Ad Code

Tanya-Jawab dalam Kelas Ilmu Politik

Tanya-Jawab dalam kelas Ilmu Politik kembali teringat. Saat itu pembelajaran dilangsungkan melalui media-media virtual karena pertemuan tatap muka tidak diperbolehkan, entah karena apa. Berhubung melalui media virtual, maka jejak digitalnya tentu masih ada. Artikel ini merupakan salah satunya, tanya jawab menggunakan fitur Forum dalam salah satu aplikasi pembelajaran berbasis internet.


Pertanyaan: Apa dan jelaskan yang menjadi inti (core) dalam membahas politik sebagai ilmu maupun politik sebagai tindakan praktis?


Dalam menjelaskan ini saya jadi teringat uar-uar dari Daoed Joesoef soal depolitisasi kampus. Untuk sedikit bernostalgia soal depolitisasi kampus ini saya kutip agak panjang, bahwa menurut Joesoef " ... Ada tiga artian politik. Pertama, politik dalam artian konsep. Kedua, politik dalam artian kebijakan. Ketiga, politik dalam artian arena. 

Nah, yang dikembangkan dalam NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus), adalah politik dalam artian konsep. Mahasiswa harus menyiapkan diri untuk mampu membuat konsep. Kalau tidak, siapa?" Untuk saat itu (saat S1) saya sungguh tidak menyukai kalimat Joesoef tersebut. Yang saya pahami saat itu adalah, politik itu arena (pengertian ketiga), ajang pertarungan antar kelompok baik untuk mendukung atau menentang suatu rezim pemerintahan. 

Mahasiswa yang cuma belajar konsep (saat itu, pengertian pertama politik menurut Joesoef) saya nilai bukan mahasiswa karena tidak melibatkan diri dalam realitas politik. Realitas politik tersebut adalah dampak apa yang diberlakukan rezim (pengertian kedua politik menurut Joesoef) terhadap "rakyat." "Rakyat" dalam pikiran saya saat itu homogen, yaitu yang terdampak buruk akibat perilaku rezim. Namun, itu adalah masa lalu dan saat ini saya mulai memahami pertanyaan Bapak, kendati mungkin jawaban saya akan keliru.

Tanya-Jawab dalam Kelas Ilmu Politik
https://www.crackap.com/ap/us-government-and-politics/question-760.html#google_vignette

 Politik sebagai Ilmu adalah Politik dalam artian konsep. Konsep dibangun dari aneka fenomena empiris yang kemudian diabstraksi menjadi konsep. Maka lahirnya Teori Elit, Teori Pluralisme Politik, Teori Hegemoni, Teori Ketergantungan, Teori Post-Kolonial, Teori Negara Organis-Statis, Teori Biopolitik (salah satu elemen pembentuknya dari studi etologi perilaku hewan yang digunakan untuk menjelaskan perilaku politik manusia), Teori Patron-Klien, Teori Demokrasi, dan sebagainya, yang saya pelajari baik dari aneka buku maupun dalam perkuliahan saat ini. Jika saya terus fokus pada kajian konsep, maka "politik" saya adalah politik dalam arti konsep, ilmu.

Namun, manakala saya memanfaatkan ilmu yang saya dapat baik dari buku, perkuliahan di sini, ataupun berguru (misalnya, bukan kenyataan sesungguhnya) kepada Sukarno, M. Natsir, Sukiman Wirosandjojo, HOS Tjokroaminoto, Sjahrir, atau Tan Malaka, kemudian saya berusaha secara nyata melakukan rekayasa sosial, baik dengan cara membangun gerakan sosial yang pro atau anti rezim yang berkuasa, mempengaruhi proses pembuatan undang-undang di DPR baik lewat lobi maupun gertakan massa yang saya kerahkan, membentuk aliansi politik dengan aneka ormas dan LSM untuk mendukung atau menekan rezim yang berkuasa (bahkan mungkin mengimpeachment rezim saat ini) lewat aneka brainstorming penggerakan massa baik terselubung maupun terbuka, atau membangun basis dukungan massa untuk capres A, B, atau C, maka saya memperlakukan politik sebagai tindakan praktis.


Pertanyaan: Berbicara kekuasaan dalam makna kebudayaan politik secara luas, nampaknya ada perbedaan mendasar antara dunia Barat dengan dunia Timur (Kebudayaan Indonesia), jelaskan tentang hal ini ?


Kekuasaan antara Barat dan Timur, secara kebudayaan politik adalah berbeda. Barat memandang kekuasaan secara instrumental, sementara Timur memandang kekuasaan secara transendental. Pemaknaan kekuasaan oleh budaya Barat sebagai instrumental tumbuh sebagai medium pencapaian individualitas manusia. 

Harmoni akan muncul apabila individualitas manusia bisa terselenggara. Untuk menjamin terselenggaranya individualitas (yaitu kepentingan khas atau unik setiap individu) maka diciptakanlah kekuasaan. Kekuasaan, oleh sebab itu muncul akibat adanya perjanjian sosial. Kekuasaan dianggap perlu agar prakondisi terjaminnya individualitas manusia (kebebasan, properti) tercipta. Sebab itu kekuasaan dalam cara pandang Barat adalah profan, bukan sakral. 

Kekuasaan harus terus direkayasa sedemikian rupa agar memungkinkan sebesar mungkin individualitas manusia terjamin. Pun bagi masyarakat Barat, kekuasaan itu sifatnya sekuler. Kekuasaan tidak ada hubungannya dengan aspek transendental manusia. Kekuasaan adalah sekadar alat untuk mencapai individualitas manusia.

