Ad Code

Dimensi Kekuasaan dalam Organisasi

Kekuasan (power) dalam perbincangan seputar organisasi dan manajemen adalah perkembangan paling mutakhir dalam studi- studi organisasi dan manajemen. Tokoh-tokoh seperti James March dan Jeffrey Pfeiffer bertanggung jawab dalam mempopulerkan studi kekuasaan dan politik di dalam organisasi.

Tulisan ini akan membahas masalah kekuasaan di dalam organisasi, bukan kekuasaan dan politik pada struktur kenegaraan yang biasa kita sebut “politik” sehari-hari. Manusia adalah zoon politikon sehingga dengan demikian, di manapun, di organisasi manapun (negara atau swasta) politik tetap berlaku, kendati dalam konteks organiasi privat. Mungkin saja akan banyak konsep yang serupa karena pinjam-meminjam konsep antarbidang ilmu adalah umum.

Definisi Kekuasaan dalam Organisasi

Gilbert W. Fairholm mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kemampuan individu untuk mencapai tujuannya saat berhubungan dengan orang lain, bahkan ketika dihadapkan pada penolakan mereka.”[01] Fairholm lalu merinci sejumlah gagasan penting dalam penggunaan kekuasaan secara sistematik dengan menakankan bahwa kapasitas personal-lah yang membuat pengguna kekuasaan bisa melakukan persaingan dengan orang lain.

Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah karakteristik. Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang digunakan seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam hubungan interpersonalnya. Karakter kekuasaan, menurut Fairholm adalah :
  1. Kekuasaan bersifat sengaja, karena meliputi kehendak, bukan sekadar tindakan acak;
  2. Kekuasaan adalah alat (instrumen), ia adalah alat guna mencapai tujuan;
  3. Kekuasaan bersifat terbatas, ia diukur dan diperbandingkan di aneka situasi atau dideteksi kemunculannya;
  4. Kekuasaan melibatkan kebergantungan, terdapat kebebasan atau faktor kebergantungan-ketidakbergantungan yang melekat pada penggunaan kekuasaan.
  5. Kekuasaan adalah gagasan bertindak, ia bersifat samar dan tidak selalu dimiliki;
  6. Kekuasaan ditentukan dalam istilah hasil, hasil menentukan kekuasaan yang kita miliki;
  7. Kekuasaan bersifat situasional, taktik kekuasaan tertentu efektif di suatu hubungan tertentu, bukan seluruh hubungan; dan
  8. Kekuasaan didasarkan pada oposisi atau perbedaan, partai harus berbeda sebelum mereka bisa menggunakan kekuasaan-nya.

Gareth Morgan dalam karya penelitiannya Images of Organization, mendefinisikan kekuasaan sebagai “... medium melalui mana konflik kepentingan diselesaikan ... kekuasaan memengaruhi siapa dapat apa, kapan dan bagaimana ... kekuasaan melibatkan kemampuan memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki.” [02]

Stephen P. Robbins mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kapasitas bahwa A harus memengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh A [03]. Definisi Robbins menyebut suatu “potensi” sehingga kekuasaan bisa jadi ada tetapi tidak dipergunakan. Sebab itu, kekuasaan disebut sebagai “kapasitas” atau “potensi”.

Seseorang bisa saja punya kekuasaan tetapi tidak menerapkannya. Kekuasaan punya fungsi bergantung. Semakin besar ketergantungan B atas A, semakin besar kekuasaan A dalam hubungan mereka. Ketergantungan, pada gilirannya, didasarkan pada alternatif yang ada pada B dan pentingnya alternatif tersebut bagi B dalam memandang kendali A.


Dimensi Kekuasaan dalam Organisasi - seta basri tetap menulis
https://ils.unc.edu/daniel/614/power.html

Penulis lain semisal John A. Wagner and John R. Hollenbeck justru menawarkan definisi kekuasaan dari para politisi semisal Winston Churchill dan Bill Clinton, yaitu “ ... kemampuan untuk memengaruhi perilaku orang lain dan membujuknya untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka tolak” [04]. Sebab itu, Wagner and Hollenbeck mendefinisikan kekuasaan sebagai“ ... kemampuan, baik untuk memengaruhi perilaku orang lain ataupun untuk melawan pengaruh yang tidak diinginkan” [05].

