis dari ideologi partai Demokrat itu sendiri.
Hal ini akan berbeda manakala partai Republik berkuasa, dengan gaya mereka yang lebih hawkish, petantang-petenteng di dalam hubungan luar negeri, pengurangan pajak atas perusahaan, pemotongan jaminan sosial, dan sejenisnya.
Hal-hal seperti ini tidak nyata di Indonesia, misalnya selama partai Demokrat dan koalisinya berkuasa di tahun 2009-2014, tidak ada karakter kebijakan dari, baik eksekutif maupun legislatif, yang merupakan sokoguru dari sistem politik Indonesia di era tersebut.
Manakala Partai Demokrati menjadi partai penguasa di 2009-2014, tidak ada karakter unik dari sistem politik Indonesia. Ambiguitas partai Demokrat meresap ke dalam tubuh koalisi dan membuat aneka kebijakan yang berjalan di sistem politik Indonesia cenderung day to day politics dan malah terjadi skandal besar Bank Century.
Juga, manakala PDIP dan koalisinya memerintah Indonesia sejak 2014-2019 tidak ada karakter utama dari sistem politik Indonesia selain kepala eksekutif (Jokowi) dan sejumlah menteri yang justru bukan berasal dari kalangan partai politik (Basuki Hadimulyono, Susi Pujiastuti, Sri Mulyani, dan Retno Marsudi) malah mewarnai karakter Jokowi Pertama. Menteri-menteri dari kalangan partai politik cenderung bekerja pragmatis dan tidak unik.
Ambiguitas Partai Memicu Disorientasi Bangsa
Ambiguitas ideologi mendorong pada disorientasi arah politik Indonesia 2009 – 2019. Arah politik Indonesia sejak 2009 hingga 2019 adalah kurang jelas dan ini merupakan akibat krisis ideologi di antara partai-partai politik.
Pemilu 2009 lebih fokus pada figur-figur politik seperti SBY, Mega, ataupun Jusuf Kalla. Pemilu 20014 lebih fokus pada figur-figur politik seperti Jokowi dan Prabowo. Partai politik hanya bersifat melakukan bandwagoning terhadap masing-masing bandwagon. Partai politik tidak memiliki karakter ideologis, dan sebab itu mengandalkan deskripsi ideologi mereka kepada figur-figur politik yang mereka dukung untuk mengepalai eksekutif.
Menurut Heywood, ideologi akan berimplikasi pada pemahaman politik dan dengan demikian akan merancang tujuan dan menginspirasikan aktivisme. Aktivisme dalam konteks ideologi ini adalah pemihakan serius pada segmen yang seharusnya dibela oleh setiap partai politik.
Namun, akibat hampir setiap partai politik tidak memiliki ideologi yang jelas, maka ini berimplikasi pada tidak jelasnya perancangan tujuan sistem politik itu sendiri. Indonesia di era 2009-2014 seolah berjalan seperti dilakukan oleh ko-pilot. Presiden sibuk melakukan stabilisasi atas citranya, sementara setiap partai politik koalisi diberikan ketenangan untuk berbuat apapun yang mereka anggap perlu untuk secara pragmatis dilakukan.
Arah Indonesia era 2009-2014 seorang tanpa tujuan, baik dalam politik internasional maupun domestik. Semua kebijakan diambil hampir secara reaksioner, tidak terstruktur, dan kerap saling bertentangan satu sama lain. Ini membuat koalisi di dalam partai pun menjadi longgar sehingga setiap partai cenderung menjalankan agenda masing-masing.
Demokrat sibuk mengamankan posisi SBY dan keluarganya, PKS sibuk dengan mencari popularitas untuk kepentingan Pemilu 2014, Golkar dengan posis di dua kakinya, dan partai-partai lain di dalam koalisi (PPP, PAN, PKB) pun cenderung melakukan tindakan masing-masing yang dianggap menguntungkan partai politiknya. Terjadi kartelisasi parlemen dan ini mendorong disorientasi arah perpolitikan dari sistem politik Indonesia.
