Ad Code

Tan Malaka, Islam, dan Muhammad s.a.w.

Bagi penguasa Orde Baru, Datuk Ibrahim Sutan Malaka atau Tan Malaka “beraroma” komunis dan penguasa tersebut alergi dengan aroma jenis itu. Buktinya gelar anumerta Datuk sebagai Pahlawan Nasional yang diberikan Sukarno tahun 1963 dicabut oleh Penguasa Orde Baru. Ironisnya, partai politik yang Tan Malaka dirikan yaitu Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) tidak dibubarkan karena partai ini diakui kendati difusikan ke dalam blok Demokrasi: Partai Demokrasi Indonesia tahun 1973. 

Tidak seperti tokoh-tokoh “komunis” lain (jika memang Tan Malaka hendak Anda golongkan ke dalamnya), Tan Malaka tidak pernah menghujat Islam. Justru sebaliknya Tan Malaka memandang Islam secara sangat positif, khususnya sebagai kekuatan revolusioner kontra penindasan. Hal ini akan kita lihat di badan artikel saya ini.

Tan Malaka lahir sebagai seorang Muslim dari dua orang tua yang taat dididik dalam agama Islam. Inilah dimensi ideosinkretis yang hingga kapan pun tiada akan dapat dilepaskan dari pola pikir Tan Malaka hingga akhir hayatnya. Pernyataan ini tidaklah sembarangan melainkan didasarkan atas tulisan asli Tan Malaka sendiri di dalam magnum opus-nya: MaDiLog (Materialisme Dialektika Logika). 

Sumber : https://www.salingkaluak.com/2018/04/sosok-tan-malaka-yang-pantang-surut.html



Buku inilah inti sari epistemologi Tan Malaka dalam menjalankan pikirannya, sementara karya-karya lain semisal Naar de Republiek Indonesia, Dari Penjara ke Penjara, Massa Actie, Gerpolek, merupakan karya-karya intelektual yang lebih populis dan politis sifatnya. Pada lain pihak, MaDiLog lumayan sulit dicerna, terutama subnya yang mengenai Logika. Namun, mungkin pula ini dikarenakan saya (penulis artikel) tidak terbiasa dengan Matematika dan Ilmu Pasti. Intinya, MaDiLog adalah buah karya Tan Malaka mengenai Epistemologi atas “hampir” segala hal yang masuk kategori Materialisme, Dialektika, dan Logika.

Penulis tidak bertujuan membuat apologi atas Tan Malaka. Terlebih agar Tan Malaka diterima sebagai bagian dari umat besar bernama Islam atau diapresiasi layaknya utusan Tuhan. Tan Malaka kemungkinan besar akan menolak itu jikalau mengetahuinya. Tidak, sama sekali tidak.

Penulis hanya ingin pemirsa memiliki pandangan yang berimbang, bahwa yang namanya manusia bukanlah makhluk yang mudah kita bedakan layaknya Malaikat dan Iblis. Malaikat selalu benar karena patuh kepada Tuhan, sementara Iblis selalu jahat karena menolak menyembah Adam seperti Tuhan perintahkan kepadanya. Manusia adalah makhluk abu-abu. Manusia terbentuk dari proses panjang evolusi biologis yang tidak pernah lepas dari interaksi aspek genotip dan fenotip, sehingga mengalami perubahan secara bertahan selama milyaran tahun.

Akhirnya manusia pun hadir sebagai makhluk campuran antara aspek biologis-evolutif (nature) yang dalam hal ini manusia tidak terlampau berbeda dengan hewan dan aspek kultural (nurture) yang dalam hal ini manusia membedakan dirinya dari hewan dan Iblis hingga mampu mempelajari sifat-sifat “lurus” malaikat. Kitab-kita suci merupakan media dengan mana Tuhan “mengendalikan syahwat” manusia atas aspek nature-nya sehingga bobot aspek nurture-nya, yang banyak dikendalikan struktur neokorteks dalam otak homo sapiens sebagai buah manis proses evolusi, dapat lebih dikedepankan. 

Namun, pemirsa tentu telah banyak memperoleh contoh sejarah, dengan mana setiap perilaku politik merupakan percampuran konstan antara aspek nature dengan nurture manusia. Sebab itu, seluruh manusia (kecuali Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib, karena dibimbing wahyu secara langsung) rentan untuk berperilaku dalam kontinum Malaikat dan Iblis. Manusia bahkan kerap berperilaku dalam pendulum kedua sifat ideal typhus tersebut.

Baiklah, mari kita kembali ke maksud ditulisnya artikel ini. Kapan Tan Malaka menulis MaDiLog? Penulis tidaklah bisa memperkirakan, tetapi mari kita simak saja pengakuan Tan Malaka mengenai hal ini:

[ Ditulis di Rawadjati dekat Pabrik sepatu Kalibata, Tjililitan, Djakarta. Disini saja berdiam dari 15 Djuli 1942 sampai pertengahan tahun 1943. Mempeladjari keadaan kota dan kampung Indonesia jang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu jang dipakai buat menulis MaDiLog, ialah lebih kurang 8 bulan, dari 15 Djuli 1942 sampai 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari) 720 djam, ialah kira-kira 3 djam sehari (Tan Malaka, 1951 : 7). ]


Jadi, MaDiLog ditulis Tan Malaka saat Jepang dalam proses menaklukan Belanda dan mulai mencengkeram Indonesia. Kembali ke maksud tulisan ini. Penulis hendak memaparkan sejumlah pendapat Tan Malaka mengenai Islam dan Muhammad s.a.w.

Buku-buku terbitan ulang MaDiLog yang saat ini beredar kemungkinan besar pernah pemirsa baca. Namun, penulis cenderung untuk lebih menggunakan MaDiLog terbitan tahun 1951, tiga tahun setelah Tan Malaka dibunuh oleh bangsa yang ia bela. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Widjaja Djakarta. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa khas Tan Malaka yang bernada “melayu” dengan ejaan lama, tetapi sudah menggunakan huruf “u” ketimbang “oe.” Namun, huruf-huruf lain masih digunakan yaitu “j” sebagai pengganti “y”, “dj” untuk “j”, “tj” untuk “c”, dan “ch” untuk “kh.” Dalam memaparkan pandangan Tan Malaka atas Islam dan Muhammad s.a.w., ejaan tahun 1951 inilah yang saya pergunakan.

Sebagai disclaimer, dalam memandang Islam dan Muhammad s.a.w. maka Tan Malaka memposisikan diri sebagai seorang observer-outsider, dan ini harus kita maklumi karena ia saya nilai jujur dalam menulis. Di dalam MaDiLog, Tan Malaka menulis seputar “Kepertjajaan Asia Barat.” Apa yang ia maksudkan dengan ini adalah agama Yahudi, Kristen atau Nasrani, dan agama Islam. Tan Malaka menulis :

[ ... Ketiganja umum disebut Monotheisme, Kekuasaan Tuhan. Agama Jahudi dilimiti hanja oleh bangsa Jahudi sadja, sedangkan agama Nasrani dan Islam keduanja dipertjaja oleh beberapa bangsa diseluruh dunia, oleh ratusan djuta manusia.

 

Walaupun demikian tiadalah MaDiLog memandang agamanja Nabi Musa, Daud dan Sulaiman lebih kurang harganja dari Agama Nasrani atau Islam. Agama Jahudi itu mengandung urat dan pokoknja ketiga agama itu. Lagi pula agama Jahudi itulah jang pelopor, jang memulai Mohotheisme dan pada agama Jahudi Monotheisme itu sudah sampai kepuntjak (Tan Malaka, 1951: 323). ]


Menurut pandangan Tan Malaka, keyakinan pada keesaan Tuhan dipelopori oleh agama Yahudi lalu kemudian dilanjutkan oleh agama Nasrani dan kemudian Islam. Bagi Tan Malaka, ketiga agama “Asia Barat” tersebut sifatnya “satu jiwa” bukan “tiga serangkai.” Dengan demikian agama yang terdahulu disempurnakan oleh yang muncul lebih belakangan. Mengapa demikian ?