Pada sisi lain di Timur, khususnya Indonesia, kekuasaan adalah given dan bukan melekat di individu melainkan kehidupan kolektif. Bagi orang Indonesia selalu ada orang yang dianggap memang sudah “dari sananya” harus memimpin dan ada yang menjadi pengikut atau rakyat yang dipimpin. Karena kekuasaan itu selalu ada di dalam masyarakat, maka kekuasaan dipandang bukan alat yang sifatnya profan melainkan sakral. 

Kekuasaan itu adalah sesuatu yang bernilai tinggi dan tidak semua orang bisa memilikinya. Karena nilainya yang tinggi itulah, kekuasaan sifatnya organis, bergerak, di dalam kelompok manusia Indonesia. Orang yang memiliki atau memegang kekuasaan di Indonesia pasti disegani oleh yang menjadi subordinat. Dinasti politik di Indonesia, bahkan di masa Demokrasi Liberal saat ini, mudah sekali terbentuk dan masyarakat Indonesia cenderung tidak mempermasalahkan apabila tidak ada kesalahan atau mudarat yang fatal. 

Setiap pejabat pasti akan disambut baik dan meriah di aneka tempat yang mereka kunjungi dengan ragam seremoni penyambutan yang kadang agak berlebihan. Hal seperti ini kurang mengentara di Barat, di mana kekuasaan dipandang secara profan dan instrumentalis. Jabatan politik bukan prestise yang bernilai cukup tinggi di Barat, tetapi tidak di Indonesia. Jabatan lurah, camat, bahkan RT atau RW sangat dihormati di Indonesia (kendati bagi pejabat yang malpraktek kini orang Indonesia sudah tidak menghargai).


Pertanyaan: Apa yang menyebabkan timbulnya perbedaan cara pandang mengenai kekuasaan dalam perspektif dunia Barat dengan dunia Timur (Kebudayaan Indonesia ) ?


Barat pra Kristen (era paganisme), terbiasa dengan Antroposentrisme. Dewa Yunani adalah ekspresi transenden individualitas manusia, sifat mereka egois/konspiratif. Zeus kendati dewa tertinggi tidak steril dari konspirasi Hera, istrinya. Hera bersaing dengan Zeus untuk berkuasa. Di Skandinavia, Thor selalu digoda Freya, Dewi Kecantikan dan Kesuburan. Thor bersaing dengan Odin dalam menguasai Valhalla, semesta kehidupan dewa-dewi Skandinavia. 

Kepentingan individu adalah mulia dan khas. Saat gereja berkuasa di Abad Kegelapan individualitas manusia Barat ter intimidasi. Muncul Renesans yang kembali menghidupkan antroposentrisme Yunani Kuno. Disusul Aufklarung, Pencerahan, titik sekularisasi yang mapan. Dari discovery ini, Demokrasi a la Polis Yunani yang terkubur pasca penaklukan Athena oleh Sparta kembali mekar. Manusia Barat memandang negara secara instrumentalis. Negara bukan "given by God" tetapi dibentuk aneka individu yang bersepakat mengikat diri untuk hidup bersama. 

Mereka lalu memilih orang berwaktu luang untuk mengurus relasi mereka. John Locke menyatakan negara ada sekadar melindungi milik, Thomas Hobbes menyatakan negara ada sekadar membuat "chaos” abadi berhenti, Montesquieu merinci kekuasaan raja tidak boleh absolut. Rousseau menyatakan jaminan individu berupa "general will" hanya bisa terselenggara lewat Demokrasi Langsung di level Geneva, negara kota kecil Swiss. Bagi Barat, yang unik bukan kolektivitas tetapi individualitas. Sebab itu voting adalah mekanisme pencapaian konsensus atas konflik, bukan musyawarah. Demokrasi diadopsi secara cultural lag oleh Timur.

Timur termasuk Indonesia memandang kekuasaan berasal dari kolektivitas. Hak individu tunduk pada hak kolektif. Timur memandang kekuasaan secara Teosentris, ada kekuatan Adi Duniawi terlibat di sana. Hak kolektif menjelma ke dalam wujud divine right seorang raja atau sultan. Negara bukan muncul akibat kontrak antar manusia melainkan ada sebelum manusia, karena Penguasa Semesta membentuknya. 

Timur tidak mengenal Demokrasi melainkan negosiasi yang terjelma ke dalam tindak musyawarah mufakat. Itulah sebabnya sila keempat menyatakan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Musyawarah biasa dilakukan di balai desa Jawa, gampong Aceh, ataupun "driven by" noken di Papua. Di era Kesultanan Demak, Raden Fatah sebagai eksekutif tidak sewenang-wenang. Keputusannya harus dikaji terlebih dahulu, diberi masukan, oleh Waliyyul Amri yang dipimpin Sunan Kudus. 

Tradisi pengambilan keputusan bukan sepihak juga berlaku di Samudera Pasai. Timur (Indonesia) terbiasa dipimpin oleh "dewan formatur" yang terdiri atas para ahli yang mengarahkan jalannya pemerintahan oleh eksekutif. Tidak semua rakyat kompeten memilih atau menjadi pemimpin. Setelah Indonesia menerapkan Demokrasi maka kerap terjadi orang inkompeten memimpin jalannya negara. Demokrasi liberal sebab itu kurang cocok bagi Indonesia karena inkompatibel dengan kedirian manusia Timur.

Posting Komentar

0 Komentar