Ad Code

Rekrutmen Politik Variabel Kepartaian dan Parpol

Mengenai sistem kepartaian Giovani Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi empat macam, yaitu: (1) Sistem Dua Partai, (2) Pluralisme Moderat, (3) Pluralisme Terpolarisasi, dan (4) Sistem Partai Berkuasa. [1] Sartori membagi keempat sistem kepartaian tersebut berdasarkan ideologi yang dianut masing-masing partai serta banyaknya partai yang diakui dan ikut dalam setiap pemilihan umum.

Sistem Kepartaian

Sistem Dua Partai ditandai oleh adanya dua partai yang terus bersaing di dalam setiap pemilu serta paling memiliki pendukung luas. Kedua partai tersebut dapat saja memiliki ideologi yang berbeda ataupun isu-isu politik yang kontras. Contohnya di Amerika Serikat di mana Partai Republik dan Partai Demokrat yang bersaing. Partai Republik membawakan kepentingan pengusaha, kalangan militer, dan golongan konservatif. Partai Demokrat, kerap dicitrakan sebagai lebih dekat ke kalangan pekerja, gerakan sosial bernuansa hak asasi manusia, dan kesejahteraan sosial.

Pluralisme Moderat adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Namun, perbedaan ideologi tersebut tidak begitu tajam sehingga dapat saja para pemilih suatu partai dapat berpindah dari partai yang satu ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi tetap dapat menjalin koalisi jika memang diperlukan guna menggolkan suatu kebijakan.

Pluralisme Terpolarisasi adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Perbedaan ideologi tersebut terkadang cukup fundamental sehingga sulit bagi pemilih partai yang satu untuk berpindah ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, perbedaan ideologi tersebut membuat sulitnya tercipta koalisi akibat perbedaan ideologi yang cukup tajam tersebut.

tetap optimis dengan rekrutmen politik di indonesia - seta basri tetap menulis
https://indonesiadesignstudio.blog/2017/02/17/post-a-political-cartoons-in-indonesia/

 Sistem Partai Berkuasa adalah sistem kepartaian di mana di suatu negara terdapat sejumlah partai, tetapi ada sebuah partai yang selalu memenangkan pemilihan umum dari satu periode ke periode lain. Partai yang selalu menang tersebut menjadi dominan di antara partai-partai lainnya, dilihat dari sisi basis massa, dukungan pemerintah, maupun kemenangan kursi mereka di setiap pemilihan umum. 

Contoh dari satu Sistem Partai Berkuasa ini adalah Malaysia, Indonesia di era Orde Baru, ataupun India. Di Malaysia, UMNO merupakan partai yang kerap memenangkan pemilu dari periode ke periode. Di Indonesia era Orde Baru, Golkar selalu memimpin suara di tiap pemilu 1971, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Di India, Partai Kongres adalah partai berkuasa yang di setiap pemilu mereka seringkali memenangkan kursi terbanyak untuk parlemen.

Di Indonesia, sistem kepartaian mengalami sejumlah perbedaan jika dilihat secara kesejarahan. Perbedaan ini di antaranya diakibatkan oleh perbedaan tipikal sistem politik yang berlaku. Di Indonesia, secara bergantian, sistem politik mengalami sejumlah perubahan dari Demokrasi Liberal tahun 1950 awal hingga 1955, Rezim Politik Otoritarian dari 1959 hingga 1965, Rezim Kediktatoran Militer dari 1966 hingga 1971, Rezim Otoritarian Kontemporer dari 1971 hingga 1998 dan kembali menjadi Demokrasi Liberal dari 1998 hingga sekarang.

Sistem kepartaian di Indonesia mengalami perubahan sesuai dengan pergantian tipe sistem politik. Tipikal sistem kepartaian apa yang berlaku di suatu negara, secara sederhana dapat diukur melalui fenomena pemilihan umum. Dari sisi jumlah misalnya, suatu negara dapat disebut sebagai bersistem satu partai, dua partai, atau multipartai, dilihat saja dari berapa banyak partai yang ikut serta dalam pemilu berikut peroleh suara mereka.

Pluralisme Terpolarisasi

Demokrasi Liberal Pertama di Indonesia ditandai dengan keluarnya Maklumat No.X Oktober 1945. Maklumat yang ditandatangani oleh Hatta (wakil presiden RI saat itu) mempersilakan publik Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik. Mulai saat itu, berdirilah beragam partai politik yang sebagian besar berbasiskan ideologi dan massa pemilih di Indonesia. Oleh sebab masih banyaknya peperangan (revolusi fisik berupa pemberontakan dan hendak kembalinya kekuasaan asing), pemilu belum kunjung dilaksanakan hingga tahun 1955.

Pemilu 1955 menandai resminya era sistem politik Demokrasi Liberal 1 di Indonesia. Aneka partai politik diberi kebebasan untuk memperkuat organisasi, meluaskan basis massa, dan sejenisnya. Saat itu, sistem kepartaian yang berlaku di Indonesia adalah Pluralisme Terpolarisasi. 

Cukup banyak partai politik yang ikut serta di dalam pemilu pertama dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini. Namun, partai-partai yang memperoleh suara besar (empat partai) memiliki garis ideologi yang cukup berseberangan antara satu sama lain. Perbedaan garis ideologi ini juga ditandai basis-basis pemilih yang juga berbeda, seperti akan dipaparkan dalam tulisan selanjutnya. Baiklah, sebagai deskripsi hasil pemilu 1955 dapat kita saksikan bersama tabel di bawah ini : [2]
 
tabel hasil pemilu legislatif 1955 - seta basri tetap menulis
Tabel Hasil Pemilu Legislatif 1955

Pemilu 1955 diikuti lebih dari 27 partai politik. Komposisi hasil peroleh suara partai-partai politik pada pemilu tahun 1955 menunjukkan PNI (Partai Nasional Indonesia) meraih 22,32% suara dan mendapat 57 kursi di parlemen. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) meraih 20,92% suara dan mendapat 57 kursi di parlemen. NU (Nahdlatul Ulama) meraih 18,41% suara dan 45 kursi di parlemen. PKI (Partai Komunis Indonesia) meraih 16,36% suara dan meraih 39 kursi di parlemen. 

PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) mengantungi 2,9% suara dan meraih 8 kursi di parlemen. Parkindo (Partai Kristen Indonesia) mengantungi 2,6% suara dan meraih 8 kursi di parlemen. Partai Katolik mengantungi 2,0% suara dan meraih 6 kursi di parlemen. PSI (Partai Sosialis Indonesia) mengantungi 2,0% suara dan meraih 5 kursi di parlemen. Sementara itu, total partai-partai lainnya yang masing-masing meraih suara < 2,0% meraih 32 kursi di parlemen.

Apa yang bisa diceritakan dari hasil pemilu 1955 ini? Asumsinya, partai-partai politik yang ada mencerminkan bifurkasi (pembelahan) sosial berdasarkan garis ideologi di tengah masyarakat. Ragam partai politik yang muncul merupakan cermin keterbelahan masyarakat Indonesia ke dalam ideologi-ideologi yang saling terpisah. Meskipun sudah banyak dikritik, analisis yang cukup menarik mengenai fenomena ini diajukan oleh Clifford Geertz. 