Implikasi kedua dari Heywood adalah ideologi yang membentuk sifat dari sistem politik. Sifat atau karakter dari sistem politik relatif baru mengentara manakala PDIP mengusung Jokowi sebagai presiden di periode 2014-2019.
Namun, pengkarakteran ini tidak holistik di rezim politik Indonesia 2014-2019 karena akibat sistem multipartai ekstrim Indonesia, presiden terpaksa membagi kursi ‘anak buah’ eksekutif kepada para anggota partai koalisi yang ideologinya bahkan tidak serupa dengan program kerja yang dijanjikan eksekutif.
Misalnya, diberikannya kursi Jaksa Agung pada partai politik (Nasdem) tentu akan bertolak belakang dengan upaya menciptakan penegakan hukum karena mustahil jaksa agung akan melakukan pembersihan pada para sponsor partai Nasdem.
Eksekutif dengan demikian hanya bisa menciptakan karakter atas sebagian kursi kementerian yang dijabat oleh kalangan non partai politik seperti telah disebutkan di bagian sebelumnya.
Implikasi ideologi yang ketiga menurut Heywood adalah bertindak untuk membangun semen sosial. Tidak ada semen sosial yang terbentuk di era SBY 2009-2014, dan yang terjadi justru mengeraskan kelompok-kelompok garis keras yang mengatasnamakan agama tertentu.
Toleransi beragama menjadi sangat berkurang di era SBY yang kedua. Publik yang pro kebhinnekaan semakin mendapat tentangan tegas dari yang anti kebhinnekaan. Partai-partai anggota koalisi yang berasal dari kelompok de facto agama seperti PKB, PAN, dan PKS tidak mampu meredam gejolak sektarian di tengah masyarakat.
Malah dapat dimungkinkan bahwa mereka justru menikmati pembiaran atas gejolak tersebut demi sekadar bermain aman dan menabung suara untuk Pemilu 2014. Di Pemilu 2014, setelah PDIP berhasil melakukan bandwagoning atas figur Jokowi, kebijakan memang berputar arah.
Kelompok-kelompok anti kebhinnekaan menjadi sasaran penanggulangan. Berbeda dengan periode SBY kedua, partai-partai de fakto berelemen Islam seperti PPP dan PKB mampu melakukan netralisasi kendatipun tidak terlampau sukses karena kelompok antikebhinnekaan ada di koalisi oposisi (di kubu Prabowo). Namun, segmen sosial relatif diperhatikan di rezim Jokowi yang pertama ketimbang di rezim SBY yang kedua.
Post Analisis
Proposisi pertama artikel ini adalah “terdapat fenomena ambiguitas ideologi di kalangan partai politik Indonesia periode 2009 – 2014.” Sehubungan dengan proposisi ini, fenomena ambiguitas ideologi terjadi di partai-partai seperti Demokrat, Hanura, PPP, Golkar, PKB, tetapi tidak secara unik terjadi di PKS yang merupakan salah satu anggota partai koalisi. Hal ini dapat dikembalikan kepada basis massa dari masing-masing partai politik, khususnya proses kaderisasi yang terjadi di masing-masing partai politik.
Proposisi kedua artikel ini menyatakan “Ambiguitas ideologi mendorong pada disorientasi arah politik Indonesia 2009 – 2014.” Hal ini terjadi di periode eksekutif SBY Kedua 2009-2014 di mana sistem politik seolah berjalan secara day to day politics ketimbang mengembang suatu misi tertentu.