Dalam analisis-analisisnya kemudian, Tan Malaka melakukan metode Dialektika dalam memahami perkembangan ketiga agama: Yahudi “diperlantunkan” dengan kemunculan Nasrani yang dimotori Nabi Isa kemudian keduanya “diperlantunkan” atau didialektikakan dengan kemunculan Islam yang diberitakan oleh Muhammad s.a.w. Atau dengan kata lain, saya menganggap bahwa Islam adalah sintesis dari agama Yahudi dan Nasrani.

Bagaimana narasi Tan Malaka akan kemunculan Muhammad s.a.w. saat didialektikakan dengan dua agama yang sudah mainstream: Yahudi dan Nasrani? Terutama mengenai agama Yahudi Tan Malaka menulis :

[ Muhammad s.a.w. dengan ichlas dan terus-terang dari mulanja mengaku Tuhannja Jahudi, Jahuanja Nabi Ibrahim, sebagai Allah Jang Maha Kuasa dan mengakui Nabi Musa, Daud, Sulaiman dll. dengan tulisan dan maknanja. Tetapi djuga dengan terus-terang Nabi Muhammad s.a.w. menantang beberapa peraturan Rabbi (pendeta Jahudi) buat memudja dan memudji Tuhan sehingga djiwa manusia jang bukan Rabbi itu tak bisa lagi berhubungan dengan Tuhan, karena terikat oleh peraturan dan kaum Rabbi (Tan Malaka, 1951: 324].


Di sini, Tan Malaka menulis bahwa Muhammad s.a.w. menentang hak privilese dan eksklusivitas hubungan manusia dengan Tuhan yang harus melalui perantaraan manusia lain. Bagi Muhammad s.a.w. kaum pendeta Yahudi yang tenar disebut sebagai kaum Farisi (kaum yang juga ditentang oleh Nabi Isa a.s.). Tan Malaka menyiratkan bahwa hadirnya Muhammad s.a.w. telah mem-by-pass tradisi bahwa saat manusia hendak berhubungan dengan Tuhan wajib melalui perantara. Bagi Muhammad s.a.w., ini dalam logika Tan Malaka (bukan saya), hubungan manusia dengan Tuhan bersifat langsung. Di dalam agama Nasrani, hal ini baru ditegaskan kembali oleh Martin Luther tahun 1517 lewat 10 tuntutan yang ia tempel di pintu Gereja Wurtenberg. Dari sanalah Alkitab mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman, sehingga seorang petani desa dapat membaca dan mencerap kitab sucinya sendiri tanpa harus melalui pastur atau pendeta.

Selain ketokohan Muhammad s.a.w., Tan Malaka juga menyoroti Peradaban Islam. Bahwa setelah Islam berkembang, maka banyak metode saintifik dan teknologi yang kemudian lahir ke dunia. Dengan mengambil latar aktual saat Muhammad s.a.w. dikenal sebagai Utusan Allah, Tan Malaka menulis :

[ Kaum Kristen batin atau lahir mengolok-olokkan Muhammad, sebagai Rasulnja Tuhan dan lebih lagi pada masa dahulu menganggap Muhammad sebagai Nabi palsu. Tetapi makin lama makin banjak dan lebih terang diantara orang Kristen, apalagi jang bermata ilmu sedjarah mengemukakan sikapnja Muhammad s.a.w. terhadap “Trimurti” (1 + 1 + 1) = 1) itu.

 

Sikap itu saja pikir ialah sikap djudjur dan scientific menurut Ilmu Bukti. Ahli Sedjarah lebih-lebih jang scientific mengaku kebudajaan Islam pada Zaman Tengah sebagai djembatan antara kebudajaan Junani Rumawi dengan Eropa sekarang. Mereka mengaku besarnja pengaruh para pemikir Islam atas gerakan Reformation (gerakan Protestan melawan Katholik) Ilmu pro-destination-nja Calvin ialah nasib manusia jang ditentukan oleh Tuhan itu, sebagai sendi kepertjajaannja kaum Calvinis jang paling berani, tunggang dan djaja diantara segala Madhab Protestan. Itu tak bisa dimengerti kalau tjuma membatja agamanja Nabi Isa sadja, apagi “amanat gunung” (sermon of the mountain) itu sadja.

 

Selainnja dari perkakas seperti pedoman, obat bedil, tjetakan, Ilmu Kimia, Algebra, Logika, Ilmu Bintang dll. jang diadjarkan oleh Islam pada Nasrani Zaman Tengah. Islam menambahkan filsafat Junani kepada Ilmu Kristen yang berdasarkan dogma (kepertjajaan) semata-mata.

 

Tabib dan Ahli filsafat, Ibnu Rusjdi masjhur didunia Barat dengan nama Averus, murid dari Aristoteles jang djaja, jang boleh dinamai Aristoteles Arab, ialah dianggap oleh Barat Nasrani pada Zaman Tengah itu, seperti Marxisme pada Zaman sekarang dianggap oleh dunia Kemodalan.

 

Murid Kristen jang dari Spanjol, pulang ke Eropa Barat atau Utara sesudah mendapat idjazah (diploma) dari gurunja Ahli Filsafat Arab, dianggap sebagai revolusioneris oleh Pendeta Kristen. Tiga Sekolah Tinggi berdasarkan Averoisme di Italia mengembangkan “rationalisme” sebagai sajap kirinja Islam itu ke Eropa ! (Tan Malaka, 1951 : 324-5). ]


Kutipan panjang di atas merupakan cara Tan Malaka melakukan dekonstruksi sejarah mengenai superioritas Kristen-Barat atas bangsa-bangsa terjajah non Eropa. Upaya ini juga selanjutnya dilakukan Tamim Ansary lewat bukunya Destiny Disrupt. Tan Malaka berupaya mendudukkan Peradaban Islam pada posisi yang seharusnya. Dalam sejarah Dunia, posisi Islam tidaklah marginal melainkan setara, kalau bukan lebih produktif, dengan aneka peradaban lain, termasuk Barat. Dalam konteks agama Asia Barat, Tan Malaka menulis bahwa :

[ Tetapi sebagai kepertjajaan, agama Jahudi sudah menjempurnakan sifatnja kepertjajaan itu. Agama Jahudi sudah menetapkan : 1. Satu Tuhan ; 2. Adanja Djiwa ; 3. Adanja Achirat dan sebagai Suwarga atau Neraka buat Djiwa itu, dll (Tan Malaka, 1951 : 325). ]


Tan Malaka memandang ketiga agama samawi tersebut dalam suatu kontinum gerak sejarah yang saling berdialektika satu sama lain. Terjadi pola tesis – anti tesis – sintesis – tesis seputar perkembangan ketiga agama, termasuk Islam sebagai sintesis.

Selanjutnya Tan Malaka coba memberi penjelasan mengapa mukjizat-mukjizat lebih banyak terjadi di zaman Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. sementara di era Muhammad s.a.w. “cerita keajaiban” sangat sedikit. Mengenai hal ini Tan Malaka menjelaskan :

[ Kepertjajaan orang pada kegaibannja Nabi Muhammad s.a.w. jakni jang berhubungan dengan ke-Duniaan ini, tiadalah berapa banjaknja. Kegaiban itu tiada pula begitu bulat mentah seperti kegaibang jang berhubungan dengan Ardjuna, Sri Rama, Nabi Isa atau Nabi Musa. Dalam peperangan Muhammad s.a.w. kita tak berdjumpakan dengan 1/13 (sepertigabelas), dari kegaiban sihirnja Ardjuna ataupun Sri Rama, jang dalam sekedjap mata sadja bisa menerbitkan peradjurit, lasjkar ataupun sendjata jang tak berbatas besar dan kodratnja.

