Hal ini mirip dengan di masa Orde Baru, di mana orang-orang yang “diasumsikan” terlibat Partai Komunis Indonesia "dibuang" ke kamp-kamp "pembersihan otak" di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Kedua keputusan baik di Cina maupun Indonesia adalah bukti keputusan politik, dan itu terkesan brutal.
Namun, keputusan untuk menaikkan gaji guru, menaikkan Upah Minimun Regional (UMR), atau kesempatan cuti haid bagi buruh perempuan dapatkah dikatakan kejam? Atau keputusan politik untuk menggratiskan biaya pendidikan di Brunei Darussalam atau Arab Saudi, jaminan sosial bagi pengangguran dan lansia di Norwegia dapatkah dimasukkan ke dalam kategori yang brutal ?
Berbicara mengenai politik, kita tidak berbicara mengenai brutal atau tidak. Justru, politik berlawanan dengan brutalisme, kekerasan, bahkan penggunaan cara-cara militeristik untuk memecahkan masalah. Bicara mengenai politik berarti membicarakan perilaku kita dalam hidup bermasyarakat. Khususnya, “cara” kita mengatasi sejumlah perbedaan yang ada di antara kita lewat pembuatan kebijakan (undang-undang) yang mengikat “kita” dan “mereka”. "Cara" bergantung pada siapa yang menggunakan. Subyektivitas kita masing-masing-lah yang menyebut cara yang dilakukan si A atau si B, atau pemerintah A atau B tersebut sebagai "kejam" atau tidak "kejam", dan satu bidang tersendiri di ilmu politik membicarakan persoalan ini: Etika Politik.
Dalam politik kita berbicara mengenai bagaimana masyarakat, di suatu wilayah, saling menegosiasikan kepentingan masing-masing, untuk kemudian melahirkan kesepakatan bagaimana kepentingan masing-masing tersebut dapat terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Saat dimulainya, politik selalu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Tujuan awal politik tidaklah "kejam" atau “brutal” seperti sering didengungkan orang.
Definisi Politik
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, menurut Aristoteles) dalam hidupnya. Manakala manusia mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK [1].
Dengan demikian, kita dapat dikatakan tengah berpolitik ketika bersaing dengan tetangga sebelah rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau supir angkot berdebat dengan oknum LLAJ bahwa pungli yang mereka lakukan sudah tidak bisa lagi ditoleransi. Luas sekali pelajaran politik jika demikian, bukan ?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik adalah the constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan) [02]. Kata “kekuasaan sosial” ditekankan untuk membedakannya dengan “kekuasaan individual.” Ini akibat politik berkenaan dengan pengaturan hidup suatu masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang mengesahkan sekelompok individu untuk memiliki “kekuasaan sosial” yang aplikasinya “dapat dipaksakan” atas setiap individu untuk menjamin keteraturan di dalam masyarakat itu sendiri.
Agar lebih jelas, berikut kami sampaikan definisi politik dari Gabriel A. Almond, et.al., di mana mereka mendefinisikannya sebagai :
![]() |
https://groundviews.org/2024/09/19/towards-a-programmatic-politics/ |
Namun, keputusan untuk menaikkan gaji guru, menaikkan Upah Minimun Regional (UMR), atau kesempatan cuti haid bagi buruh perempuan dapatkah dikatakan kejam? Atau keputusan politik untuk menggratiskan biaya pendidikan di Brunei Darussalam atau Arab Saudi, jaminan sosial bagi pengangguran dan lansia di Norwegia dapatkah dimasukkan ke dalam kategori yang brutal ?
Berbicara mengenai politik, kita tidak berbicara mengenai brutal atau tidak. Justru, politik berlawanan dengan brutalisme, kekerasan, bahkan penggunaan cara-cara militeristik untuk memecahkan masalah. Bicara mengenai politik berarti membicarakan perilaku kita dalam hidup bermasyarakat. Khususnya, “cara” kita mengatasi sejumlah perbedaan yang ada di antara kita lewat pembuatan kebijakan (undang-undang) yang mengikat “kita” dan “mereka”. "Cara" bergantung pada siapa yang menggunakan. Subyektivitas kita masing-masing-lah yang menyebut cara yang dilakukan si A atau si B, atau pemerintah A atau B tersebut sebagai "kejam" atau tidak "kejam", dan satu bidang tersendiri di ilmu politik membicarakan persoalan ini: Etika Politik.