Juga pada era ini tidak berhasil tercipta semen untuk mengikat masyarakat karena terjadinya penguatan aneka kelompok anti-kebhinnekaan di era ini. Pada era 2014-2019, sistem politik relatif memiliki karakter kendati tidak cukup full karena eksekutif masih dibatasi oleh akibat terjadinya multipartai ekstrim. Masih banyak menteri yang tidak satu ideologi dengan pemegang kekuasaan eksekutif sehingga karakter sistem politik hanya nyata sebagian saja. [sb]
Toleransi beragama menjadi sangat berkurang di era SBY yang kedua. Publik yang pro kebhinnekaan semakin mendapat tentangan tegas dari yang anti kebhinnekaan. Partai-partai anggota koalisi yang berasal dari kelompok de facto agama seperti PKB, PAN, dan PKS tidak mampu meredam gejolak sektarian di tengah masyarakat.
Malah dapat dimungkinkan bahwa mereka justru menikmati pembiaran atas gejolak tersebut demi sekadar bermain aman dan menabung suara untuk Pemilu 2014. Di Pemilu 2014, setelah PDIP berhasil melakukan bandwagoning atas figur Jokowi, kebijakan memang berputar arah.
Kelompok-kelompok anti kebhinnekaan menjadi sasaran penanggulangan. Berbeda dengan periode SBY kedua, partai-partai de fakto berelemen Islam seperti PPP dan PKB mampu melakukan netralisasi kendatipun tidak terlampau sukses karena kelompok antikebhinnekaan ada di koalisi oposisi (di kubu Prabowo). Namun, segmen sosial relatif diperhatikan di rezim Jokowi yang pertama ketimbang di rezim SBY yang kedua.
Post Analisis
Proposisi pertama artikel ini adalah “terdapat fenomena ambiguitas ideologi di kalangan partai politik Indonesia periode 2009 – 2014.” Sehubungan dengan proposisi ini, fenomena ambiguitas ideologi terjadi di partai-partai seperti Demokrat, Hanura, PPP, Golkar, PKB, tetapi tidak secara unik terjadi di PKS yang merupakan salah satu anggota partai koalisi. Hal ini dapat dikembalikan kepada basis massa dari masing-masing partai politik, khususnya proses kaderisasi yang terjadi di masing-masing partai politik.
Proposisi kedua artikel ini menyatakan “Ambiguitas ideologi mendorong pada disorientasi arah politik Indonesia 2009 – 2014.” Hal ini terjadi di periode eksekutif SBY Kedua 2009-2014 di mana sistem politik seolah berjalan secara day to day politics ketimbang mengembang suatu misi tertentu.
Juga pada era ini tidak berhasil tercipta semen untuk mengikat masyarakat karena terjadinya penguatan aneka kelompok anti-kebhinnekaan di era ini. Pada era 2014-2019, sistem politik relatif memiliki karakter kendati tidak cukup full karena eksekutif masih dibatasi oleh akibat terjadinya multipartai ekstrim. Masih banyak menteri yang tidak satu ideologi dengan pemegang kekuasaan eksekutif sehingga karakter sistem politik hanya nyata sebagian saja. [sb]
Catatan Kaki
[01] Badan Pusat Statistik, “Perolehan Suara dan Kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut Partai Politik Hasil Pemilu Tahun 2009 dan 2014”. URL: <https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/12/1169/perolehan-suara-dan-kursi-dewan-perwakilan-rakyat-dpr-menurut-partai-politik-hasil-pemilu-tahun-2009-dan-2014.html> Tanggal Akses: 5 April 2020.
[02] ibid.
[03] Jessi Carina, “Perbandingan Suara Parpol 2014 dan 2019: Dari yang Melejit, Tersingkir, hingga yang Bertahan Jadi Juara.” URL: <https://nasional.kompas.com/read/2019/05/21/06353851/perbandingan-suara-parpol-2014-dan-2019-dari-yang-melejit-tersingkir-hingga?page=3> Tanggal Akses: 5 April 2020.
[04] Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London – New York: Verso, 1991) p. 1-2
[05] Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 5th Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2012) p. 3.
[06] Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) h. 6
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.