Geertz, dalam analisisnya mengenai empat besar partai pemenang pemilu 1955 menggambarkannya sebagai aliran yang berlaku sejak 1950-an hingga 1960-an di Indonesia. Aliran adalah ikatan sosial yang didasarkan pada bentuk lama pola integrasi sosial serta pandangan dunia masyarakat Indonesia. Mengenai aliran ini, Geetz dalam karyanya The Religion of Java membagi aliran yang ada di Indonesia menjadi Santri, Abangan, dan Priyayi. [3]

Pemilu 1955 menampakkan adanya empat partai besar yang memperoleh suara > 2,9% atau memperoleh > 8 kursi parlemen. Partai-partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Keempat partai ini memiliki akar dalam ketiga aliran seperti disebutkan Geertz. PNI dekat dengan aliran priyayi, suatu aliran yang dekat dengan budaya Jawa aristokratik (kebangsawanan) dan rata-rata pengikutnya mencari nafkah selaku pegawai negeri ataupun pelayan publik. NU dan Masyumi dekat dengan aliran Santri, aliran yang identik dengan penganut Islam taat yang tumbuh di pesisir dan sisi luar pedalaman Pulau Jawa serta menunjukkan kepercayaan dan tata ibadah Islam yang nyata. Santri ini terbagi menjadi dua belahan besar yaitu tradisionalisme dan modernisme. [4]

Bagian yang mewakili tradionalisme direpresentasikan Nahdlatul Ulama, yang secara organisasional didirikan tahun 1926 sebagai respon atas gelombang revivalisme Islam dari Timur Tengah. NU banyak diikuti oleh penduduk Indonesia di Jawa Timur dan sebagian besar Jawa Tengah. Sementara itu, Masyumi mewakili gerakan modernisme Islam, yang sebagian beranggotakan kaum cendekiawan, pedagang, dan basis dukungan utama dari luar pulau Jawa. 

NU dan Masyumi meskipun dikategorikan sebagai santri tetapi memiliki implementasi basis sosial kemasyarakatan yang berbeda. PKI kerap diidentikan oleh kalangan abangan, meskipun PNI juga memiliki banyak pengikut dari kalangan ini. Basis pendukungnya ada di antara kaum pekerja di wilayah perkotaan dan pedesaan (petani, nelayan). PKI menduduki posisi keempat peroleh suara di Pemilu tahun1955.

Telah disebutkan bahwa sistem kepartaian Indonesia di era ini bercorak pluralisme terpolarisasi. Masing-masing partai memiliki ideoogi yang satu sama lain punya perbedaan tajam yang tercermin dalam perolehan suara empat besar pemilu 1955. Kondisi ini memiliki kelemahannya sendiri yaitu sulitnya mencapai konsensus antar partai dalam melakukan kesepakatan di tingkat parlemen. Bukti sulitnya konsensus ini adalah perdebatan yang berlarut-larut di Dewan Konstituante untuk merumuskan UUD (terutama dasar negara) baru bagi Indonesia. Selain itu, di tingkat massa kerap terjadi persinggungan antar simpatisan partai. Situasi ini berujung pada lahirnya Demokrasi Terpimpin, suatu era sistem politik Otoritarian Kontemporer yang telah terkondisi sejak 1957.

Selain Geertz, analisis sistem kepartaian juga bisa dilakukan dengan menggunakan tipologi yang diberikan Herbert Feith yang membagi kepartaian yang ada di Indonesia berdasarkan garis ideologi yang hasilnya adalah terdapat lima aliran ideologi yang berpengaruh di Indonesia pada era 1945 hingga 1965. Kelima ideologi berasal dari struktur sosial masyarakat Indonesia dan terepresentasikan dalam partai-partai politik besar pasca Pemilu 1955.

Ideologi-ideologi tersebut adalah: Komunisme, Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, dan Sosialisme Demokrasi. [5] Komunisme direpresentasikan oleh PKI, Nasionalisme Radikal direpresentasikan sepenuhnya oleh PNI dan sebagian oleh Sosialis Demokrasi (PSI), Tradisionalisme Jawa tersebar di antara tiga partai (PKI, PNI, dan NU), Islam direpresentasikan oleh NU dan Masyumi (juga oleh pengusung Sosialisme Demokrasi). Koalisi politik yang terjadi hanya dimungkinkan oleh ketersinggungan antara kelima garis ideologi ini dan situ pula terletak kesulitan pembentukan koalisi.

Kesulitan utamanya adalah bagaimana menjalin koalisi antar partai di parlemen sementara tidak ada satu pun di antara mereka yang memperoleh suara mayoritas. Dua partai berbasiskan Islam yaitu NU dan Masyumi relatif lebih mudah menjalin koalisi, tetapi berbeda dalam strategi politik. Sejak tahun 1952, bahkan NU berdiri sebagai kekuatan politik otonom dalam kabinet elitis yang terbentuk pra pemilu 1955 lepas dari Masyumi. 

Kesadaran NU sebagai kekuatan politik yang mandiri bersumber pada keunikan Islam yang dianut oleh warganya yang kerap disebut sebagai aliran tradisional. Basis NU adalah di pulau Jawa kendati juga terdapat di Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, ataupun Sulawesi Selatan. NU dan Masyumi memiliki pendirian berbeda dalam menyikapi Pancasila, di mana NU dapat menerimanya karena menilai tidak bertentangan dengan ajaran Islam sementara Masyumi tidak bisa menerima dan berkeras menyikapi Islam sebagai dasar negara.

PNI dan PKI kendati berasaskan sekular secara substansial memiliki garis sosial yang tidak padu. PNI adalah partai muara kepentingan tuan-tuan tanah tradisional, birokrat, serta kaum priyayi Jawa. Unsur-unsur yang diwakili kepentingannya oleh PNI justru merupakan kelas-kelas sosial yang hendak direvolusi oleh ideologi komunis yang diusung oleh PKI. 

Sementara itu, koalisi antara PKI dengan NU atau Masyumi seperti menyatukan minyak dengan air. Konfigurasi hasil Pemilu 1955 sebab itu ditandai pluralisme terpolarisasi. Polarisasi ideologi membuat konsensus di tingkat parlemen menjadi sulit dicapai dan berujung pada dead-lock yang memancing keterlibatan presiden Sukarno, dengan dukungan penuh A.H. Nasution dari Angkatan Darat, untuk membubarkan parlemen dan kembali kepada UUD 1945.

Menuju Satu Partai Berkuasa

Kebuntuan pembahasan konstitusi oleh badan Konstituante membuat sejumlah kekuatan politik Indonesia mengkhawatirkan perpecahan dan disintegrasi politik di Republik yang baru merdeka ini. Sukarno, dengan dukungan Angkatan Darat di bawah Jenderal Nasution, mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diantaranya berisikan pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

UUD 1945 yang berlaku saat itu memposisikan Presiden selaku pemegang kekuasaan yang paling dominan. Masa yang berlangsung sejak 1959 hingga 1966 ini kemudian terkenal dengan nama Demokrasi Terpimpin. Presiden adalah pemimpin mekanisme demokrasi. Presiden menjadi distributor wewenang politik atas sejumlah lembaga politik. Konfigurasi suara Pemilu 1955 mencerminkan kekuatan politik yang mencerminkan Agama Islam (diwakili NU dan Masyumi), Nasionalis (PNI), dan Komunis (PKI). Sukarno berkuasa, selain dengan dukungan Angkatan Darat, juga melalui perimbangan politik di keempat partai tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, partai-partai politik seperti PKI, PNI, dan NU semakin mendekat kepada kekuasaan Sukarno. Masyumi, yang merupakan representasi gerakan Islam modernis dan didukung oleh masyarakat Indonesia luar Jawa tersingkir menjadi semacam oposan yang aliansi politiknya adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI). Masyumi-pun akhirnya dibubarkan dan sejumlah pimpinannya dipenjarakan akibat dianggap terlibat dalam kudeta PRRI atau Permesta yang gagal tahun 1958.