Dalam politik kita berbicara mengenai bagaimana masyarakat, di suatu wilayah, saling menegosiasikan kepentingan masing-masing, untuk kemudian melahirkan kesepakatan bagaimana kepentingan masing-masing tersebut dapat terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Saat dimulainya, politik selalu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Tujuan awal politik tidaklah "kejam" atau “brutal” seperti sering didengungkan orang.
Definisi Politik
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, menurut Aristoteles) dalam hidupnya. Manakala manusia mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK [1].
Dengan demikian, kita dapat dikatakan tengah berpolitik ketika bersaing dengan tetangga sebelah rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau supir angkot berdebat dengan oknum LLAJ bahwa pungli yang mereka lakukan sudah tidak bisa lagi ditoleransi. Luas sekali pelajaran politik jika demikian, bukan ?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik adalah the constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan) [02]. Kata “kekuasaan sosial” ditekankan untuk membedakannya dengan “kekuasaan individual.” Ini akibat politik berkenaan dengan pengaturan hidup suatu masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang mengesahkan sekelompok individu untuk memiliki “kekuasaan sosial” yang aplikasinya “dapat dipaksakan” atas setiap individu untuk menjamin keteraturan di dalam masyarakat itu sendiri.
Agar lebih jelas, berikut kami sampaikan definisi politik dari Gabriel A. Almond, et.al., di mana mereka mendefinisikannya sebagai :
“ … the activities associated with the control of public decisions among a given people and in a given territory, where this control may be backed up by authoritative and coercive means. Politics refers to the use of these authoritative and coercive means---who gets to employ them and for what purposes [03].”
[“ … kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Politik mengacu pada penggunaan instrumen otoritatif dan koersif ini---siapa yang berhak menggunakannya dan dengan tujuan apa.”]
Definisi lain politik di masa modern juga dicatat oleh Hamid bahwa :
“ ... modern definition of politics, however, covers the government of the state and that of other human organizations, where “government” means organized authority and implies the institutions of leadership and authoritative allocation of values [04].”
[ ... definisi politik di masa modern mencakup pemerintah suatu negara dan pula organisasi yang didirikan manusia lainnya, di mana “pemerintah” adalah otoritas yang terorganisir dan menekankan pelembagaan kepemimpinan serta pengalokasian nilai secara otoritatif.”]
Kata otoritatif merupakan konsep yang ditekankan dalam masalah politik. Otoritatif adalah kewenangan yang absah, diakui oleh seluruh masyarakat yang ada di suatu wilayah untuk menyelenggarakan kekuasaan. Otoritas tersebut ada di suatu lembaga bernama “pemerintah”. Bukan suatu kekekuasaan politik jika lembaga yang melaksanakannya tidak memiliki otoritas. Pemerintah juga dapat kehilangan otoritasnya tatkala mereka sudah tidak memiliki kekuasaan atas masyarakatnya. Pemerintah-lah yang mengalokasikan nilai-nilai seperti kesejahteraan, keadilan, keamanan, kebudayaan, dan sejenisnya, ke tengah masyarakat. Dengan kekuasaan politik, pemerintah dapat memaksakan tindakannya atas setiap individu.
Andrew Heywood sekurangnya mengajukan 4 asumsi tatkala kata “politik” diucapkan oleh si pengucap dan dipersepsikan oleh si pendengar. Keempat asumsi ini sama-sama diyakini merupakan konteks situasi tatkala kata politik disebutkan kendati memiliki obyek kajian yang berbeda. Keempat asumsi tersebut adalah [05]:
1. Politik sebagai Seni Pemerintahan
Artinya, politik adalah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini adalah yang paling tua dan telah berkembang sejak masa Yunani Kuno.