Studi Charles McClelland menyebut bahwa kekuasaan adalah satu jenis kebutuhan (nPow) yang dipelajari selama periode masa kecil dan dewasa seseorang. Kebutuhan akan kekuasaan ini punya dampak berbeda pada cara orang berpikir dan berperilaku. Umumnya, orang yang tinggi “nPow-nya” bersifat kompetitif, agresif, sadar prestise, cenderung bertindak, dan bangga tatkala bergabung ke dalam kelompok.

Dalam konteks perilaku organisasi, John R. Schemerhorn et.al. mendefinisikan kekuasaan sebagai “ ... kemampuan yang mampu membuat orang melakukan apa yang kita ingin atau kemampuan untuk membuat hal menjadi kenyataan menurut cara yang kita inginkan”[06]. Kekuasaan biasanya dikaitkan dengan konsep kepemimpinan, di mana kepemimpinan merupakan mekanisme kunci dari kekuasaanguna memungkinkan suatu hal terjadi.

Esensi kekuasaan adalah kendali atas perilaku orang lain. Kekuasaan adalah kekuatan yang kita gunakan agar sesuatu hal terjadi dengan cara disengaja, di mana influence (pengaruh) adalah apa yang kita gunakan saat kita menggunakan kekuasaan. Seorang manajer membiakkan kekuasaan dari aneka sumber, baik dari organisasi yang disebut sebagai “power position” ataupun dari personalitasnya sendiri yang disebut “personal power.”

Jeffrey Pfeiffer, salah satu perintis kajian kekuasaan dan politik dalam organisasi mendefinisikan kekuasaan sebagai:

“ ... the potential ability to influence behavior, to change the course of events, to overcome resistance, and to get people to do things that they would not otherwise do.”[07] [... kemampuan potensial untuk memengaruhi perilaku, mengubah arah peristiwa, mengatasi perlawanan, dan membuat orang melakukan sesuatu yang tadinya tidak hendak mereka lakukan].

Baik politik maupun pengaruh (influence) adalah merupakan proses, tindakan, perilaku, di mana kekuasaan yang bersifat potensial ini memiliki media untuk digunakan, direalisasikan.

Richard L. Daft mengidentifikasi bahwa kekuasaan sebagai kekuatan di dalam organisasi sulit untuk dicerap, tidak bisa dilihat, tetapi efeknya dapat dirasakan. Daft kemudian juga menyatakan kekuasaan sebagai kemampuan potensial seseorang (atau departemen) untuk memengaruhi orang (atau departemen) lain untuk menjalankan perintah atau melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak [08].

Daft menyebut definisi lain dari kekuasaan yang lebih menekankan pemahaman bahwa kekuasaan adalah kemampuan umtuk eraih tujuan atau hasil sebagaimana dikehendaki pemegang kekuasaan. Pencapaian hasil yang dikehendaki adalah dasar utama dari definisi kekuasaan. Definisi kekuasaan dari Daft sendiri adalah “ ... the ability of one person or department in an organization to influence other people to bring about desired outcomes” [09]. Kekuasaan berpotensi untuk memengaruhi orang lain dalam organisasi dengan sasaran memperoleh hasil yang dikehendaki para pemegang kekuasaan.

Sebagai definisi penutup, baiklah kami sampaikan apa yang diutarakan James G. March and Thierry Weil mengenai konsep kekuasaan. Mereka berdua menyatakan (penulis kutip agak panjang) :

“ ... it is a concept that is often used; the feeling of power is linked to the esteem that people have for themselves (this is often a vicious circle, as a person’s reputation for powerfulness or weakness contributes to his or her success of difficulties).