Sukarno menggagas konsep politik baru yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Lewat Nasakom, Sukarno berupaya mempersatukan tiga elemen paradoks ke dalam demokrasi Indonesia yang dipimpinannya. Untuk menghindari kecenderungan perpecahan di dalam negeri, Sukarno mencari common enemy (musuh bersama). Sukarno menggagas bahwa musuh bersama tersebut adalah Neokolonialisme dan Neoimperialisme (aka Nekolim) yang representasinya adalah negara-negara Blok Barat terutama Inggris dan Amerika Serikat.

Partai Komunis Indonesia adalah partai yang paling menyokong kampanye common enemy Sukarno ini. Sukarno dimanfaatkan oleh PKI untuk melawan Angkatan Darat. PKI menjadi partai yang paling dekat dengan Sukarno (bahkan melebihi PNI sebagai anak politik Sukarno) dan kader-kadernya sangat dekat dengan pembuatan kebijakan Indonesia tingkat pusat seperti Njoto, Njono, Ir. Sakirman, Dipa Nusantara Aidit, Achmadi, Jusuf Muda Dalam, dan beberapa yang tidak secara langsung berhubungan dengan PKI seperti Soebandrio dan Chairul Saleh.

Kondisi politik pertengahan hingga akhir Demokrasi Terpimpin Sukarno cenderung mengarah pada Satu Partai Dominan. Kendati hanya peringkat keempat dalam Pemilu 1955, PKI berhasil mempengaruhi Sukarno dengan cara mendukung politik anti Nekolim-nya hampir tanpa syarat. Sukarno juga membutuhkan PKI selaku pengimbang kekuatan Angkatan Darat yang mulai gerah dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik internasional Indonesia yang konfrontatif, terlebih adanya rencana pembangunan angkatan kelima yaitu buruh-tani yang akan dipersenjatai.

Dengan dipicu Gerakan 30 September 1965, proses politik Indonesia berbalik arah. Terbunuhnya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat menjadi pembenar bagi para pemimpinnya untuk memberangus PKI. Terjadilah revolusi politik: PKI dihabisi hingga ke akar-akarnya, otoritas politik Sukarno dimandulkan, dan Angkatan Darat masuk ke dalam arena politik. 

Kulminasi dari revolusi politik ini adalah kudeta terselubung atas kepemimpinan politik Sukarno dengan MPRS sebagai instrumen yang dipimpin oleh Jenderal Nasution tahun 1966, dalam mana pidato pembelaan diri Sukarno (terkenal dengan nama Nawaksara) ditolak. Sukarno dianggap terlibat dalam pembunuhan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat tahun 1965. Sukarno dilucuti dari jabatan presiden seumur hidup dan ditahan di Rumah Tahanan Militer di Wisma Yoso.

Periode 1966–1971 merupakan salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia karena terjadi perang dan pembunuhan antar saudara. Mereka-mereka yang terlibat atau sekadar dicurigai terlibat dalam PKI langsung dihabisi, dibunuh, dipenjarakan, ataupun dibuang ke pulau-pulau terluar Indonesia. Dalam masa ini, Angkatan Darat melakukan konsolidasi kekuasaan yang memadukan militer-sipil demi penciptaan stabilitas politik dengan cara membangun Sekber Golkar. Sekber Golkar direncanakan sebagai partai politik terbesar, political machine, yang pro pemerintah dan didukung penuh oleh mereka. Posisi-posisi politik strategis di sekber ini diserahkan kepada perwira tinggi dan menengah Angkatan Darat. Masuklah Indonesia ke dalam sistem kepartaian satu partai berkuasa.

Satu Partai Berkuasa

Analisis sistem kepartaian kemudian diadakan atas Rezim Otoritarian Kedua (1971-1998). Sistem kepartaian di masa Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno secara sengaja tidak dianalisis oleh sebab masih memiliki kesamaan dengan Demokrasi Liberal Pertama dilihat dari konfigurasi kepartaiannya. Hanya saja, pada masa ini Masyumi (dan PSI) dibubarkan oleh sebab dituduh Sukarno terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi.

Di masa Demokrasi Terpimpin Sukarno, partai-partai besar yang masih legal adalah PNI, NU, dan PKI. Kendati demikian, di masa ini tidak ada Pemilihan Umum. Ketiga partai tersebut tetap bertahan oleh sebab menjadi sokoguru dukungan politik Sukarno bagi kebijakan-kebijakannya. Sukarno, saat itu, membangun sokoguru dukungan politik melalui tiga unsur mayoritas yang ada di Indonesia yaitu aliran Marxisme (PKI), Islam (NU), dan Nasionalis (PNI). Sukarno melihat ketiga aliran ini merupakan loyalis ditinjau dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, selain memiliki basis massa yang besar.

Era sistem politik rezim Otoritarian Kontemporer Kedua sesungguhnya diawali mulai 1971, ketika diadakan pemilu pertama setelah kekuasaan Kediktatoran Militer tahun 1966 menggejala. Dalam masa ini, partai-partai politik yang dahulu dilarang Sukarno pun kembali ikut serta mengorganisasikan diri, dan salah satunya Masyumi. Agar lebih jelas, dapat kita lihat persentase hasil Pemilu 1971 di bawah ini yang diikuti 10 partai politik sebagai berikut: [6]

tabel hasil pemilu legislatif 1971- seta basri tetap menulis
Tabel Hasil Pemilu Legislatif Tahun 1971

Sistem kepartaian yang berkembang di era ini seolah serupa dengan yang terjadi di era Demokrasi Liberal 1. Namun, di era ini pemerintah melibatkan diri dalam politik dengan terbentuknya Golkar. Beberapa partai seperti PSI dan PKI tidak tampak ikut serta, demikian pula Masyumi, yang baru diperkenankan ikut serta setelah berganti nama menjadi Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). 

Hasil perolehan suara pun memperlihatkan Golkar menjadi pemenang (suara 34.348.673 atau 62,82%) sehingga memperoleh 236 kursi parlemen. Saingan terdekatnya adalah NU (10.213.650 atau 18,68%) dan hanya mengantungi 58 kursi di parlemen dan ini tidak jauh berbeda dengan kursi yang mereka peroleh dalam pemilu 1955.

Hasil tersebut menunjukkan mulai berlakunya sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa. Bagaimana tidak, dengan total 360 kursi yang tersedia di dewan perwakilan rakyat, Golkar meraih 236 kursi sehingga menguasai 62,82% suara di parlemen. Ini lebih dari cukup untuk meloloskan aneka rancangan undang-undang yang hendak dikeluarkan oleh parlemen.

Undang-undang yang berhasil diloloskan, salah satunya adalah sehubungan dengan pemfusian (penggabungan) partai-partai politik ke dalam kedekatan garis ideologi tahun 1973. Ke-9 partai non Golkar dikelompokkan ke dalam dua partai baru: Partai Persatuan Pembangunan (terdiri atas partai-partai berasaskan Islam seperti NU, Parmusi, PSII, dan Perti) serta Partai Demokrasi Indonesia (terdiri atas partai-partai berasaskan nasionalisme dan agama non Islam seperti PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba). Sehingga pemilu selanjutnya (1977) praktis hanya diikuti oleh tiga partai yaitu Golkar, PPP, dan PDI.