2. Politik sebagai hubungan publik
Aristoteles dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa manusia adalah binatang politik. Maknanya, secara kodrati manusia hanya dapat memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.” Kedua lingkup tersebut diperbesar menjadi State (kembangan publik) dan Civil Society (kembangan privat). Dalam “state” terletak institusi seperti pengadilan, aparat pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya, sementara dalam “civil society” terletak institusi seperti keluarga, paguyuban, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub, komunitas, dan sejenisnya.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks hubungan “state-civil society” inilah asumsi kedua politik diletakkan.
3. Politik sebagai kompromi dan konsensus
Sharing atau pembagian kekuasaan adalah asumsi politik sebagai kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing memoderasi tuntutan agar tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara bilamana masalah pergesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas “meja” bukan pertumpahan darah.
4. Politik sebagai kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti kehendaknya. Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk adalah kekuasaan sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu masyarakat. Dalam asumsi ini, politik dilihat sebagai penggunaan “kapital” (yaitu kekuasaan) dalam konteks produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya tersebut.
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan. Secara sederhana, pendekatan institusional dapat dilihat pada skema berikut [22]:

Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum.
Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil. Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
Pada perkembangannya, pendekatan Institusional diverifikasi oleh pendekatannya sejenis yang lebih baru : NeoInstitusionalisme. Metodologi ini berkembang sejak akhir 1980-an. NeoInstitusionalisme mengkombinasikan minat kalangan Tradisionalis dalam mempelajari lembaga-lembaga politik formal seperti dalam pendekatan Institusionalisme, khususnya pada aturan dan struktur formal pada lembaga-lembaga tersebut. Namun, formalisme tersebut dikombinasikan dengan apa yang para Behavioralis pelajari seputar tindakan para aktor politik secara individual.
NeoInstitusionalisme mengeksplorasi bagaimana struktur, peraturan, normal dan budaya lembaga politik membatasi pilihan dan tindakan individual para aktor politik kala mereka jadi bagian dari suatu lembaga politik. Dengan lain perkataan, pendekatan NeoInstitusionalis mengkombinasikan studi mikrolevel atas perilaku individu dengan sensitivitas mikrolevel atas faktor-faktor kelembagaan yang membentuk perilaku tersebut. NeoInstitusional kini menjadi metodologi PostBehavioral paling berpengaruh di Amerika Serikat, bahkan dunia[23].
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laku politik individu. Behavioralisme menganggap individu manusia sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari behavioralisme[24].
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal [25].
Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal [26]. Peneliti lain, yaitu Floyd Hunter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills) [27].
Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik [28]. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaan Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris bukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang 'mendadak' kaya akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington, jika partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul situasi disorder [29]. Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik seperti partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya dalam buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin America.” Bagi Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara 'dunia ketiga' adalah akibat : modal asing, perilaku pemerintah lokal yang korup, dan kaum borjuis negara satelit yang 'manja' pada pemerintahnya. Frank menyarankan agar negara-negara 'dunia ketiga' memutuskan seluruh hubungan dengan negara "maju yang kini mulai dekaden" (Barat) [30].
Aksiologi Ilmu Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu ekonomi pada bagaimana seseorang dapat makmur secara material atau ilmu militer pada penciptaan prajurit-prajurit yang dapat menjamin keamanan negara. Ketiganya adalah aksiologi. Aksiologi adalah guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan nantinya.
Aksiologi ilmu politik adalah untuk memberi "jalan atau cara" yang lebih baik dalam hal negosiasi kepentingan antar kelompok dalam masyarakat. Ilmu politik (menurut Aristoteles) bertujuan untuk "membahagiakan hidup manusia" yang tinggal dalam suatu wilayah yang sama. Aksiologi ilmu politik juga erat berkait dengan 4 asumsi orang tatkala mendengar kata “politik” seperti telah diutarakan oleh Andrew Heywood.