 

Muhammad s.a.w. berdjuang dengan memakai tangan dan pedangnja, bersama dengan pengikutnja jang boleh dihitung banjaknya dengan sepuluh djari sadja. Bedanja dengan sahabat dan pengikutnja tjuma tentang keberanian dan kepintaran. Seperti djendral ternama Iskandar, Hanibal, Caesar dan Napoleon, maka Muhammad sebagai pemimpin peperangan djuga berlaku : dimuka dalam menjerang dan dibelakang kalau mundur.

 

Sebagai djendral ulung Muhammad djuga mendjalankan tipu muslihat : memusatkan semua kekuatan pada urat nadi musuh. Tak ada jang ada diluar akal dalam semua peperangan Muhammad s.a.w. (Tan Malaka, 1951 : 326-7 )].


Hal yang perlu pembaca ingat, Tan Malaka adalah seorang terpelajar dan sangat kritis. Sebab itu pandangannya atas Islam juga tidak terlepas dari metode ilmiah yang sangat mengandalkan pada bukti dan kemasukakalan. Seluruh kampanye militer yang dipimpin oleh Muhammad s.a.w. tidak ada yang “berbumbu” keajaiban. Tidak pernah “ujug-ujug” Muhammad s.a.w. menciptakan selaksa balatentara yang muncul dari dalam tanah untuk menghabisi musuh.

Tubuh Muhammad s.a.w. bahkan pernah tertembus panah musuh dan mengeluarkan darah sehingga beliau harus diamankan oleh para sahabat yang berdekatan di sekeliling posisinya. Semua perang yang dilakukan Muhammad s.a.w. dapat dianalisis menggunakan teori-teori Von Clausetwitz atau Sun Tzu. Tidak ada “petir” entah dari mana yang “ujug-ujug” menghancurkan pasukan musuh. Bahkan, dalam Perang Uhud melawan kaum Quraisy Mekkah, pasukan Muhammad s.a.w. pernah mengalami kekalahan. Menurut saya, Tan Malaka sangat simpatik dengan kemasukakalan riwayat hidup Muhammad s.a.w. ini.

Tan Malaka adalah seorang kutu buku. Ia hobi membaca buku-buku dalam aneka bahasa. Di antara buku-buku tersebut tentu saja termasuk terjemahan Al Qur’an dalam Bahasa Belanda, karya-karya Snouck Hurgronje, dan tentu saja terjemahan Al Qur’an karya seorang pembaru Islam : Muhammad Ali. Dari hasil pembacaannya tersebut, Tan Malaka menulis pribadi Muhammad s.a.w. :

[ Ahli Barat djuga mengakui, Muhammad sebagai pemikir besar! Usaha jang lama dan sungguh mentjari “hakekat” sebagai djawab dari pertanjaan tentang artinja maksud “Dunia dan Hidup” ini berachir pada “Firmannja Tuhan” jang diterimanja (Tan Malaka, 1951 : 327. ]


Seperti umum dibaca dalam buku-buku sejarah Muhammad s.a.w., beliau memperoleh wahyu Tuhan setelah sekian lama melakukan khalwat di Gua Hira. Ketika beliau memperoleh wahyu pertama yaitu Surat Al Alaq, dengan mana beliau diperintahkan untuk Iqra atau baca, hal yang terjadi padanya adalah sesuatu yang “terasa berat.” Hal ini juga pernah dialami oleh Sidarta Gautama yang melihat “cahaya.”

Setelah wahyu tersebut diterima, Muhammad s.a.w. tersadar, berkeringat, lalu menggigil dalam pelukan Siti Khadijah, sang istri tercinta. Istrinya meyakinkan bahwa yang dialami suaminya bukanlah suara jin melainkan datang dari Tuhan Yang Esa. Sang istri menguatkan beliau bahwa yang terjadi pada diri sang suami adalah suatu kebaikan, bukan kejahatan, dan sebab itu menguatkan hati beliau untuk terus tabah menerima wahyu dari Sang Pencipta.

Juga hal menarik untuk menyimak narasi masa kecil Tan Malaka sehubungan dengan Islam dan Muhammad s.a.w.. Mengenai hal ini Tan Malaka menulis :

[ Sumber jang saja peroleh buat agama Islam inilah sumber jang hidup ... saja lahir dalam keluarga Islam jang taat. Pada ketika sedjarahnja Islam buat bangsa Indonesia masih boleh dikatakan pagi, diantara keluarga tadi, sudah lahir seorang alim ulama, jang sampai sekarang dianggap keramat. Ibu Bapak saja keduanja taat dan orang takut kepada Allah dan dan djalankan sabdanja Nabi (Tan Malaka, 1951 : 342). ]


Hal ini tidak terlampau mengherankan mengingat asal suku bangsa Tan Malaka dalam lingkup besar Sumatera Barat. Tan Malaka lahir dari keluarga bangsawan dan sebab itulah ia kemudian mendapat kesempatan belajar ke negeri Belanda, sama seperti Hatta dan Sjahrir. Gerakan pemurnian Islam di Sumatera Barat telah berjalan tahun sejak tahun 1820an yang dimotori Kaum Paderi dengan salah satu tokohnya Imam Bonjol.

Selanjutnya Tan Malaka menulis :

[ Masih ketjil sekali saja suah bisa tafsirkan Al Qur’an dan didjadikan guru muda. Sang Ibu mentjeriterakan Adam dan Hawa dan Nabi Jusuf. Tiada atjap ditjeriterakannja pemuda, piatu Muhammad bin Abdullah, karena entah, karena apa, mata saja terus basah mendengarnja. Bahasa Arab terus sampai sekarang saja anggap sempurna kaja, merdu, djitu dan mulia.

 

Pengaruhnja pada Bahasa Indonesia, pada zaman lampau bukan sedikit. Tjangkokan bahasa Arab pada bahasa Indonesia baik diteruskan, karena lebih tjotjok pada lidah kita, asal betul-betul mengadakan pengertian baru, jang tiada terbentuk pada kata Indonesia umum atau lokal, seperti perkataan akal, pikir, dsb ...

 

Dengan mengikat pinggang lebih erat saja ketika dinegeri Belanda membeli Sedjarah Dunia berdjilid-djilid salinan bahasa Djerman ke Belanda, karena didalamnja ada sedjarah Islam dan Arab dituliskan dengan lebih sempurna dari jang sudah-sudah (Tan Malaka, 1951 : 342-3) ].


Tan Malaka dapat saja dikatakan telah memahami Islam sebagai agama sejak usia dini. Mungkin saja ia juga pernah melalui fase-fase dialektik pemikiran di saat remaja, terlebih saat ia bersekolah di negeri Belanda, berkenalan dengan aneka pemikiran Eropa Barat yang materialistik, dan akhirnya bergabung dalam Komintern.

Namun, di Komintern manakala Stalin “mengharamkan” aliansi dengan Pan Islamisme yang berkembang sejak awal abad ke-20, Tan Malaka berkonfrontrasi langsung dengan “bos” Komunis asal Uni Sovyet tersebut dengan konsekuensi “dipersona non grata” dari aneka posisinya di Komintern. Dari sini tentu dapat kita bersama pelajari bahwa, minimal, Tan Malaka bukanlah seorang yang Taqlid Buta pada organisasi. Tan Malaka tetap berdiri di atas prinsipnya sendiri, bahwa Gerakan Pan Islamisme sesungguhnya memiliki tujuan sama dengan Komintern yaitu menyudahi eksploitasi bangsa oleh bangsa yang dilakukan Kaum Barat.

Di masa diasporanya, Tan Malaka secara aktif terus mempelajari Islam, seperti pengakuan Tan Malaka berikut ini :

[ Meskipun bandjir ombak asjik dalam sanubari saja dimasa usia pantjaroba, dilondong hanjutkan dan sampai sekarang terus dihilirkan oleh kedjadian 1917, perhatian saja terhadap Islam terus berdjalan. Pengertian saja jang masih ingat dari tafsir Qur’an itu tentulah tiada berarti lagi. Jang tinggal dibawah lantai kesederan (subconscious) ialah kesan semata-mata.

 

Tetapi terdjemahan Qur’an kedalam bahasa Belanda dahulu beberapa kali saja tamatkan, dan semua buku dan diktaatnja Almarhum Snouck Hurgronje tentang Islam, sudah saja batja. Baru ini di Singapura saja batja lagi terdjemahan Islam ke bahasa Inggeris oleh Sales dan oleh ahli Timur, ialah Maulana Mohammad Ali Almarhum. Dengan begitu tiadalah pula saja maksudkan, bahwa semua sumber itu sudah tjukup buat mengobor Islam dan sedjarahnja (Tan Malaka, 1951 : 343) ]


Itu adalah pengakuan Tan Malaka perihal bagaimana ia memahami Islam. Hurgronje merupakan salah satu sumber belajar Tan Malaka padahal tokoh ini kerap disebut sebagai musuh Islam Indonesia. Jika memang Hurgronje adalah musuh Islam, maka Hurgronje harus meneliti secara benar-benar obyektif mengenai Islam secara apa adanya. Tidak dilebihkan dan tidak dikurangkan. Tujuan utamanya adalah bagaimana melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh. Perlawanan yang setelah dianalisis oleh kaum kolonial Belanda, maka demi melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh maka fundasi perjuangan merekalah yang terlebih dahulu harus dilemahkan.

Fundasi perjuangan rakyat Aceh adalah agama Islam berikut sumber-sumber utamanya. Bahkan Hurgronje sampai rela masuk Islam agar dapat melakukan ziarah Haji ke Mekkah. Laporan Hurgronje seputar Islam dapat diserupakan dengan laporan intelijen. Laporan tersebut “pahit” tetapi harus mengandung kebenaran dan faktual. Dari kebenaran dan faktualitas tersebutlah maka dicari titik-titik lemah untuk menggoyang semangat juang rakyat Aceh. Terbukti, Acehlah wilayah nusantara paling akhir yang dapat dikolonisasi “sebagian” oleh Belanda yaitu tahun 1907.

Selanjutnya, Tan Malaka sebagai seorang pembelajar yang terus berusaha obyektif melihat “ketimpangan” dalam narasi sejarah dunia. Ia menemukan bahwa aneka tulisan mengenai sejarah dunia di masanya adalah timpang karena Islam, sebagai sebuah peradaban, kerap atau seringkali “dilompati” atau hanya dipandang sebagai penambal-remeh narasi besar dominasi Sejarah Barat. Kritik ini disampaikan oleh Tan Malaka sebagai berikut :

[ Tetapi ahli sedjarah Barat lebih memperhatikan pada sedjarah politik dan perang. Begitulah sedjarah masjarakat dengan kemadjuan pesawat dan ekonominja dibelakangkan, kalau tidak dilupakan sama sekali.

 

Djangan pula dilupakan, bahwa sedjarah politik jang sematjam itu ditunggalkan, tiada diseluk-beluk dan diperlantunkan dengan sedjarah politik, ekonomi dan klasnja masjarakat. Djadi sedjarah sematjam itu, walaupun sedjarah politik sadja adalah pintjang sekali (Tan Malaka, 1951 : 343). ]


Tan Malaka melanjutkan :

[ Tiada mengherankan kalau dalam pembatjaan, saja tiada mendapati sedjarah jang teratur selangkah demi selangkah, tentang Masjarakat, Politik, Ekonomi dan Teknik Arab. Tidak sadja sebelum dan ketika Muhammad s.a.w. mengembangkan agama Islam tetapi djuga dalam tempo dibelakangnja lebih dari 1300 tahun sampai sekarang.

 

Tidak sadja ditanah Arab tempat asalnja agama Islam dan Negara berkelilingnja pada masa lahirnja, tetapi djuga ditempat mengembangnja seperti Siria, Mesir, Spanjol, Irak, Iran (Messopotamia), India, dan Indonesia. Dalam negara asalnja, agama Islam tumbuh dan berdahan, mendapat bentuk dan tjorak baru dan bentuk tjorak ini tentulah langsung atau menukar mempengaruhi pokok asalnjja di Arabia, teristimewa pula karena semua bangsa dari semua agama atjap berkumpul di Mekah (Tan Malaka, 1951 : 343) ].


Dapat diperhatikan bahwa Tan Malaka sungguh telah menyadari bahwa sejarah ditulis oleh para “pemenang.” Di masa Tan Malaka menulis MaDiLog, Dunia Islam dalam kondisi terpuruk dengan “gong besarnya” adalah tumbangnya Kesultanan Utsmaniyah Turki pada tahun 1924. Sebab itulah maka sejarah dunia yang kemudian banyak ditulis dan beredar banyak dilakukan oleh pemenang “perang” peradaban. Narasi yang dipropagandakan adalah narasi peradaban pemenang: Peradaban Barat. Peradaban Islam sebagai lawan mereka “wajib” dikecilkan perannya atau kalau bisa, ditiadakan sama sekali. Sejarah dunia versi Barat saat Tan Malaka menulis adalah sekadar babad.

Padahal Islam sendiri, sebagai sebuah peradaban adalah pemberi warna yang kontras. Peradaban ini sangat mencolok dan signifikan berkembang di Spanyol, Suriah, Mesir, Iran, Irak, Indonesia, India, dan tentu saja Indonesia melalui aneka kesultanan Islam pasca Majapahit. Kritik Tan Malaka ini merupakan kritik keras atas narasi besar sejarah yang berlangsung saat ia menulis MaDiLog.

Mengenai signifikansi Peradaban Islam, Tan Malaka menulis :

[ Sedjarah Islam yang berurat pada dan diairi oleh masjarakat Politik, Ekonomi dan Pesawat Arab asli dan achirnja bertukar bentuk dan tjorak pada Iklim dan keadaan baru diluar daerah asli, menurut pengetahuan saja masih belum ditulis.

 

Pekerdjaan sematjam itu bukanlah pekerdjaan sembarang ahli, boleh djadi sekali bukan pekerdjaan seorang ahli dengan tersambil, melainkan pekerdjaan beberapa ahli jang bergabung dalam tempo jang lama. Boleh djadi pula bukti jang berhubungan dengan beberapa perkara sama sekali tiada bisa diperoleh lagi. Bagaimana djuga buku seperti “Foundation of Christianity” buat agama Islam belum lahir (Tan Malaka, 1951 : 343-4). ]


Wajar Tan Malaka melancarkan kritik semacam itu. Dunia Islam saat Tan Malaka menulis MaDiLog tengah sibuk melepaskan diri dari kolonialisme Barat. Pada lain pihak serangan dari kaum Orientalis tengah mengalami masa pasang. Epistemologi yang digunakan para Orientalis umumnya adalah menggunakan standar perkembangan Peradaban Barat sebagai alat analisis atas Dunia Arab dan Dunia Islam khususnya, serta negara-negara terjajah di Asia dan Afrika umumnya. Hasilnya adalah karya-karya yang umumnya bernilai pseudo-akademik, bukan akademik. Aksiologi penelitian arahkan untuk lebih memperkuat cengkeraman Barat atas bangsa-bangsa terjajah.

Namun, sesungguhnya dalam tempo 50 tahun sejak Tan Malaka menulis MaDiLog banyak bermunculan karya-karya intelektual Islam yang tidak kalah (kalau bukan lebih unggul) ketimbang karya-karya kaum intelektual Barat. Berderet-deret nama intelektual Islam seperti Sir Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Sayyid Qutb, Yusuf Qaradhawi, Mawdudi, Ali Syari’ati, Ashgar Ali Engineer, hingga Tamim Anshary yang menarasikan Islam dari sudut pandang umat Islam sendiri. Atau, sejumlah karya penulis Barat seperti dari H.A.R. Gibb, Montgomery Watts, Maurice Bucaille, Carole Hildebrand, Karen Armstrong, ataupun Roger Garaudy mengenai Islam.

Mengenai persoalan mengapa Islam niscaya harus hadir dalam sejarah dunia, Tan Malaka menganalisisnya dalam perspektif dialektika sejarah. Dalam narasinya seputar signifikansi kemunculan Islam, Tan Malaka menulis :

[ Muhammad s.a.w. mengakui sjahnja Kita Jahudi dan Kristen. Muhammad s.a.w. mengakui Tuhannja Nabi Ibrahim dan Musa. Tetapi Tuhannja Nabi Ibrahim dan Musa menurut Muhammad s.a.w. itu mesti dibersihkan dari pemalsuan ... Memang masjarakat Arab asli membutuhkan ke-Esaan pimpinan, sekurangnja sama dengan kebutuhan jang dirasa oleh Nabi Musa dan Daud.

 

Pada Muhammad s.a.w. bangsa Arab terdiri dari beberapa suku dan menjembah bermatjam-matjam berhala pula. Peperangan saudara jang kedjam kedji tiada putus-putusnja berlaku. Bangsa Arab teguh tegap, berdarah panas, pada negara jang sebahagian besar terdiri dari gurun pasir dan gunung batu, kurus kering, sedjuk tadjam dimusim dingin, panas terik dimusim panas, susah gelisah mengadakan nafkah hidup sehari-hari.

 

Perampokan dan pembunuhan adalah pekerdjaan lazim sekali. Perniagaan kelain Negara dan dalam Negarapun, mesti dikawal dengan pradjurit, jang siap sedia menentang musuh ialah penjamun Badui jang rakus garang. Saudagar pada masa itu sama djuga dengan serdadu, makin ramai penduduk Arab dan memang sudah ramai, makin seru pertarungan suku dan suku.

 

Makin banjak laki-laki jang mati, makin banjak pula perempuan berlebih. Tiada mengherankan kalau mendapat anak perempuan dianggap sebagai malapetaka oleh rumah tangga Arab asli itu, apalagi dalam rumah-tangga jang tiada berpunja. Perempuan sudah terlampau banjak dan perempuan pada masjarakat sematjam itu bukanlah machluk jang bisa mentjari nafkah diluar rumah-tangga. Melainkan dia dianggap satu machluk penambah mulut makan, djadi penambah kemiskinan. Tiada mengherankan kalau baji perempuan banjak jang dibunuh. Beruntunglah perempuan kalau ada laki-laki jang mampu mengawininja, mengangkat dia djadi istri jang ketiga belas ataupun kesekian puluh (Tan Malaka, 1951 : 344-5) ]


Tentu saja lukisan Tan Malaka di atas dengan mudah kita identifikasi sebagai zaman jahiliyyah. Paganisme, premanisme, kaum kita versus kaum mereka, pembunuhan bayi perempuan yang baru lahir, penistaan atas perempuan, vandalisme, semua lengkap ada di jazirah sebelum Rasulullah memulai dakwah Islam. Itulah latar kehidupan seorang bernama Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib. Kepada peradaban semacam itulah maka keniscayaan Islam untuk muncul menemukan relevansinya.

Khusus mengenai Muhammad s.a.w. sendiri, Tan Malaka menulis :

[ Ditengah masjarakat sematjam itu lahirlah Muhammad bin Abdullah, walaupun sukunja suku jang dianggap suku Kuraisj, tertinggi dikota Mekkah, tiadalah dia seorang anak jang dimandjakan oleh ibu bapak jang mampu ... Dari ketjil sudah mengenal susah melarat ditengah-tengah masjarakat saling sengketa dan gelap-gelita. Buah pikiran kita, menjaksikan keadaan masjarakat sematjam itu dan dalam keadaan sematjam itu bisa timbul paham perangai dan budi seperti Muhammad bin Abdullah. Tetapi memang intan itu bisa diselimuti, tetapi tak bisa ditjampur-lebur oleh lumpur (Tan Malaka, 1951 : 345).]


Dalam kutipan di atas, Tan Malaka berdialektika bahwa Muhammad bin Abdullah adalah antitesis zamannya. Kendati Muhammad s.a.w. lahir di dalam kondisi masyarakat jahil dan penuh sengketa, beliau tidak larut di dalamnya. Sebab itu Tan Malaka menyebut Muhammad bin Abdullah sebagai intan terselimut lumpur. Intan adalah Muhammad bin Abdullah, lumpur adalah peradaban jahil masyarakat di mana beliau hidup.

Masih mengenai keniscayaan lahirnya Muhammad bin Abdullah, Tan Malaka melanjutkan :

[ Makin riuh rendah bunji sengketa dan sentak sendjata disekelilingnja, makin tenang teduh pikirannja pemuda ini menghadapi sesuatu kesusahan atau permusuhan ... Huru-hara tiada bisa disangkal, tetapi tiadalah hormat sadja jang memberi penundjuk, kiasan atau ilham kepada manusia, mata jang njalang, telinga jang njaring serta pikiran jang tjemerlang ditengah-tengah masjarakat itu sendiri lebih lekas menjampaikan seseorang pada hakekat tentang pergaulan hidup manusia dari pada buku bertimbun-timbun diluar masjarakat. Pemuda Muhammad dilatih dan disepuh oleh masjarakat Arab sendiri jang saling seteru dan gelap-gelita itu (Tan Malaka, 1951 : 345).]


Dalam kondisi faktual saat Muhammad s.a.w. beranjak dewasa dan akhirnya memperoleh pencerahan, Tan Malaka melukiskan beliau mampu berpikir jernih. Beliau jauh lebih cepat menyampaikan hakikat kehidupan kepada masyarakatnya ketimbang bertumpuk-tumpuk buku teori mengenai seni pergaulan antar manusia. Kegelapan masyarakat di masa Muhammad s.a.w. bertumbuh justru mengasah kejernihannya dalam melakukan analisis mendalam atas “penyakit” yang tengah diderita masyarakatnya.

Pada suatu titik karena kejernihan dan kelurusan pikirannya, pemuda Muhammad s.a.w. menarik hati seorang saudagar perempuan yang kaya bernama Siti Khadijah yang saat itu berstatus janda. Mereka kemudian menikah dan seperti diketahui bersama dikaruniai enam anak, dengan mana dua putra laki-laki wafat dan empat putri perempuan melanjutkan hidup hingga dewasa dan menikah.

Dalam periode khalwatnya Muhammad s.a.w. kemudian menerima wahyu. Mengenai turunnya wahyu ini secara menarik Tan Malaka menulis :

[ Sekaranglah baru diperoleh tempat dan tempo mengheningkan pikiran, membanting, menghiaskan, mentjotjokkan, menjeluk-belukkan persoalan jang bertimbun-timbun djatuhnja pada pikiran jang atjap terbang melajang seperti terdapat dalam bangsa Arab ... Pikiran melajang itu selalu kembali ketanah ... Pada berbagai-bagai tempat jang sunji senjap digunung diluar Mekkah, timbullah berkali-kali persoalan. Langit Arabia tiada diliputi awan pada malam itu, kalau diterangi oleh bulan dan bintangnja mesti menarik perhatian seorang jang sungguh (serious, ernstig).

 

Tak heran kalau pemuda Muhammad didesak oleh persoalan sebagai siapakah jang mengemudikan djalannja bulan dan jutaan bintang ini, jang tetap teratur ini. Siapakah jang mendjatuhkan hudjan jang memberi hidpnja tumbuhan, hewan dan manusia itu ? Apakah asalnja dan achirnja manusia ini ? Tiadakah ada buat mempersatukan bangsaku, memperhentikan seteru sengketa dan menerangi gelap-gelita itu mengangkat bangsaku mendjadi Obor Dunia ? (Tan Malaka, 1951 : 345-6).]


Di sini Tan Malaka seolah berguru kepada sosok Muhammad s.a.w. Sebagai seorang pemikir dan aktivis, Tan Malaka tentu kerap melakukan perenungan. Perenungan dihasilkan melalui apa yang Tan Malaka baca kemudian dibenturkan dengan realitas sekeliling. Agaknya Tan Malaka di sini seolah mampu menyelami bagaimana peliknya Muhammad s.a.w. dalam melakukan perenungan.

Dari sudut pandang Tan Malaka, Muhammad s.a.w. adalah seorang pemikir yang tidak larut dalam arus tren zaman jahiliyyah. Muhammad s.a.w. sama seperti Sidarta Gautama kendati kondisi ekonomi kedua tokoh ini jauh berbeda. Gautama gelisah bahwa dalam kemewahan yang ia miliki tiada rasa bahagia yang didapat. Ia keluar dari istana dan menemukan realitas kehidupan: Kemiskinan, kemelaratan, kesulitan yang mendera satu sisi masyarakat yang lebih banyak sementara di sisi lain kekayaan, kemewahan, kemudahan melimpahi segmen masyarakat lain yang jumlahnya lebih sedikit.

Gautama kemudian keluar dari istana, dan setelah melakukan banyak observasi, memutuskan melakukan perenungan di bawah pohon Bodhi. Ia pun mendapat “cahaya” seputar delapan kebajikan jika manusia ingin hidup bahagia dan mencapai nirwana. Namun, sama seperti Muhammad s.a.w., Gautama tidak secara egois menggunakan “cahaya” yang ia dapat tersebut eksklusif untuk dirinya. Gautama berkelana dari satu tempat ke tempat lain demi memberitakan kabar gembira kepada para manusia. Itu pula yang dilakukan oleh Muhammad s.a.w. setelah mendapat wahyu dari Tuhan kendati harus mendapat perlawanan keras di awalnya.

Mengenai kecenderungan Muhammad s.a.w. sebagai seorang pemikir ini, Tan Malaka menulis :

[ Tjantumkanlah dimata pembatja seorang pemuda pendiam, mata sering melajang tinggi, tetapi tjepat tepat bisa taksir barang dan wang dimukanja kening lebar dan tinggi, menandakan ketjondongan pikiran pada filsafat, tetapi djuga menjaring apa jang praktis bisa didjalankan.

 

Bibir jang menandakan kemauan keras dan berkali-kali dalam berdjalan djauh berbahaja, mendapat latihan dalam perdjuangan. Penglihatan pada puluhan Negara dan negeri biadab, setengah adab dan adab ; pekerdjaan tawar-menawar dengan saudagar bermatjam-matjam bangsa dan bahasa ; pertjakapan dengan lawan kawan, tua mua dalam usia pantjaroba dipuluhan Negara dan negeri itu, semuanja itu mendidik penjair dan pemimpin, pembesar Negara dan Nabi. Huruf dan sekolah tak bisa memberi bahan hidup seperti itu, tetapi bahan hidup sematjam itu bisa memberi kesempatan pada Muhammad bin Abdullah menimbulkan huruf dan sekolah baru ...

 

Tiadalah mengherankan sama sekali kalau Muhammad bin Abdullah tertarik oleh Tuhan Esanja Nabi Ibrahim, Musa dan Daud. Disini Tuhan itu lebih terang ke-Esaannja. Pada pertarungan lahir bathin jang seru sengit jang mesti didjalankan dengan djasmani dan rohani jang mesti dipimpin oleh satu kemauan, maka kesangsian atas ke-Esaannja Tuhan, pemimpin Jang Maha Tahu dan Jang Maha Tahu itu bisa menewaskan sipetarung. Satu kemauan lasjkar dibawah satu pimpinan dirohi oleh satu Tuhan itulah yang dibutuhi oleh Arabia (Tan Malaka, 1951 : 346-7) ]


Di sini Tan Malaka telah sampai pada satu titik di mana Muhammad bin Abdullah, seorang pemikir cerdas, musafir yang kerap berinteraksi dengan aneka bangsa dan bahasa berbeda, sampai pada satu titik bahwa Tuhan itu tunggal, tidak terbagi. Tuhan itu mempersatukan bukan mencerai-beraikan. Tuhan itu pengasih dan penyayang kepada ciptaannya. Muhammad s.a.w. sampai pada titik “katakanlah bahwa Tuhan itu Esa.” Inilah titik krusial dalam hidup Muhammad bin Abdullah menurut Tan Malaka.

Tan Malaka juga mengkritik para penulis Barat (mungkin kaum orientalis saat itu) yang menyatakan bahwa Muhammad bin Abdullah hanya sedikit tahu tentang agama Kristen. Mereka juga, menurut Tan Malaka, menyatakan bahwa Muhammad bin Abdullah mendapat pengetahuan agama Kristen dari Monikken atau Rahib dan setengah Ulama Kristen. Tan Malaka menolak klaim negatif tersebut dengan menyatakan :

[ Dengan Jahudi, Muhammad bin Abdullah bertikai tentang kekuasaan dan keperluannja kasta Rabbi itu. Muhammad bin Abdullah menganggap Tuhan itu semata-mata Rohani dan berada dimana-mana. Seseorang Muslim bisa bersambung langsung dengan Dia, tiada perlu memakai kasta Rabbi atau Pendeta sebagai perantara atau sebagai tengkulak ...

 

Demikianlah pada Muhammad s.a.w. “ketunggalan” Tuhan itu, ke-Esaan Tuhan itu sampai kepuntjaknja, tak ada kesangsian seperti melekat pada agama Nasrani pada masa Muhammad s.a.w. Tantangan terhadap agama Nasrani itu dikeraskan dan didjelaskan pada satu djuz jang pendek, tetapi dianggap terpenting sekali oleh Muslimin ; bahwa Tuhan Tunggal tak memperanakkan (Nabi Isa)) dan tidak diperanakkan (Qul hu Allahu Ahad .... dsb. ... semestinja Nabi Muhammad s.a.w. Nabi jang terbesar dan terachir buat Monotheisme.

 

Kalau Albert Einstein menjempurnakan teori Relativity, maka orang tiada berkeberatan menamai teori itu teori Einstein. Adakah ke-Esaan jang lebih pasti dan persamaan manusia dan manusia terhadap Tuhan lebih njata dari pada agama Islamnja Muhammad s.a.w.? Apakah salahnja, kalau Muhammad s.a.w. mengakui pesuruh, Rasulnja Tuhan jang terachir dan terbesar? (Tan Malaka, 1951 : 347-8). ]


Tan Malaka memandang ajaran Muhammad s.a.w. tentang monoteisme adalah ringkas, tepat, dan jelas. Ajaran Muhammad s.a.w. bahwa Tuhan itu Esa tidak berbelit-belit atau terjebak dalam circulo in definiendo. Tan Malaka adalah orang yang kritis tetapi praktis.

Sang Datuk tidak menyukai penjelasan yang berbelit-belit dan tidak menyentuh akar persoalan. Bagi Tan Malaka, Muhammad bin Abdullah adalah pemikir besar yang mampu menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami dan dimengerti orang awam dengan bahasa yang mudah dipahami. Itulah esensi dari kecerdasan (Tan Malaka, 1951 : 347-8).]

Tan Malaka kemudian melangkah pada bagaimana Muhammad s.a.w. menjalani konsekuensinya sebagai penyampai kabar bahwa Tuhan itu Esa, bahwa semua manusia sama derajatnya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah seperti patung-patung yang disembah masyarakatnya, bahwa setiap manusia bisa langsung berhubungan atau berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melalui orang lain sebagai perantara.

Bagi Tan Malaka hal tersebut membuat Muhammad s.a.w. menguncang fundasi budaya tempat masyarakatnya berdiri. Terjadi gempa sosial dan kepanikan kaum penguasa. Guncangan ini kemudian memicu rasa marah dan antipati masyarakat terkemuka di mana Muhammad s.a.w. memberi kabar. Serangan-serangan atas Muhammad s.a.w. pun dilancarkan, sebagaimana dilukiskan oleh Tan Malaka :

[ Kepertjajaan pada Allah sebagai Tuhannja jang Esa, Muhammad sebagai Rasulnja dan persamaannja manusia terhadap Tuhan, belum tjukup buat mempersatukan sekalian suku Arab jang saling seteru sengketa dan berperangan terus-menerus itu. Malah hal itu menimbulkan edjekan, kebentjian dan tjatji maki terhadap Muhammad jang oleh penduduk Mekkah diketahui sebagai anaknja Abdullah dan Aminah.

 

Kepada siapakah mereka Arab, jang galak ganas itu akan takut dan apakah gunanja berbuat baik didunia ini kalau sesudah mati semua perkara berhubungan dengan manusia itu berhenti sama sekali ? Malah lebih baik djadi orang kuat, kebal, piawai, pendekar, berani, djahat, perampok atau apa sadja asal bisa dapatkan harta buat kesenangan, perempuan buat permainan dan laki-laki buat hamba sahaja (Tan Malaka, 1951 : 348-9) ].


Saat itu, hukum yang berlaku adalah hukum rimba dan raja rimbanya adalah kaum bangsawan Quraisy. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa setelah manusia mati, maka selesailah ceritanya. Tidak ada dampak atas apa pun hasil perbuatan mereka di dunia. Jadi mengapa orang harus berbuat baik ?

Kebaikan adalah kelemahan dan sebab itu kebaikan adalah bukan kebajikan (virtue). Dalam masyarakat nihilis seperti jahiliyyah saat itu, apa yang termasuk ke dalam kebajikan adalah kekuatan, kekayaan, kemewahan, kekuasaan, dan kedigjayaan dalam perang. Menurut Tan Malaka, terhadap cara pandang inilah Muhammad s.a.w. berhadapan secara diametral dan sengit. Terlihat di sini cara berpikir khas dari Tan Malaka yaitu Dialektika.

Di dalam menghadapi problematika ini, Tan Malaka kemudian menulis :

[ Demikianlah satu pemikir luhur [Muhammad] merasa perlu keterusannja hidup. Tidak didunia fana ini melainkan pada dunia baka, pada achirat. Dengan begitu perlu pula ada djiwa terchusus jang bertiang dalam djasmani kita. Djasmani dan djiwa itulah kelak sesudah hari kiamat akan dibangunkan kembali dari matinja.

 

Djasmani dan djiwa jang hidup kembali itu akan ditimbang kebaikan dan keburukannja, jang berdosa akan masuk api neraka dan jang saleh akan masuk suwarga, dikerubungi oleh nikmat tak terhingga banjak ragam dan lezatnja ditempat permai damai diantara puteri bidadari jang tjantik molek dan manis bagus parasnja, ratusan ribuan banjaknja, jang taat saleh terutama jang mati sjahid akan mendapat upah jang kekal dan luhur itu (Tan Malaka, 1951 : 349).]


Tan Malaka menulis bahwa mereka yang mengejek bahwa Tuhan itu Esa, bahwa kebaikan itu bukan kebajikan melainkan kekayaan dan kemewahan, harus sadar bahwa setelah mereka mati, mereka tidak nihilis. Jiwa dan jasmani mereka tetap hidup untuk menghadapi hari perhitungan.

Mereka yang berat timbangan kebaikannya akan masuk ke dalam surga, sebaliknya mereka yang berat timbangan kejahatannya akan masuk neraka. Di sinilah Muhammad s.a.w. menggedor kesadaran dan ketakutan terdalam kaum jahiliyyah di masyarakatnya. Muhammad s.a.w. melakukan revolusi dari relung terdalam rasa takut manusia akan ketiadaan sekaligus menjelaskan bahwa setelah periode kematian maka yang terjadi bukanlah ketiadaan melainkan kehidupan atau kebangkitan kembali. Berita ini tentu saja mengguncangkan nyali mereka.

Dalam tulisannya mengenai Islam dan Muhammad s.a.w. kemudian, Tan Malaka melanjutkan :

[ Itulah maka saja katakan bahwa agama Monotheismenja Nabi Muhammadlah jang paling konsekwen, terus lurus. Maka itulah sebabnja menurut Logika, bahwa Muhammadlah jang terbesar diantara Nabinja Monotheisme ... Tetapi pada masjarakat Arab, dimasa Nabi Muhammad, perempuan tak bisa diangkat ketempat jang lebih dari jang dilakukan oleh Muhammad. Tidak sedikit ahli sedjarah Barat jang mengakui hal ini ... (Tan Malaka, 1951 : 350).]


Tan Malaka memandang bahwa Islam merupakan agama Monoteis yang paling konsekwen, dan sebab itu maka pembawa kabar dari agama ini yaitu Muhammad s.a.w. secara logika dinyatakan sebagai yang terbesar di antara para Nabi pembawa kabar Monoteisme. Hal ini tidak mengherankan sebab seorang penulis buku populer bernama Michael H. Hart menulis 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia. Maka secara logis pula, berdasarkan kajian Hart yang menggunakan kriteria tertentu, Muhammad s.a.w. ada di nomor satu.

Juga revolusi lain yang dilakukan Muhammad s.a.w. adalah kedudukan kaum perempuan. Tan Malaka menulis bahwa di zaman jahiliyyah, akibat surplusnya jumlah perempuan (baik gadis maupun janda) maka seorang lelaki dapat mengawini perempuan dengan jumlah tanpa batas, sekuat-kuatnya.

Namun, Tan Malaka tentu tahu bahwa harkat perempuan diangkat setelah Muhammad s.a.w. memberikan kabar gembira. Turun wahyu yang membatasi jumlah istri yang diperbolehkan oleh Islam yaitu 1, 2, 3 atau 4. Namun, wahyu juga mempersyaratkan apabila seorang lelaki khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah 1 perempuan saja. Dari sini terlihat jelas kecenderungan Islam untuk mengendalikan (bukan mengekang) syahwat manusia.

Monogami adalah lebih baik ketimbang poligami. Namun, mengingat bahwa saat Islam disebarkan di masa hidup Muhammad s.a.w. banyak sekali perempuan yang menjanda akibat suami mereka gugur di aneka pertempuran, maka diaturlah perihal poligami “terbatas” tersebut.

Dalam fase kehidupan Muhammad s.a.w. sendiri, sebagian besar tahun-tahun hidup beliau ditunjukkan dengan pernikahan monogami dengan Siti Khadijah. Dan hanya dari Siti Khadijah saja Muhammad s.a.w. berketurunan dengan mana hanya empat putri perempuan saja yang hidup hingga dewasa. Muhammad s.a.w. hanya melakukan poligami setelah wafatnya Siti Khadijah dan itu pun didasarkan pada kondisi aktual kaum perempuan pada saat itu, yang rentan dan tiada memiliki penaung.

Tentu saja di masa Tan Malaka menulis MaDiLog, kajian ilmiah atas Al Qur’an belum lagi marak. Awal abad ke-20 hingga tahun 1940-an kedudukan Islam sangat marginal di panggung politik dan sejarah dunia. Saat itu Barat menstereotipkan Islam sebagai agama kaum terbelakang dan barbar. Dunia Islam menjadi “mangsa” empuk kapitalisme dan kolonialisme akibat dunia tersebut banyak memiliki sumber daya alam yang laku dijual seperti minyak bumi, berlian, dan bahan makanan.

Kaum intelektual Muslim lebih fokus pada bagaimana memunculkan kembali semangat Islam sebagai elan penggerak perjuangan menentang penjajahan. Akibatnya, kajian seputar hubungan Al Qur’an dengan Ilmu Bukti menjadi tertinggal. Hal ini wajar-wajar saja menurut saya, bagaimana kita bisa mengembangkan peradaban sendiri kalau kita masih diinjak kaki orang lain. Inilah yang kurang dari masa hidup Tan Malaka, sebab apabila Tan Malaka membaca karya-karya intelektual Barat yang memperhubungkan antara Al Qur’an dan Ilmu Bukti secara obyektif, maka pandangannya kemungkinan akan sedikit berbeda.

Namun, Tan Malaka dengan jujur menulis :

[ Djadi menurut MaDiLog, Jang Maha Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari Undang Alam, selama Alam ada dan selama Alam Raja itu ada, selama itulah pula Undangnja Alam Raja itu berlaku. Menurut Undang Alam Raja itu bendanja itulah jang mengandung kodrat dan menurut undang itulah tjaranja benda itu bergerak, berpadu, berpisah, menolak dan menarik dsb. Kodrat dan Undang jang terpisah sendirinja tentu akan dikenal oleh Ilmu Bukti.

 

Berhubung dengan ini, maka Jang Maha Kuasa djiwa terpisah dari djasmani, suwarga atau neraka jang diluar Alam Raja ini, tiadalah dikenal oleh Ilmu Bukti, semuanja ini adalah diluar daerahnja MaDiLog. Semua itu djatuh kedaerah “kepertjajaan” semata-mata. Ada atau tidaknja itu pada tingkat terachir ditentukan oleh ketjondongan perasaan masing-masing orang. Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannja dalam kalbu sanubarinja sendiri. Dalam hal ini saja mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesjahan kebebasan jang saja tuntut buat diri saja sendiri dalam menentukan paham jang akan saja djundjung (Tan Malaka, 1951 : 351).]


Demikianlah Tan Malaka menyatakan pendapatnya.

Seorang eksistensialis Denmark bernama Soren Aabye Kierkegaard menyatakan bahwa manusia memiliki tiga fase hidup atau oleh penggiat sufisme biasa disebut maqom. Ketiga fase tersebut adalah fase estetis, etis, dan religius.

Fase estetis adalah fase di mana manusia masih cenderung pada keduniawian berikut segala kenikmatan yang disediakan dunia, sehingga manusia cenderung diperbudak olehnya. Manusia cenderung tidak mempersoalkan perilaku benar-salah, baik-buruk, layak-tak pantas. Jika manusia kemudian melakukan refleksi atas hidupnya sendiri dan mempergunakan pikirannya, maka bagi Kierkegaard manusia adalah sadar bahwa kelimpahan duniawi itu semu dan dari titik ini manusia mulai masuk ke tahap etis.

Pada tahap etis manusia tidak lagi mengumbar hawa nafsunya. Ia tetap hidup di dunia tetapi dengan cara pandang yang berbeda. Manusia cenderung bicara seputar apa yang benar, apa yang baik, apa yang manfaat, ataupun apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan. Di sinilah muncul yang namanya adab, sebagai lawan fase estetis yang biadab (baik dalam pengertian kasar maupun halus). Di sinilah letak filsafat karena hubungan sebab dan akibat masih dapat dicerap oleh panca indera.

Namun, di sini pula mulai muncul apa yang dinamakan “perasaan”. Seperti telah kita ketahui, bahwa di dalam organ jantung atau qolbu terdapat sejumlah kerutan. Ada kerutan yang mengidentifikasi rasa marah, sedih, gembira, bingung, gelisah, bahagia, dan sejenisnya. Hal ini telah dibuktikan oleh Ilmu Bukti melalui metode ilmiah. Dengan demikian maka saya kurang sepakat dengan pernyataan Tan Malaka bahwa agama semata masalah perasaan. Kerutan-kerutan di permukaan organ jantung tersebut ternyata terhubung ke saraf otak manusia. Maka dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan “perasaan” sesungguhnya dapat dibuktikan dengan panca indera. Perasaan adalah materi yang dapat diukur.

Kembali kepada pendapat eksistensialis Kierkegaard. Dalam fase etis manusia mulai memperhatikan masalah “perasaan.” Dalam memutuskan hal-hal berkenaan dengan perasaan ini maka manusia selalu dilanda oleh dilema dan perasaan seperti memakan buah “simalakama.” Manusia membutuhkan pembenar, justifikasi, atau pedoman atas keputusan yang bertarung dengan aneka perasaan yang saling bertentangan.

Pada titik inilah fase etis, menurut Kierkegaard, tidak lagi mencukupi. Untuk mengatasi hal tersebut “manusia harus berani melompat ke fase religius.” Dalam fase ini manusia dibimbing oleh kekuatan “yang lebih besar” dari dirinya, lebih cerdas dari dirinya, dan lebih memberikan kepastian.

Fase religius dianggap Kierkegaard sebagai fase di mana seorang intelektual yang jujur akan berani melakukannya. Intelektual tersebut sadar dan mengakui bahwa “otaknya” sendiri tidak akan mampu memecahkan milyaran persoalan kehidupan yang pelik, baik bersifat kognitif maupun psikomotorik, terlebih apabila hal tersebut melibatkan apa yang Tan Malaka namakan “perasaan.”

Di dalam Islam sendiri Al Qur’an secara jelas telah menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama karena telah jelas mana jalan yang baik dan jalan yang buruk. Di sinilah kebimbangan fase etis Kierkegaard terjadi sehingga seorang intelektual harus berani melakukan “lompatan” ke dalam fase religius untuk lebih menyempurnakan dirinya. Tidak ada paksaan untuk melompat ke fase religius kecuali Anda sendiri yang memutuskan.

Kembali kepada Tan Malaka. Saya sepenuhnya menghargai cara pandang dan keputusan Tan Malaka. Ia adalah seorang yang berupaya jujur dalam mengungkapkan pendirian intelektualnya. Saya menghormati Tan Malaka karena MaDiLog banyak memberikan cara pandang kepada saya mengenai epistemologi ilmu.

MaDiLog adalah tulisan intelektual yang jujur, kendati mungkin bagi sebagian orang dinilai agak rumit dan mungkin kerap disalahartikan dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tan Malaka hanya ingin pembacanya, terutama saya, benar-benar bertanggung jawab atas aneka pilihan yang dibuat. Terima kasih atas pandangan Datuk atas Islam dan Muhammad s.a.w. Anda benar, bahwa saat Anda berada di dalam kubur, suara Anda masih terdengar lantang di dunia ini.

Anda adalah pejuang kemerdekaan Indonesia, apa pun posisi filsafat dan epistemologi Anda. Anda sepenuhnya merdeka dalam menentukannya. Saya nyatakan bahwa pihak di luar Anda adalah zalim apabila melakukan stigma pada Anda akibat pendirian filsafat dan epistemologi Anda. Sebuah karya George McTurnan Kahin menyinggung peran signifikan Anda dalam detik-detik proklamasi 17 Agustus 1945. Tanpa kehadiran Anda ke Pulau Jawa tahun 1942 dari diaspora Anda yang demikian malang-melintang, kemungkinan besar proklamasi 17 Agustus 1945 tiada akan terjadi, atau bahkan kemerdekaan bukan kita, bangsa Indonesia rebut, melainkan menjadi “hadiah” dari Ratu Belanda.

Baiklah tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah kutipan dari Datuk :

[ Bagi seseorang jang hidup dengan pikiran jang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka jang tjukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnja seperti semen, batu tembok dan lain-lain tak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan tjatatan dari buku musuh, kawan ataupun guru (Tan Malaka, 1951 : 14). ]

Posting Komentar

0 Komentar