Pemilu 1977 hingga 1997 meneruskan sistem kepartaian berklasifikasi Satu Partai Berkuasa. Ini bisa dilihat dari persentase perolehan suara hasil pemilu 1977 hingga 1997. [7] Perjuangan pemerintah menjadikan Golkar sebagai mayoritas di parlemen bukanlah hal mudah. Misalnya, hasil Pemilu 1977 Golkar hanya mayoritas tipis dengan penguasaan suara 51,30%. Bahkan pada Pemilu 1982 Golkar sulit menjadi mayoritas parlemen karena perolehan suaranya hanya 50,43%. Hal ini yang membuat kebijakan Presiden Suharto menaruh kekuatan TNI dan Golongan Fungsional di parlemen menjadi signifikan.

tabel hasil pemilu legislatif orde baru - seta basri tetap menulis
Tabel Hasil Pemilu Legislatif Sepanjang Orde Baru

Pemfusian partai-partai politik tahun 1973 ternyata tidak secara otomatis menaikkan suara Golkar. Tahun 1977 menunjukkan peroleh suara Golkar turun 0,69% ketimbang pemilu sebelumnya, termasuk penurunan jumlah kursi dari 236 (51,30%) menjadi hanya 232 (50,43%). Meskipun demikian, Golkar tetap merupakan mayoritas dan dominan dalam pengambilan keputusan di tingkat parlemen (kendati terengah-engah), terutama dengan dua fraksi yang menjamin koalisi permanen: ABRI dan Golongan Fungsional.

Trend yang juga muncul adalah terjadinya kenaikan suara partai-partai berasaskan Islam yang tergabung di dalam PPP. Partai ini (yang merupakan gabungan NU, Parmusi, PSII, dan Perti) mengalami kenaikan 2,17% suara ketimbang pemilu 1971. Kursi yang diperoleh PPP adalah 99. Trend kebalikannya terjadi di PDI, di mana perolehan suara menurun 1,48% sehingga hanya mendapat 29 kursi parlemen. Jika pun PPP dan PDI berkoalisi, maka suara total keduanya hanya 128 kursi. Ini tidaklah cukup untuk menentang suara Golkar yang menguasai 62,11% di tingkat parlemen setelah melakukan koalisi dengan TNI dan Golongan Fungsional.

Pemilu 1977 seharusnya diadakan tahun 1976. Namun, saat itu situasi politik di Indonesia, terutama Jakarta cukup panas. Ini mengawali diberlangsungkannya Sidang Umum MPR tahun 1978, sidang yang akan mendengarkan Pidato Pertanggungjawaban Presiden Suharto sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden baru. Situasi pun diwarnai aneka kritis atas kepemimpinan nasional yang dilakukan disiden elit politik dan elemen gerakan mahasiswa ITB, USU, ITS ataupun UGM yang mengembuskan isu tidak mempercayai lagi Suharto untuk menjadi presiden RI menjelang Sidang Umum MPR 1978.

Kecenderungan sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa pun tetap terjadi di Pemilu 1982. Golkar memenangkan 64,34% (suara Golkar per se adalah 50,43%) suara pemilu 1982, meraih 242 dari 364 kursi yang diperebutkan sehingga menguasai 53,48% kursi parlemen. Perolehan suara Golkar mengalami kenaikan 2,23% dari pemilu 1977. Sementara itu, PPP dan PDI mengalami penurunan jumlah suara ketimbang pemilu sebelumnya. PPP turun 1,51% dan memperoleh 94 kursi parlemen (20,43% kursi di parlemen) sementara PDI turun 0.72 sehingga hanya memperoleh 24 kursi (5,22% suara di parlemen).

Kondisi yang sama, di mana sistem Satu Partai Berkuasa juga terjadi di pemilu 1987. Golkar kembali memenangkan pemilu dengan jumlah suara cukup signifikan bahkan mengalami kenaikan kursi di parlemen 6,32% suara ketimbang pemilu 1982. Partai ini mengantungi 73,16% suara pemilu (suara Golkar per se Cuma 53,48%) sehingga memperoleh 299 kursi di parlemen dari 400 kursi yang diperebutkan. Golkar merupakan mayoritas dengan menguasai 59,80% suara di parlemen Indonesia. 

Keunggulan ini menjadikan Golkar merupakan partai yang benar-benar berkuasa di Indonesia saat itu. PPP, di sisi lain, mengalami penurunan suara cukup besar yaitu 11,81%. Penurunan yang cukup tajam ini akibat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid di mana NU kembali ke Khittah 1926, kembali menjadi organisasi kemasyarakatan dan tidak berpolitik secara kepartaian. 

PPP hanya menguasai 12,40% (bandingkan dengan pemilu sebelumnya yang 20,43%). Kenaikan suara justru terjadi di PDI, yang mengalami kenaikan 2,78% dibanding pemilu sebelumnya. PDI memperoleh 40 kursi parlemen dan persentase suaranya di parlemen meningkat dari 5,22% di pemilu 1982 menjadi 8,00% di pemilu 1987 ini.

Pemilu 1992 menandai era baru di tingkat politik nasional Indonesia. Pilar politik rezim Otoritarian Kontemporer Presiden Suharto mengalami perubahan. Sebagian kelompok militer mulai menjaga jarak dengan presiden, dan untuk menambal jarak ini, presiden Suharto mendekati salah satu kelompok Islam yang tergabung di dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Hasil pemilu 1992 tetap memposisikan Golkar sebagai pemenang pemilu. 

Namun, suaranya menurun 5,06% ketimbang pemilu sebelumnya. Dari total 400 kursi yang diperebutkan di parlemen, Golkar memperoleh 282 kursi atau 70,50%. Penguasaan kursi di parlemen menurun dari 59,80% di pemilu sebelumnya menjadi 56,40% di pemilu 1992 ini. Sementara itu, dua partai lain seperti PPP dan PDI justru mengalami kenaikan jumlah suara. PPP mengalami kenaikan 0,20% suara parlemen yang ditandai penguasaan 62 kursi di parlemen, sementara PDI mengalami kenaikan kursi 3,20% yaitu memperoleh 56 kursi. PDI mulai mendekati PPP dalam rata-rata perolehan kursi di parlemen (kurang 6 kursi saja dari PPP).

Kenaikan suara PDI ini ditengarai bergabungnya Megawati Sukarnoputri, putri mantan presiden Sukarno, selaku pimpinan partai. Sejumlah emosi dan kekecewaan atas pemerintahan Orde Baru mulai diarahkan pada upaya pendukungan masyarakat atas partai ini. Kecenderungan ini semakin terlihat pada pemilu 1997 di mana meskipun Golkar masih memenangkan suara mayoritas, dengan menguasai 65,00% kursi di parlemen.

Mulai dekatnya jarak antara presiden Suharto dengan kelompok Islam menimbulkan sejumlah kepercayaan publik pemilih PPP, sehingga perolehan suara partai ini meningkat 5,43%. PPP memperoleh 89 kursi di parlemen atau 17,80% persentase suara di parlemen. Perolehan suara PDI menunjukkan penurunan yang cukup tajam yaitu 2,20% ketimbang pemilu sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah, intimidasi yang dilakukan pemerintah atas kepemimpinan PDI Megawati Sukarnoputri berikut pendukungnya. Seperti diketahui, saat itu PDI mengalami dualisme kepemimpinan, satu PDI versi Suryadi-Fatimah Ahmad, dan PDI versi Megawati Sukarnoputri.

Perseteruan internal di dalam PDI ini justru merugikan partai secara keseluruhan. Perseteruan pun tidak hanya melibatkan pihak internal melainkan juga pihak luar yang didukung oleh pemerintah saat itu. Untuk selanjutnya, PDI versi Megawati Sukarnoputri ini mendeklarasikan berdirinya PDI Perjuangan. Pemilu 1997 ini merupakan pemilu terakhir dalam pola sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa. Sistem yang berlaku di bawah sistem politik Rezim Otoritarian Kontemporer ini berakhir, dan berubah pada pemilu 1999. Pemilu 1999 merupakan era sistem politik baru di Indonesia: Demokrasi Liberal Kedua.

Pluralisme Moderat

Era Demokrasi Liberal Kedua diawali pengunduran diri Presiden Suharto pasca terpilihnya beliau dalam Sidang Umum MPR 1998. Setelah beliau mengundurkan diri, jabatan presiden Republik Indonesia otomatis jatuh ke tangan B.J. Habibie. Meskipun banyak dipandang sebagai anak asuh Suharto, dalam paradigma politik dan demokrasi, Habibie jauh berbeda dengan pendahulunya. Di masa singkat kekuasaan Habibie ini demokrasi substansial (bukan sekadar prosedural) Indonesia pun dimulai.

Beberapa keputusan populer dilakukan, diantaranya pembebasan tahanan politik, perizinan pendirian partai-partai politik baru, dan referendum bagi rakyat Timor Timur (berujung pada pilihan merdeka Timor Timur atas Republik Indonesia). Habibie tidak menunjukkan keserakahan dalam berkuasa dan beliau bahkan menyetujui pemilu yang dipercepat, yang dijadualkan berlangsung tahun 1999. Masa yang disebut sebagai euphoria demokrasi ini benar-benar mewujud di dalam kenyataan: 48 partai politik ikut serta di dalam pemilu dari total 148 yang terdaftar.

Hasil pemilu 1999 menunjukkan pola sistem kepartaian yang berubah dari Satu Partai Berkuasa menjadi Pluralisme Moderat. Pluralisme Moderat ini akan dijelaskan setelah dicantumkan tabel hasil peroleh suara pemilu 1999 berikut di mana berlaku stembus accord (penggabungan sisa hasil suara). [8]
 
tabel hasil pemilu legislatif 1999 - seta basri tetap menulis
Tabel Hasil Pemilu Legislatif Tahun 1999

Dengan stembus accord, total suara terbuang adalah 4.869.652. Konfigurasi peroleh suara partai-partai politik pemilu 1999 menunjukkan suatu Pluralisme Moderat. Partai-partai 10 besar seperti PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKP, PNU, dan PDKB memiliki jarak ideologi yang cukup berdekatan. 

Misalnya, antara Golkar, PDI Perjuangan, PKP, dan PDKB sesungguhnya memiliki kohesi sosial yang saling berbekatan. Kemudian, antara PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PNU, yang sesungguhnya partai-partai politik berbasiskan Islam, kurang lebih dapat dikerucutkan menjadi dua aliran di dalam santri versi Geertz yaitu modernis dan tradisional. Koalisi di dalam parlemen antara ke-10 partai tersebut masih dapat dilakukan dan tidak sesulit seperti yang ditampakkan oleh hasil Pemilu 1955 di mana empat partai besar memiliki jarak ideologi yang cukup jauh sehingga menyulitkan konsensus di parlemen.

Kendati PKB hanya menduduki peringkat empat Pemilu 1999, Gus Dur dipilih oleh parlemen untuk duduk sebagai presiden RI ke-4 dengan promotor utama poros tengah. Segera Gus Dur melakukan koalisi nasional yang tercermin di dalam kabinetnya Persatuan Nasional. 

Seluruh partai besar pemenang pemilu duduk di dalam kabinet ditambah pula elemen militer dan profesional. Hanya ketidakmampuan Gus Dur mengelola perimbangan di dalam kabinet (penggantian menteri secara radikal) yang membuat posisi Gus Dur selaku presiden menjadi bulan-bulanan serangan politik oleh DPR. Wujud akhirnya adalah impeachment oleh DPR atas jabatan kepresidenan Gus Dur dan naiknya Megawati Sukarnoputri sebagai presiden dan Hamzah Haz dari PPP sebagai wakil presiden.

Andreas Ufen dari German Institute of Global Area Studies mencatat bahwa pemilu 1999 menunjukkan kemenangan kalangan Islam moderat dan kalangan nasionalis. [9] Ufen juga memperlihatkan sejumlah indikator bahwa meskipun politik aliran ala pemilu 1955 tetap pegang peranan, tetapi mulai terjadi dealiranisasi. Artinya, format sistem kepartaian meskipun Plural tetapi menunjukkan kecenderungan moderat. Perbedaan ideologi antar partai tidak setajam pemilu 1955.

Di tingkat parlemen pun, pembangunan konsensus antarpartai harus menjadi perhatian. Ini terlihat dari persentase suara masing-masing partai di parlemen hasil pemilu 1999. PDI Perjuangan, selaku pemenang pemilu 1999, cuma menguasai 33,33% suara di tingkat parlemen. Golkar yang peringkat 2 hanya menguasai 25,97% suara. 

PPP, partai berbasis Islam hanya menguasai 12,77%. PKB, partai berbasis kelompok tradisional Islam menguasai 11,03%. PAN, partai yang berbasiskan modernis Islam menguasai 7,58% suara. PBB, partai yang berbasiskas Islam modernis dan formalisme menguasai 2,81% suara. Partai Keadilan, partai Islam modernis baru dan memiliki ideologi politik manhaj Ikhwanul Muslimin memperoleh suara 1,30%. PKP, partai para fungsionaris militer nasionalis memperoleh 1,30%. PNU (partai pecahan dari PKB) serta PDKB (partai berbasis agama Kristen Protestan) memperoleh suara 0,65%, suatu jumlah yang kurang signifikan.

Partai-partai besar terhitung adalah PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Partai-partai ini memiliki garis ideologi yang cukup lembam kendati sulit menyatukan PBB dengan PDIP, misalnya. PPP, PKB, PAN dan PBB, jika mampu mencapai kesepakatan sesungguhnya dapat menjalin koalisi di parlemen. 

PDI Perjuangan dan Golkar, sesungguhnya memiliki platform ideologi yang tidak terlalu jauh. Kendala koalisi keduanya hanyalah permusuhan historis dan personal. PDI Perjuangan, selama era Orde Baru akhir memang banyak mendapat intimidasi pemerintah – terutama atas diri Megawati Soekarnoputri – dan mereka mungkin masih memandang Golkar sebagai bagian masa lalu Orde Baru yang terus hidup hingga pemilu 1999. Perolehan suara pemilu 2004 tidak jauh berbeda dengan hasil pemilu 1999. Hasil pemilu 2004 dapat dilihat pada tabel berikut ini: [10]

tabel hasil pemilu legislatif 2004 - seta basri tetap menulis
Tabel Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004

Pemilu 2004 memperebutkan 550 kursi di parlemen. Golkar keluar sebagai pemenang dengan mengantungi perolehan 24.461.104 suara atau 21,62% total suara pemilih. Hasil ini membuat Golkar menguasai 23,27% suara (atau 128 kursi) di parlemen, disusul PDI Perjuangan menguasai 19,82% suara parlemen, PPP menguasai 10,35% suara parlemen, Partai Demokrat menguasai 10,36% kursi parlemen, PAN menguasai 9,45% suara parlemen, PKB menguasai 9,45% suara parlemen, PKS (nama baru Partai Keadilan) menguasai 8,18% suara parlemen, dan PBR menguasai 2,36% suara parlemen.

Dibandingan dengan pemilu 1999, Golkar mengalami kenaikan, PDI Perjuangan mengalami penurunan, PKB mengalami penurunan perolehan suara, tetapi mengalami kenaikan jumlah kursi di parlemen. PPP mengalami penurunan perolehan suara, meskipun jumlah perolehan kursinya tetap sama. 

PD (Partai Demokrat), partai yang mengandalkan figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (presidency party) langsung memperoleh 7,5% suara dengan total penguasaan 56 kursi parlemen PKS (dulu PK) mengalami mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 1,4% di pemilu 1999 menjadi 7,3% di pemilu 2004. Kursi parlemen mereka peroleh 7 kursi di pemilu 1999 menjadi 45 di pemilu 2004.

PAN mengalami penurunan jumlah suara, dari 7,1% di pemilu 1999 menjadi 6,44% di pemilu 2004 meskipun kursi parlemen mereka bertambah dari 34 di pemilu sebelumnya menjadi 53 di pemilu 2004 ini. PBB meski mengalami kenaikan jumlah suara dari 1,9% menjadi 2,62%, tetapi peroleh kursi mereka turun dari 13 menjadi 11.

Pola sistem kepartaian yang berlaku semakin mengindikasikan Pluralisme Moderat layaknya pemilu 1999. Partai-partai besar seperti Golkar, PDI Perjuangan, PKB, PPP, dan PAN masih menguasai kursi yang cukup besar di parlemen. Tidak ada partai yang mampu menjadi mayoritas secara mudah. Mereka harus saling berkoalisi. Partai yang menjadi partner pertama-tama bukan didasarkan atas kedekatan garis ideologis melainkan garis-garis pragmatis seperti jumlah kursi menteri, dukungan atas eksekutif, maupun program-program kerja yang sifatnya nasional.

Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat keluar sebagai pemenang (silakan perhatikan tabel). [11]

tabel hasil pemilu legislatif 2009 - seta basri tetap menulis
Tabel Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009

Pada Pemilu 2009 diberlakukan electoral threshold sebesar 2,5%. Artinya, hanya partai-partai politik yang memperoleh persentase suara sama dengan atau lebih besar dari 2,5% saja yang dapat mengkonversikan suara mereka menjadi kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, hanya Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra dan Partai Hanura saja yang masuk ke dalam parlemen. Akibat tidak ada stembus accord, suara partai-partai lain yang tidak masuk parlemen otomatis hangus. Koalisi terbentuk antara Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Sementara PDIP, Gerindra, dan Hanura menjadi oposisi.
Struktur Rekrutmen

Partai politik memegang posisi kunci dalam struktur rekrutmen. Dari partai politik-lah kandidat yang bersaing di dalam pemilu - namanya tercantum dalam surat suara – ditentukan. Variabel-variabel yang menentukan dalam struktur rekrutmen ini adalah: organisasi partai, aturan partai, ideologi partai, dan penentu non partai.

Organisasi Partai

Richard S. Katz membagi tipikal partai politik menjadi empat, yaitu Partai Elit, Partai Massa, Partai Catch-All dan Partai Kartel. [12] Franz Neumann menambahkan terdapat satu jenis partai yaitu Partai Integratif. [13]

Partai Elit

Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.

Partai Massa

Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti orang kecil, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.

Partai Catch-All

Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.

Partai Kartel

Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.

Partai Integratif

Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.

Gejala partai elit paling kuat terjadi selama Demokrasi Liberal I di mana elit-lah yang sepenuhnya menentukan kebijakan dalam partai. Elit yang melakukan negosiasi, menentukan kandidat, memecat kandidat, dan memutuskan dukungan atau mempertahankan dukungan atas pemerintah. Kecenderungan partai elit juga terjadi ketika elit-elit puncak dianggap sebagai partai itu sendiri. Terjadi kultus individu sehingga partai identik dengan elit dan demikian pula sebaliknya.

Beberapa partai seperti PDI Perjuangan kini dapat dikategorikan sebagai Partai Massa. Partai ini memiliki massa cukup besar, yang kerap mengidentifikasi diri berbasis kelas sosial tertentu semisal kalangan rakyat biasa. Namun, dalam hubungannya dengan kepemimpinan partai, PDI Perjuangan dapat pula dikategorikan sebagai Partai Elit. Figur elit politik seperti Megawati Sukarnoputri cukup signifikan sebagai basis kohesi partai. Demikian pula pertalian keuangan partai dengan pengusaha Taufik Kiemas dan Cahyo Kumolo.

Karakteristik partai massa juga terdapat dalam partai-partai lain semisal PKB dan PAN. PKB kemungkinan masih menjadi basis identifikasi politik kalangan Nahdlatul Ulama sementara PAN untuk kalangan Muhammadiyah kendati kini terdapat sejumlah kecenderungan untuk perubahan. Meskipun kondisi identifikasi pemilih dengan partai berkecenderungan untuk tidak menguat, tetapi masih dapat diterima asumsi bahwa PKB dan PAN merupakan tipikal Partai Massa.

Partai Demokrat merupakan partai yang tidak punya basis pemilih yang jelas. Partai ini dapat disebut sebagai partai presiden, yaitu partai yang berdiri untuk mengangkat figur Susilo Bambang Yudhono (atau memanfaatkan?). Ketidakjelasan basis pemilih ini (layaknya partai massa) membuat Partai Demokrat harus peka terhadap isu-isu strategis di kalangan pemilih. Partai jenis ini dapat diklasifikasi sebagai Partai Catch-All. Partai yang serupa dengan Demokrat adalah Partai Hanura dan Partai Golkar.

Partai-partai kecil banyak tersebar di parlemen. Misalnya, dalam pemilu 2004, partai-partai seperti Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, atau Partai Karya Peduli Bangsa, tidak akan hidup jika tidak berkoalisi dengan partai-partai lain yang setara ataupun dengan partai besar yang punya basis ideologi setara dengan mereka. Anggota fraksi mereka dapat disebut sebagai Partai Kartel, yang berorientasi pada koalisi. 

Dengan demikian, basis ideologi, janji pemilu dan sejenisnya bukan sesuatu yang urgent untuk dipenuhi oleh sebab untuk bersuara saja, mereka tidak memiliki kekuatan representasi. Teknik bertahan untuk tetap ada, merupakan prioritas utama yang harus segera dilakukan. Fenomena partai Kartel bukan tidak mungkin pada partai-partai besar. Ketika partai-partai besar memutus hubungan dengan konstetuen dan asyik dalam gelora pencarian keuntungan relatif di parlemen, mereka jadi partai kartel.

Fenomena Partai Keadilan Sejahtera (aka Partai Keadilan), dapat dikatakan sebagai fenomena Partai Integratif. Partai jenis ini membasiskan keorganisasian pada keanggotaan volunteer, sumbangan anggota, kerja-kerja sosial, sehingga membuat partai mereka bertahan hidup. Tipikal kerja partai mereka cukup massif. Karakter PKS juga dapat disebut sebagai Partai Massa, di mana dimensi keislaman modernis merupakan basis identifikasi para pemilihnya, tetapi pembesaran lingkup pemilih lebih sulit bagi PKS ketimbang PDIP maupun PAN (terlebih jika PKS menghendaki dirinya menjadi partai partai catch-all) karena sempitnya konstituen mereka yang mengidentifikasi partainya sebagai partai integratif.

Organisasi partai umumnya dikaitkan dengan tipologi partai seperti partai elit, partai massa, partai catch-all, partai kartel, ataupun partai integratif. Masing-masing partai memiliki perbedaan dalam elemen penentu pemilihan seorang kandidat. Dalam partai elit, pimpinan atau faksi berkuasa di dalam partai sangat menentukan apakah seorang kandidat masuk menjadi caleg ataukah tidak. Dalam partai massa, grassroot cukup punya posisi deterministik karena hanya kandidat yang dekat dengan akar rumput sajalah yang punya peluang besar untuk terpilih di dalam pemilu dengan sistem daftar terbuka. Dalam partai catch-all popularitas seorang kandidat juga menentukan keterpilihannya menjadi caleg, tetapi partai catch-all ini amat bergantung pada perubahan politik yang melingkupi suatu periode pemilihan. Partai kartel sama seperti partai elit dalam memilih seorang kandidat dan lebih diutamakan yang memiliki keterampilan membangun jaringan dan koneksi lintas fraksi di dalam parlemen. Partai integratif menghendaki pengalaman dan loyalitas seorang kandidat sebelum menjadi seorang caleg.

Aturan Partai

Norris membangun skematika variabel mengenai struktur rekrutmen yang berlaku di tiap partai politik yang ia bagi menjadi empat kuadrat: (1) Patronase-Sentralistik; (2) Patronase-Lokal; (3) Birokratik-Lokal; dan (4) Birokratik-Sentralistik. Norris memberi contoh skematika dan contoh negara partai di masing-masing kuadran. [14]

tabel struktur rekrutmen internal partai politik pippa norris - seta basri tetap menulis
Tabel Struktur Rekrutmen Partai Politik Pippa Norris

Dalam patronase-sentralistik pilihan atas seorang kandidat untuk menjadi caleg ditentukan oleh proses tawar-menawar antara faksi-faksi atau pimpinan antar faksi yang ada di dalam partai. Pimpinan partai di tingkat daerah tetap didengar pendapatnya tetapi suara mereka kurang menentukan dalam proses pembuatan keputusan akhir. 

Patronase-sentralistik umum ditemukan dalam partai-partai di Amerika Latin, di mana para pemimpin faksi di dalam partai memiliki kekuasaan besar guna mencari klien-klien politik dengan imbalan material. Kondisi seperti ini juga umum terjadi di Indonesia, di mana besar sumbangan caleg menentukan kesempatan caleg untuk jadi nominator utama wakil partai di parlemen. 

Umumnya, klien yang mampu menyediakan reward material yang besar saja yang terpilih menjadi kandidat caleg. Dalam patronase-sentralistik juga dimungkinkan para kandidat dipilih lewat prosedur demokratis di dalam masing-masing partai, tetapi tetap saja hasil akhirnya (saat seorang kandidat diloloskan menjadi caleg) ditentukan oleh pimpinan faksi di tingkat pusat.

Dalam patronase-lokal terjadi kebalikan dari patronase-sentralistik. Dalam patronase-lokal justru pimpinan faksi tingkat daerah atau wilayah yang lebih banyak menentukan lolosnya seorang kandidat ketimbang pimpinan faksi pusat. Pemilihan kandidat di Amerika Serikat adalah contoh dari patronase-lokal ini. Patronase-lokal terjadi tatkala pimpinan pusat partai politik (faksi partai tingkat pusat) tidak memiliki kemampuan dan pengaruh yang besar di tingkat daerah ataupun distrik. 

Akibatnya, daerah ataupun wilayah lebih menentukan proses penentuan seorang kandidat. Di setiap daerah, wilayah, ataupun distrik terdapat faksi-faksi yang relatif otonom, tidak terlampau bergantung pada pusat. Faksi-faksi ini memiliki ketersediaan dana yang mandiri dengan dukungan publik di wilayah masing-masing.

Dalam birokratik-lokal penentuan seorang kandidat lebih ditentukan oleh aturan-aturan eksplisit (tegas) tingkat lokal (daerah atau wilayah) yang menstandardisasi proses seleksi kandidat sebelum lolos menjadi caleg. Dalam kasus birokratik-lokal seorang kandidat bergantung pada konstituen lokal partai di mana sebelum seorang kandidat dimajukan untuk bersaing dalam pemilu, partai (secara organisasional) membuat polling kepada kalangan pemilih seputar kelayakan beberapa kandidat. 

Konstituen ini bukan dalam konteks pemilu yang sesungguhnya tetapi lebih mirip seperti polling di mana konstituen meranking kandidat-kandidat yang ditawarkan dari nomor 1 hingga n. Kandidat yang memiliki akumulasi tertinggi sajalah yang lolos untuk menjadi caleg dalam pemilu yang sesungguhnya.

Dalam birokratik-sentralistik aturan formal partai berupaya memberdayakan peran kepemimpinan faksi secara nasional untuk menentukan masuknya seorang kandidat menjadi caleg di suatu wilayah atau daerah. Penentuan ini didasarkan pada tiket partai dari pimpinan pusat. Aturan partai menentukan pemberian tiket partai kepada seorang kandidat berdasarkan perhitungan politis dan ekonomis dari pimpinan pusat partai. 

Dengan aturan semacam ini, seorang kandidat umumnya tidak memiliki ikatan kuat dengan massa pemilih di tingkat daerah ataupun lokal melainkan dengan pimpinan pusatnya. Hal ini berbeda dengan birokratik-lokal di mana konstituen tingkat daerah dan wilayah memiliki pengaruh yang besar. Ia juga berbeda dengan patronase-sentralistik karena seorang kandidat wajib memiliki pengalaman dan loyalitas tinggi kepada partai sehingga mampu memperoleh kepercayaan dari pimpinan pusat partai.

Dalam sejarah Indonesia, terutama di masa Demokrasi Liberal Pertama, peran elit partai sangat besar dalam menentukan positioning seorang kandidat. Akibatnya, partai-partai politik di Indonesia – bahkan hingga kini – terbiasa dengan mekanisme rekrutmen yang sifatnya patronase-sentralistik. 

Pelibatan massa pemilih dalam menentukan seorang kandidat kurang begitu berpengaruh jika dibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki para pimpinan faksi partai politik baik di tingkat pusat, daerah ataupun wilayah. Peran elit partai politik menurun ketika Indonesia memasuki periode Otoritarian Kontemporer Pertama di bawah kepemimpinan Sukarno dan Angkatan Darat. Proses rekrutmen politik lebih ditentukan negosiasi (lebih tepat penunjukan) oleh Sukarno ketimbang usulan dari elit-elit partai politik.

Pelibatan warganegara secara umum dalam menentukan wakil mereka di parlemen sedikit terbuka di masa pasca Kediktatoran Militer. Pada Pemilu 1971, massa diperkenankan memilih langsung wakil mereka (memilih partai). Namun, pilihan massa tersebut dengan beberapa persyaratan yang ditentukan oleh Suharto dan militer seperti bebas dari sangkut-paut dengan Gerakan 30 September dan organisasi massanya, memiliki track-record politik yang tidak konfrontatif dengan pemerintah, dan diprediksi tidak akan membuat masalah dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat parlemen.

Persyaratan-persyaratan ini semakin jelas sejak Pemilu 1977 di mana terjadi fusi partai-partai politik. Kondisi ini terus bertahan hingga pemilu 1997 di mana Indonesia berada di dalam sistem politik Otoritarian Kontemporer II. Keterlibatan rakyat dalam pemilu langsung lebih sebagai stempel bahwa rakyat melakukan pemilihan langsung atas wakil-wakil mereka. Sejak pemilu 1977 setiap calon legislatif yang diajukan oleh seluruh kontestan politik (Golkar, PPP, dan PDI) harus memperoleh persetujuan dari lembaga eksekutif (presiden) sebelum efektif bersaing dalam pemilu-pemilu yang menggunakan sistem proporsional daftar tertutup.

Pasca transisi politik 1998, kembali partai-partai politik memiliki kewenangan besar dalam menentukan rekrutmen kandidat untuk dicalonkan menjadi legislator. Pemilu 1999 menggunakan daftar tertutup dalam penentuan caleg terpilih karena pemilu ini masih menggunakan tanda gambar partai dan tidak mencantukan daftar nama caleg yang bersangkutan. Sistem ini berubah saat pemilu 2004 dan 2009 di mana nama calon legislatif tersedia di lembar suara dan pemilih diperkenankan memilih mereka, bukan sekadar memilih partai belaka.

Lewat daftar terbuka, konstituen dalam pemilu secara mudah dapat melihat siapa caleg yang ditawarkan oleh partai tertentu bahkan lengkap dengan foto dan gelar agama serta akademiknya. Hal ini mempersulit kondisi patronase-sentralistik. Caleg-caleg yang disukai pimpinan faksi pusat belum tentu memenuhi selera para pemilih. 

Dengan sistem semacam ini, seorang kandidat yang hendak direkrut partai politik untuk dikontestasi dalam pemilu haruslah cukup populer dan memiliki elektabilitas yang tinggi. Sistem patronase-sentralistik bukanlah suatu sistem yang mampu memprediksi popularitas dan elektabilitas ini. Karena sistem pemilihan umum menggunakan distrik-distrik pemilihan, maka elektabilitas dan popularitas seorang caleg hanya dapat ditentukan oleh massa pemilih di distrik-distrik pemilihan tertentu.

Mekanisme rekrutmen yang paling mampu memprediksi elektabilitas seorang kandidat adalah birokratik-lokal. Dalam sistem ini massa pemilih yang menentukan elektabilitas seorang kandidat di distrik tertentu. Kelemahan dari sistem ini adalah power faksi pimpinan pusat akan berkurang karena umumnya kandidat lokal akan berkurang ketergantungannya terhadap partai. Hal ini diatasi oleh partai-partai politik dengan memberlakukan sistem patronase-lokal ataupun birokratik-sentralistik. Lewat kedua sistem ini, dimensi suara lokal akan mewarnai elektabilitas seorang kandidat, tetapi di sisi lain faksi-faksi pimpinan pusat tetap sepenuhnya memegang kendali.

Lewat daftar terbuka, konstituen dalam pemilu secara mudah dapat melihat siapa caleg yang ditawarkan oleh partai tertentu bahkan lengkap dengan foto dan gelar agama serta akademiknya. Hal ini mempersulit kondisi patronase-sentralistik. 

Caleg-caleg yang disukai pimpinan faksi pusat belum tentu memenuhi selera para pemilih. Dengan sistem semacam ini, seorang kandidat yang hendak direkrut partai politik untuk dikontestasi dalam pemilu haruslah cukup populer dan memiliki elektabilitas yang tinggi. Sistem patronase-sentralistik bukanlah suatu sistem yang mampu memprediksi popularitas dan elektabilitas ini. Karena sistem pemilihan umum menggunakan distrik-distrik pemilihan, maka elektabilitas dan popularitas seorang caleg hanya dapat ditentukan oleh massa pemilih.

Ideologi Partai

Karena keterbatasan ruang tulisan, bagian ideologi partai ini hanya akan membahas sembilan partai yang masuk ke dalam parlemen karena memenuhi electoral threshold 2,5%. Partai-partai yang akan dibahas adalah Partai Demokrat (aka Demokrat), Partai Golongan Karya (aka Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (aka PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (aka PKS), Partai Amanat Nasional (aka PAN), Partai Persatuan Pembangunan (aka PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (aka PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (aka Gerindra), dan Partai Hati Nurani Rakyat (aka Hanura). Studi ideologi partai hanya akan dilakukan atas Anggaran Dasar dari masing-masing partai, yang hasilnya seperti di bawah ini:

tabel anutan ideologi sembilan partai politik di indonesia - seta basri tetap menulis
Tabel Ideologi Sembilan Partai Politik di Indonesia

Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa, dan Hanura memiliki asas dan ideologi yang sama. Keanggotaan masing-masing partai dapat dengan mudah melakukan pelompatan pagar tanpa adanya konflik asas maupun ideologis. Partai DIP dan Partai Gerindra memiliki platform yang mirip sehingga kandidat (bahkan basis massa) mereka sulit dibedakan. 

Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan memiliki kandidat yang relatif berdekatan, kendati tawaran ideologi Islam mereka memiliki perbedaan mendasar: Satu bersumber pada aras nasional sementara lainnya pada aras transnasional. PKS, sekurangnya menurut M. Imdadun Rahmat, memiliki ideologi partai yang mirip dengan yang dikembangkan dalam manhaj Ikhwanul Muslimin. [14] Sementara PPP merupakan partai politik yang mengikuti gaya ideologi Masyumi di mana Islam yang dikembangkan menjadi ideologi partai tetapi lebih berkait dengan dimensi kebangsaan Indonesia.

Penentu Non Partai

Saat Indonesia berada di dalam Otoritarian Kontemporer 2, Penentu Non Partai adalah lembaga kepresidenan. Setiap kandidat yang akan bersaing dalam Pemilu harus melalui mekanisme Litsus (penelitian khusus). Mekanisme tersebut menyelidiki kaitan seorang kandidat dengan organisasi terlarang (misalnya keterlibatan dalam PKI ataupun organisasi-organisasi yang berkaitan). Hanya kandidat yang lolos dari Litsus ini sajalah yang berhak untuk dipilih di dalam Pemilu.

Dalam era Demokrasi Liberal II, lembaga Penelitian Khusus (Litsus) kepresidenan sudah tidak ada. Penentu non partai kini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisi inilah yang bertugas melakukan seleksi administratif kelayakan seorang kandidat untuk melaju sebagai calon legislatif dalam pemilu. KPU dibentuk secara berjenjang dari KPU pusat hingga KPU Daerah dengan kewenangan yang juga berjenjang. Selain itu, penentu lain yang sifatnya non partai adalah para donatur besar dari masing-masing partai politik.</>


Catatan Kaki

[01] Peter Mair, "Party Systems and Structures of Competition", dalam Lawrence LeDuc, et.al., Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective (California: Sage Publications, 1996) p.86.

[02] Sumber Tabel : <www.kpu.go.id>

[03] Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: Free Press, 1960) p.6.

[04] Suzaina Kadir, Mapping Muslim Politics in Southeast Asia after September 11, (European Institute for Asian Studies, 2002) p.6

[05] Herbert Feith dan Lance Castles, ed., Pemikiran Politik Indonesia : 1945-1965, Alih Bahasa Min Yubhaar, (Jakarta: LP3ES, 1988) p.lvii.

[06] Sumber tabel : <www.kpu.go.id>

[07] Persentase yang tercantum dihitung dengan rumus perolehan kursi dibagi total kursi dikali 100%. Tujuannya hanya hendak menunjukkan posisi Golkar per se. ABRI dan Fungsional, kendati tidak dipilih lewat pemilu tetap dihitung persentasenya lewat cara yang sama. Sumber tabel <www.kpu.go.id>.

[08] Penulis hanya memuat partai-partai yang memperoleh wakil di parlemen saja. Sumber <www.kpu.go.id>

[09] Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ‘Philippinisation’, (Hamburg: GIGA Working Paper, 2006) p.11.

[10] Suparno, eds., et.al., Modul 1 Pemilu untuk Pemula, Cetakan 1 (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2010) h. 43.

[11] Tabel diambil dari <www.kpu.go.id> dan merupakan hasil verifikasi KPU per tanggal 14 Mei 2009. Karena diberlakukan Electoral Threshold (ET) 2,5% maka hanya dimuat data 9 partai yang lolos ET saja. Pemilu 2009 diikuti 44 partai politik, 6 partai di antaranya adalah partai politik lokal Aceh yang merupakan rekomendasi dari Nota Kesepahaman Helsinki dan terdiri atas Partai Daulat Aceh, Partai SIRA, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh, Partai Bumi Aceh, dan PAAS. Keenam partai ini tidak memperoleh kursi di parlemen.

[12] Richard S. Katz, "Party Organizations and Finance", dalam., Lawrence LeDuc, et.al., Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective (California: Sage Publications, 1996), p.113-23.

[13] Diajukan oleh Franz Neumann seperti dikutip dalam Janos Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millenium (Barcelona : Institut de Ciències Polítiques i Socials, 2005) p.11.

[14] Pippa Norris, "Legislative Recruitment" dalam Lawrence LeDuc, et.al, eds., Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspectives (California: Sage Publications, Inc., 1996). Keterangan selanjutnya menggunakan sumber ini dari p. 202-8.

[15] M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (Yogyakarta: LKiS, 2008) h. 287.

Posting Komentar

0 Komentar