Upaya menerjemahkan kebahagiaan lewat politik, seperti dimaksud Aristoteles, dapat dipenuhi lewat pemilihan karir. Lewat karir-karir yang tersedia dalam ilmu politik, seorang alumni Ilmu Politik mampu mencapai tujuan ilmu politik.
Karir dalam ilmu politik sangat banyak. Penulis akan mengambilnya dari 3 buah buku yang khusus membicarakan karir dalam ilmu politik. Mark Rowth menyebut karir ilmu politik dapat berlingkup pada bidang Pelayanan Publik (public service), Pengajaran (teaching), Hukum (law), dan Manajemen Non Profit (nonprofit management) [31].
Menurut J.G. Fergusson, karir dalam bidang politik bagi lulusan Ilmu Politik adalah Duta Besar, Pekerja Kampanye, Manajer Kota, Pejabat Federal dan Negara, Pejabat Luar Negeri, Pengumpul Dana, Penafsir dan Penerjemah, Pengacara dan Hakim, Pelobi, Penulis dan Kolumnis Politik, Reporter Politik, Ilmuwan Politik, Penulis Pidato Politik, Konsultan Politik, Pejabat Daerah dan Wilayah, serta Perencana Regional dan Perkotaan [32].
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
Ilmu politik tidak benar-benar bersifat independen (berdiri secara bebas). Ilmu politik juga dipengaruhi oleh ilmu lain. Pengaruh ini dapat dilihat dari konsep-konsep (gagasan) dari ilmu-ilmu lain tersebut yang dipakai dalam studi politik. Di bawah ini hanya akan diajukan contoh pengaruh dari ilmu sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat, antropoloogi, teologi (ilmu ketuhanan) dan ilmu jurnalistik serta para praktisi politik [33]:

Meskipun dipinjam, konsep-konsep tersebut di atas telah terinternalisasi dengan baik sehingga menjadi konsep-konsep mapan di dalam ilmu politik. Beberapa konsep dari yag disebut di atas akan kembali kita temui dalam materi-materi Pengantar Ilmu Politik selanjutnya.
Sub-sub Disiplin Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan ilmu politik, yaitu [34]:
1. Ilmu Politik (Political Science)
Bidang ini membahas bagaimana politik dapat dianggap sebagai bidang ilmu tersendiri, sejarah ilmu politik, dan hubungan ilmu politik dengan ilmu-ilmu sosial lain.
2. Lembaga-lembaga Politik
Bidang ini mempelajari lembaga-lembaga politik formal yang mencakup : sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dewan legislatif, struktur pemerintahan, otoritas sentral, sistem peradilan, pemerintahan lokal, pelayanan sipil, serta angkatan bersenjata.
3. Tingkah Laku Politik
Bidang ini mempelajari tingkah laku politik bukan hanya aktor dan lembaga politik formal, tetapi juga aktor dan lembaga politik informal. Misalnya mempelajari perilaku pemilih dalam 'mencoblos' suatu partai dalam Pemilu, bagaimana sosialisasi politik yang dilakukan dalam suatu sekolah, bagaimana seorang atau sekelompok kuli panggul memandang presiden di negara mereka.
4. Politik Perbandingan
Politik perbandingan adalah suatu subdisiplin ilmu politik yang mempelajari: (1) Perbandingan sistematis antarnegara, dengan maksud untuk mengidentifikasi serta menjelaskan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan yang ada di antara negara yang diperbandingkan. (2) Suatu metode riset soal bagaimana membangun suatu standar, aturan, dan bagaiana melakukan analisis atas perbandingan yang dilakukan.
5. Administrasi dan Kebijakan Publik
Subdisiplin ini mempelajari rangkuman aktivitas pemerintah, baik secara langsung atau tidak langsung (melalui agen), di mana aktivitas ini mempengaruhi kehidupan warganegara.
6. Ekonomi Politik
Sub disiplin ini menekankan pada peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi akibat keterkaitannya dengan masalah politik. