Ad Code

Rudolf Mrazek tentang Madilog Tan Malaka

Dalam sebuah artikelnya berjudul “Tan Malaka: A Political Personality’s Structure of Experience” secara khusus Rudolf Mrazek membahas MaDiLog dalam satu sub artikel yang terbit dalam jurnal Indonesia yang dirilis Southeast Asia Program Publications at Cornell University tahun 1972.

Tentunya, telaah yang dilakukan Mrazek dilakukan dari sudut pandang seorang Indonesianis atas seorang tokoh pergerakan nasional dan kemerdekaan Indonesia. Kendati pun seorang non Indonesia, Mrazek dikenal banyak menulis mengenai Tan Malaka dari aneka sisi.

Mrazek memandang MaDiLog sebagai sebuah karya filosofis dari Tan Malaka. Mrazek meyakini bahwa Tan Malaka memandang MaDiLog sebagai pencapaian tertinggi atau magnum opus di antara berbagai karya yang pernah tokoh tersebut buat (Mrazek, 1972: 17). Mrazek juga menyatakan bahwa bagi Tan Malaka, MaDiLog adalah cara berpikir baru, yaitu “pusaka” yang diperoleh dari dari “Barat”. Pusaka ini merupakan inti sari pandangan kaum rasionalis, logis, Marxis-Leninis Barat. Tan Malaka mengajak para pembaca Indonesianya untuk mempelajari MaDiLog secara terbuka dan jujur (Mrazek, 1972: 17).

Sumber: http://www.riwajat.id/2025/06/ketika-duo-minang-bersilang-pandang.html

Tan Malaka juga memaksudkan MaDiLog sebagai “senjata” guna melawan apa yang ia sebut cara berpikir kaum Timur yang kolot, mistis, idealis, yang tidak hanya masih dominan di Indonesia melainkan juga di hampir seluruh penjuru Asia. Bagi Mrazek, Tan Malaka menyusun MaDiLog untuk masyarakatnya, yaitu orang-orang Asia yang “terlahir dalam belenggu mistisisme” (Mrazek, 1972: 17). Belenggu mistisisme ini dahulu pernah mencengkeram Eropa di Abad Pertengahan dan baru “merdeka” setelah datangnya Abad Pencerahan (aufklarung atau illumination).

Menurut Tan Malakan, lanjut Mrazek, MaDiLog disirkulasikan terutama atas permintaan para pemuda dengan tujuan sebagai pisau analisa dalam melakukan Revolusi di Indonesia. Bagi Tan Malaka pribadi, MaDiLog adalah “buah” dari perantauan pemikirannya selama di luar negeri (terutama di negara Barat dan Uni Sovyet), baik secara fisik maupun psikis (Mrazek, 1972: 18).

Bagi Mrazek, hal yang paling jelas dari MaDiLog selain ia merupakan sebuah karya yang kental dimensi Marxismenya, juga adanya fakta bahwa gagasan atau ide itu sangat penting dalam konsep reason atau penalaran. Dalam MaDiLog, tentu menggunakan banyak terminologi Marxis, gagasan atau ide itu sangat signifikan dalam mendorong kemajuan sosial. Di sinilah letak perbedaan Tan Malaka dengan Karl Marx, dengan mana yang disebut kedua jatuh dalam determinisme dinamika perjuangan kelas sebagai daya gerak kemajuan sosial, sementara Tan Malaka justru lebih mirip Max Weber dengan menyatakan bahwa kekuatan gagasanlah yang merangsang kemajuan sosial (Mrazek, 1972: 18). Tan Malaka bukan seorang Marxis yang “taqlid buta” karena di dalam karya filosofisnya, MaDiLog, ia hanya sedikit menyinggung terminologi utama “pembebek” Marxisme yaitu “jargon” perjuangan kelas (Mrazek 1972: 18).

Mrazek menyoroti konsep Materialisme yang diungkap Tan Malaka dalam MaDiLog. Benar, Materialisme merupakan konsep utama dengan mana MaDiLog didasarkan. Kendati demikian, bagi Mrazek, Materialisme yang digunakan Tan Malaka hanya punya sedikit kemiripan dengan apa yang Kaum Barat maksudkan dengan itu (Mrazek, 1972: 18). Aksioma dasar Materialisme Barat tidak begitu signifikan terlihat dalam Materialisme yang dijabarkan Tan Malaka dalam MaDiLog (Mrazek, 1972: 18). Ini akibat di dalam menjelaskan konsep Materialisme, Tan Malaka lebih menitikberatkan pada “akal” (reason). Selain “akal” konsep lain Tan Malaka dalam menjelaskan Materialisme versinya adalah “jiwa”, yang Tan Malaka konsepsikan sebagai roh, energi, dan vitalitas (Mrazek, 1971: 18).

Misalnya, Tan Malaka mengevaluasi animisme yang ia pandang sebagai dasar keyakinan untuk konsep jiwa. Tan Malaka menggunakan animisme yang berkenaan dengan konsep jiwa sebagai landasan historis bagi cara berpikir dalam MaDiLog (Mrazek, 1971: 18). Kendatipun Tan Malaka tetap menulis bahwa energi dapat mengubah bentuknya, ia kemudian berdalih bahwa roh atau spirit, singkatnya jiwa itu abadi. Di dalam MaDiLog, Tan Malaka memang berupaya memecah jiwa menjadi “atom-atom” a la Demokritus. Namun, pada ujungnya jiwa tersebut kemudian kembali dapat terbentuk selama persyaratan materialnya mencukupi (Mrazek, 1972: 19).

Pemahaman Materialisme Tan Malaka juga berbeda dengan Materialisme Barat yang Demokritusian. Contoh, ia memandang hormat pada “pawang”, suatu konsep dukun animis yang punya kekuatan magis. Bagi Tan Malaka, kekuatan “pawang” dapat dibedah secara ilmiah. Tan Malaka berujar bahwa “pawang” membutuhkan kuku jari, rambut, atau tengkorak sebagai cara ia memunculkan “sihirnya.” Dalam konteks ini, menurut pandangan ilmiah, “pawang” tidak sepenuhnya mendasarkan kekuatannya pada sumber daya yang ada pada dirinya sendiri. Ia tetap butuh sejumlah obyek material (kuku jari, rambut, tengkorak) yang bersifat fisikal dan dapat ditangkap panca indera (Mrazek, 1972: 19).

Mrazek melanjutkan, berbeda dengan Materialisme Barat, Materialisme dalam MaDiLog muncul sebagai sesuatu yang negatif (Mrazek, 1972: 19). Tan Malaka memahami Materialisme sebagai cermin dari imaji-imaji seputar kosmosentrisme dan idealisme, kepercayaan pada hantu-hantu, dan singkatnya “kepercayaan pada segala sesuatu yang berhubungan dengan mistisisme dan sihir" (Mrazek, 1972: 19). Karena keunikan ulasan Materialisme Tan Malaka ini, Mrazek mengasumsikan bahwa Materialisme Tan Malaka sejenis dengan realisme dan pragmatisme antroposentris (Mrazek 1972: 19).

Bagi Mrazek, titik fokus Materialisme Tan Malaka bukanlah dunia hantu ataupun dunia material, melainkan kehidupan manusia (human being) yang secara intelektual tengah berupaya mengeksplorasi lingkungannya. Sebab itu, maka Materialisme dalam pandangan Tan Malaka tidak lain sekadar sebuah cara berpikir yang sifatnya realistis, pragmatis, dan fleksibel (Mrazek, 1972: 19). Materialisme Tan Malaka dalam MaDiLog lebih berkenaan dengan apa yang “dekat” yaitu “apa yang dapat segera dan bisa langsung mempengaruhi kehidupan manusia.” Cara pikir Materialistik Tan Malaka, sebab itu, adalah “mencari hasil yang didasarkan atas jumlah alat bukti yang cukup, alat bukti yang pernah dialami dan diperiksa ulang” (Mrazek, 1972: 19).

Konsep inti lain dalam MaDiLog adalah Dialektika. Menurut Mrazek, Tan Malaka memahami Dialektika (dalam MaDiLog) sebagai konsep yang dibentuk untuk melawan pasifisme intelektual masa lampau. Pasifisme intelektual ini dipersamakan Tan Malaka dengan dogmatisme. Adanya dogmatisme ini membuat manusia mempercayai bahwa ada kekuatan supernatural yang membuat apa pun upaya manusia untuk melakukan eksplorasi intelektual menjadi sia-sia (Mrazek, 1972: 19). Dogmatisme ini pun membuat manusia tidak berdaya dalam mengubah alam. Apa akibat dari dogmatisme menurut Tan Malaka? Beberapa di antaranya adalah “pengingkaran diri”, “pasifisme”, “mental budak” dan “represi bangsa Timur oleh bangsa Barat” (Mrazek, 1972: 20).

Lalu bagaimana Dialektika Tan Malaka menurut Mrazek sendiri? Baginya, Dialektika Tan Malaka sifatnya kontras dengan dogmatisme. Dialektika adalah seni berpikir dalam konteks pergerakan. Ia didasarkan pada asumsi bahwa pemikiran manusia tidak pernah berhenti. Juga, kepercayaan adanya kekuatan permanen seperti bagaimana berpikir untuk mengubah dunia material (Mrazek, 1972: 20). Mrazek kemudian berupaya mempermudah pemahaman pembaca MaDiLog dalam memahami Dialektika Tan Malaka dengan mempersamakannya dengan Dinamisme.

Dalam mengakhiri ulasannya, Mrazek menulis bahwa maksud Tan Malaka membawa pulang “pusaka dari Barat” bukan sebagai ekspresi inferioritas kompleks, yaitu bahwa cara pikir Barat lebih superior dari cara pikir orang Indonesia. Juga MaDiLog disusun Tan Malaka bukan dengan maksud mengimplan cara pikir Barat yang “lebih benar” ke dalam cara berpikir orang Indonesia yang dianggap tradisional. Justru sebaliknya, Tan Malaka menyusun MaDiLog agar orang Indonesia dapat melepaskan diri dari belenggu mistisisme. MaDiLog merupakan upaya Tan Malaka agar pembaca Indonesianya mulai melangkah untuk berpikir dan mengubah nasib. Tan Malaka tentu paham bahwa justru kaum intelektual Barat berupaya keras melestarikan cara berpikir mistis bangsa koloni dengan tujuan agar mereka terperangkap dalam dogmatisme yang berujung pada fatalisme. Saat suatu bangsa menyerah dalam berpikir, maka kolonialis semakin memantapkan hegemoninya. 

Bagi Tan Malaka adalah mustahil menggantikan filosofi Timur dengan filosofi Barat (Mrazek, 1972: 20). Tan Malaka memaksudkan MaDiLog sebagai “buah tangan” (oleh-oleh) cara berpikir yang ia cerna dari Barat untuk kemudian disesuaikan dengan alam pikir Indonesia. Bagi Tan Malaka pula, “ketimuran” (Alam Minangkabau) dan MaDiLog dapat saling mengisi. Yang pertama dipandang Tan Malaka sebagai esensial guna mencapai yang terakhir, yaitu MaDiLog.

Terlepas dari ulasan Mrazek, kaum cendekiawan Timur yang pernah mengalami kolonialisme Barat kerap melakukan perlawanan intelektual atas aneka konsep kaum intelektual Barat. Tan Malaka adalah tokoh yang dibuang dari Komintern karena menolak “taqlid buta” atas strategi perjuangan Komintern Stalin yang menolak kerjasama dengan Pan Islamisme Jamaluddin Afghani. Demikian pula di Iran, Ali Syari’ati, kendati pun banyak membaca Karl Marx tetapi tetap kritis. Jika Tan Malaka menggunakan cara berpikir Alam Minangkabau yang tidak bisa dilepaskan dari Islam, maka Ali Syari’ati menggunakan Islam Syi’ah sebagai filter atas aneka konsep Marx. Bahkan, dengan jitu Ali Syari’ati membagi pemikiran Marx menjadi tiga kategori: Marx Muda, Marx Dewasa, dan Marx Tua.

Marx Muda adalah Marx yang sangat gandrung pada atheisme dan membenci agama, dan ini ditolak mentah-mentah oleh Syari’ati karena Marx tidak memahami Islam. Marx Dewasa adalah Marx yang secara ilmiah dan intelektual membedah Dialektika sejarah dan inilah yang “diislamkan” oleh Syari’ati dalam aneka tulisannya mengenai perjuangan kelas, eksploitasi manusia oleh manusia, dan tentu saja sisi gelap Kapitalisme. Marx Tua adalah Marx politisi, sehingga tidak ada yang bisa diambil manfaat dari pemikiran Marx Tua. Singkatnya, baik Tan Malaka maupun Ali Syari’ati tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ideosinkretik Islam, kendati pun di kemudian hari Tan Malaka banyak distigma sebagai Komunis dan Syari’ati distigma sebagai Syi’ah liberal yang anti klergisme para pemimpin agama. 


Sumber Renungan

Ali Syari’ati. Tt. Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique. Translated by R. Campbell. Islamic Foundation Press.

Rudolf Mrazek. 1972. Tan Malaka: A Political Personality’s Structure of Experience. Indonesia, No. 14 (Oct., 1972), pp. 1-48.

Posting Komentar

0 Komentar