Power gives rise to desire, envy, and celebration, but also to revulsion, fear, and jealousy ... a rough definition of power would be the capacity to obtain what one wants (or to help others obtain what they want). On an economic and trading level, power comes from controlling rare resources (precious bargaining chips) or having different preferences (coveting what nobody wants).

On the level of collective choice, where decision is some kind of weighted mean of the choices of the various participants, a person’s capacity to obtain what he or she wants (power, according to the definition above) is lingked to his or her weight in the decision-making process (power, according to some other definitions) and the congruence of his or her preferences with those of other people”
[10].

Definisi-definisi kekuasaan yang telah disebutkan – kendati definisi itu sendiri tidak ada yang mencukupi menurut March – mengindikasikan pentingnya posisi kekuasaan dalam suatu organisasi. Tanpa kekuasaan, individu akan anarkis, pemimpin tidak bergigi, sanksi tidak dipatuhi, dan sebab itu ketiadaan kekuasaan kerap dianggap situasi chaos (kekacauan). Ketiadaan kekuasaan dalam organisasi membuat organisasi kehilangan konsep pengendalian dan berujung pada ketidaktercapaian tujuan organisasi, bhkan chaos dalam organisasi.

Sumber dan Jenis Kekuasaan

Dari manakah sumber-sumber kekuasaan? Para penulis berbeda pendapat – kendati punya banyak kesamaan satu sama lain – seputar sumber kekuasaan di dalam organisasi. Ada baiknya kita tinjau pendapat Gareth Morgan tentang sumber kekuasaan dalam organisasi, yang menurutnya berasal dari : [11]
  1. Otoritas formal;
  2. Kendali sumber daya langka;
  3. Penggunaan struktur, aturan, dan kebijakan organisasi;
  4. Kendali proses pembuatan keputusan;
  5. Kendali pengetahuan dan informasi’
  6. Kendali batasan (boundary) organisasi;
  7. Kendali teknologi;
  8. Aliansi interpersonal, jaringan, dan kendali atas “organisasi informal”;
  9. Simbolisme dan manajemen makna (filosofi organisasi);
  10. Gender dan manajemen hubungan berbasis gender;
  11. Faktor-faktor struktural yang menentukan tahap-tahap tindakan; dan
  12. Kekuasaan yang telah seorang miliki.

Bagi Morgan, sumber-sumber kekuasaan menyediakan para anggota organisasi sejumlah makna berbeda untuk menggapai kepentingan mereka serta memecahkan sekaligus melestarikan konflik dalam organisasi.

Studi klasik seputar jenis kekuasaan ditemukan French and Raven tahun 1959. Keduanya membuat taksonomi yang membedakan 5 jenis kekuasaan, yaitu : [12]

seta basri tetap menulis - taksonomi kekuasaan versi french and raven

Revisi atas taksonomi French and Raven dilakukan oleh Ronald J. Stupak and Peter M. Leitner dalam Handbook of Public Quality Management tahun 2001,[13] di mana mereka menerima 5 jenis kekuasaan French and Raven tetapi menambahkannya menjadi :


taksonomi kekuasaan versi stupak and leitner - seta basri tetap menulis

Taksonomi French and Raven juga diadopsi oleh Stephen P. Robbins. Bagi Robbins, sumber kekuasaan dikategorikan ke dalam 2 lokus, yaitu (1) Kekuasaan Formal dan (2) Kekuasaan Personal.

Kekuasaan Formal didasarkan posisi individu dalam organisasi. Kekuasaan formal juga bisa datang dari kemampuan seorang pejabat melakukan tindak koersif, reward, juga otoritas. Kekuasaan personal datang dari individu sendiri. Mereka tidak harus punya posisi formal untuk berkuasa. Orang-orang yang kompeten bekerja, kendati bukan manajer atau pimpinan, bisa berkuasa. Kekuasaan ini datang dari karakteristik unik mereka. Taksonomi jenis dan sumber kekuasaan dari Robbins adalah sebagai berikut :

taksonomi kekuasaan versi robbins - seta basri tetap menulis

Dalam tanggapannya atas taksonomi jenis kekuasaan French and Raven, Douglas Fairholm mengklasifikasi 10 jenis kekuasaan yang banyak diaplikasikan hingga saat ini, yang menurutnya adalah: [14]

1. Reward Power

Reward Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan seseorang menyediakan keuntungan bagi sesuatu atau orang lain. Kekuasaan mengalir dari individu yang mampu menyediakan reward yang dibutuhkan orang lain. Kemampuan ini memungkinkan pemilik kekuasaan mengendalikan perilaku orang lain dan mencapai hasil yang diharapkan sejauh adanya kebutuhan orang lain tersebut akan reward yang disediakan olehnya.

Penggunaan kekuasaan reward biasanya dilakukan oleh orang di tingkatan tertinggi hirarki organisasi. Mereka biasanya punya akses pada material, informasi atau upah psikologis (senyum, perhatian, pujian, kata-kata manis).

Manajemen tingkat menengah dan para supervisor juga biasanya memiliki jenis kekuasaan ini. Sebaliknya, pekerja juga dapat menerapkan kekuasaan reward ini kepada atasannya, dengan cara menerapkan energi dan skill yang mereka miliki guna menyelesaikan pekerjaan yang diharapkan seorang manajer. Karena manajer bergantung pada kinerja pekerja, maka pekerja dapat menyetir perilaku manajer agar sesuai keinginan mereka.

2. Coercive Power

Coercive Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas kemampuan seseorang menyediakan dampak hukuman pada target akibat ketidakpatuhannya. Kekuasaan ini terletak pada kemampuan seseroang untuk memerintahkan kepatuhan lewat cara fisik. Seperti reward, kekuasaan jenis ini memungkinkan pemimpin memengaruhi perilaku orang lain akibat kemampuannya menerapkan hasil yang tidak diinginkan. Ketidakpatuhan atas orang yang punya jenis kekuasaan koersif menghasilkan penerapan hukuman dalam bentuk menahan reward yang diinginkan. Ini merupakan situasi kekuasaan koersif, kekuasaan yang mengikuti model militer.

3. Expert Power

Expert Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan dan pengetahuan khusus yang dimiliki seseorang di mana target atau orang lain kerap menggunakan atau bergantung kepadanya. Orang selalu menghargai kompetensi, dan sebab itu Expert Power merupakan sumber kekuasaan yang penting untuk diterapkan. Kekuasaan mengalir dari orang yang punya skill, pengetahuan, dan kemampuan yang dibutuhkan dan dihargai oleh orang lain. Jika orang merengek agar seorang pekerja mau menggunakan skill yang ia miliki untuk membantu mereka, maka pekerja tersebut punya kekuasaan.

4. Legitimate Power

Legitimate Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas perasaan orang lain bahwa pelaku kekuasaan punya otoritas dan hak untuk memengaruhi tindakan mereka. Perasaan ini merupakan hasil yang diterima dari organisasi formal atau warisan historis. Kekuasaan hadir pada mereka yang ditunjuk oleh organisasi untuk memberi perintah. Delegasi otoritas melegitimasikan hak seseorang memaksakan kepatuhan pada mereka yang menyatakan wajib untuk mentaati sumber kekuasaan (organisasi). Persepsi legitimasi di benak target kekuasaan bersifat kritis. Baru setelah target ini yakin bahwa pemberi perintah punya hak yang legitimate untuk memerintah sajalah mereka akan patuh.

5. Identification Power with Other

Hubungan seseorang dengan orang lain yang punya kekuasaan menular pada orang yang berhubungan tersebut. Sebab itu, kekuasaan yang ada merujuk pada penguasa lain. Jenis kekuasaan ini bisa datang lewat hubungan personal seperti sekretaris atau asisten administrasi yang kerap kerja bareng boss eksekutif. Jika orang yang mendekatkan diri dengan kekuasaan tersebut juga meniru gagasan, norma, metode, dan tujuan dari orang berkuasa, kekuasaan orang tersebut akan bertambah.

6. Critical Power

Pada tingkat lain, seseorang berkuasa hingga derajat mana kontribusi orang tersebut bersifat kritis bagi individu lain atau bagi organisasi. Bilamana orang lain berhasrat pada energi, sumberdaya, dan keahlian seseorang, hingga derajat tersebut pula ia punya kekuasaan atas mereka. Seseorang juga menerapkan kekuasaan sejauh orang tersebut terhubung dengan sumber daya yang mereka kuasai.

7. Social Organization Power

Sumber kekuasaan lainnya adalah organisasi sosial. Kekuasaan juga diturunkan lewat hubungan terstruktur di mana seseorang mengkombinasikan kekuatan individual mereka guna memenuhi tujuan kelompok. James MacGregor Burns menyatakannya dalam kata-kata “kekuasaan seorang pemimpin mengalir dari kekuasaan pengikut.” Pencapaian tujuan hanya dapat terselenggara ketika satu individu berhasil memobilisasi dan mentransformasi pengikut, yang pada gilirannya mentransformasikan kekuasaan tersebut kepada pemimpin.

8. Power Using Power

Kekuasaan juga bisa bersumber tatkala seseorang menggunakan kekuasaan-nya. Kekeliruan menerapkan kekuasaan dapat berakibat hilangnya kekuasaan. Sebaliknya, penggunaan kekuasaan cenderung meningkatkan kekuasaan itu sendiri. Persepsi dari orang lain seputar kekeliruan seorang pengguna kekuasaan bisa menghasilkan berkurangnya dukungan. Kekeliruan bertindak atau sering melakukan kekuasaan secara sembrono bisa mengikis kekuasaan dan dukungan dari orang lain yang kita butuhkan agar kekuasaan kita langgeng. Kekuasaan, pada dirinya sendiri, adalah sumber bagi kekuasaan lainnya.

9. Charismatic Power

Karisma yang digambarkan Max Weber dan Referent Power diidentifikasi menyediakan dasar teoretis bagi dasar kekuasaan. Orang yang punya karisma biasanya punya personalitas menyenangkan, menarik, dan mendorong orang mau mematuhi si pemilik karisma. Orang yang punya kharisma biasanya ada di lingkar tengah klik-klik berpengaruh dan punya akses pada orang-orang berpengaruh di dalam komunitas.

10. Centrality Power

Penempatan strategis individu ke dalam organisasi juga merupakan sumber kekuasaan. Lokasi fisik di jantung kegiatan atau interaksi dengan orang-orang berkuasa menambah perkembangan dan penggunaan efektif dari kekuasaan. Sentralitas kekuasaan ini penting dalam konteks kekuasaan, baik secara fisik ataupun sosial.

Penulis lain seperti seperti Yukl and Falbe membuat taksonomi jenis kekuasaan menjadi 7 jenis kekuasaan yang dibagi ke dalam 2 variabel yaitu variabel Power Position dan Power Personal. Position Power termasuk pengaruh potensial yang diturunkan dari otoritas legitimasi, kendali atas sumber daya dan reward, kendali atas penghukuman, kendali atas informasi, dan kendali atas lingkungan kerja fisik. Personal Power termasuk pengaruh potensial yang diturunkan dari kepakaran kerja dan potensi pengaruh berdasar persahabatan dan loyalitas. Secara lengkap, taksonomi Yukl dan Fabl sebagai berikut: [15]

taksonomi kekuasaan versi yukl and fable - seta basri tetap menulis

Legitimate power berasal dari otoritas formal yang menaungi kegiatan pekerjaan formal. Reward Power adalah persepsi dari orang yang jadi sasaran bahwa seorang agen mengendalikan sumber daya penting seputar reward yang dikehendaki. Coercive Power didasarkan pada otoritas menghukum (memberi sanksi), yang bentuknya berbeda-beda di tiap organisasi. Informational Power adalah kekuasaan yang muncul akibat pengendalian seseorang atas informasi yang berkembang di dalam organisasi. Ecological Power adalah kekuasaan yang lahir akibat kendali atas lingkungan, teknologi, dan organisasi kerja secara fisik yang memberi kesempatan pada seseorang memberi pengaruh tidak langsung atas orang lain.

Referent Power dialirkan dari kehendak orang lain untuk menyenangkan seorang agen dalam mana agen tersebut punya feeling kuat atas perasaan, kekaguman, dan kesetiaan. Expert Power adalah kekuasaan yang terbangun dari skill dan pengetahuan seseorang di dalam organisasi. Taksonomi Yukl and Fabl mirip dengan yang dibuat Wagner and Hollenbeck berdasarkan karya French and Raven, kecuali untuk Information Power dan Ecological Power.

Kendati banyak dikritik, taksonomi yang ditawarkan French and Raven banyak diikuti sejumlah peneliti. Bahkan ada yang melakukan penajaman atas taksonomi tersebut misalnya Hinken and Schriesheim tahun 1989, yaitu melakukan redefinisi agar mudah dalam pengukurannya sebagai berikut:

modifikasi taksonomi kekuasaan versi hinken and schriensheim - seta basri tetap menulis

Berdasarkan karya French and Raven, dapat dibuat suatu alat ukur guna mengukur jenis kekuasaan yang ada pada seseorang atau pimpinan atau manajer. Alat ukur tersebut sebagai berikut:

perasaan manager tentang politik di tempak kerja - seta basri tetap menulis


Catatan Kaki

[01] Gilbert W. Fairholm, Organizational Power Politics: Tactics in Organizational Leadership, 2nd Edition (Santa Barbara: Praeger, 2009) , p.5.
 
[02] Gareth Morgan, Images of Organization (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 2006) p.166.
 
[03] Stephen P. Robbins, Organisational Behaviour: Global and Southern African Perspectives, 2nd Edition (Cape Town: Pearson Education South Africa (Pty) Ltd., 2009) p.15
 
[04] John A. Wagner II and John R. Hollenbeck, Organizational Behavior: Securing Competitive Advantage (Madison Avenue, New York: Routledge, 2010) p.215.
 
[05] ibid., p.215.
 
[06] John R. Schemerhorn, James G. Hunt, Richard N. Osborn, Organizational Behavior, 7th Edition (Phoenix : John Wiley & Sons, 2002) p.173.
 
[07] Jeffrey Pfeiffer, Managing with Power: Politics and Influence in Organizations (New York: Harvard Business School Press, 1992) p.30.
 
[08] Richard L. Daft, Organization Theory and Design, 10th Edition (Mason : Cengage Learning, 2010) p. 497.
 
[09] ibid.
 
[10] James G. March and Thierry Weil, On Leadership (Malden : Blackwell Publishing, 2005) p.52-3.
 
[11] Gareth Morgan, Images ...., op.cit., p.167.
 
[12] John A. Wagner II and John R. Hollenbeck, Organizational ..., op.cit., p.216-7.
 
[13] Ronald J. Stupak and Peter M. Leitner, Handbook of Public Quality Management (Boca Raton, Florida: CRC Press, 2001).
 
[14] Douglas Fireholm, Organizational ...., op.cit., p.23.
 
[15] Gary Yukl, Leadership in Organizations, 6th Edition (New Delhi: Dorling Kindersley, 2006) P.167


What Greene’s Say

Kemenangan apapun yang telah Anda peroleh lewat jalan perdebatan sesungguhnya merupakan kemenangan yang terlalu banyak memakan korban:
Kebencian dan niat buruk yang Anda bangkitkan lebih kuat dan lebih bertahan lama daripada perubahan pendapat sesaat apa pun. Jauh lebih baik bagi Anda untuk memengaruhi orang lain untuk sepakat dengan Anda lewat tindakan Anda tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Demonstrasikanlah tindakan Anda dan jangan pernah pengaruhi orang lain dengan memaparkan pendapat Anda.

-- Robert Greene , 2007, h.6

Posting Komentar

0 Komentar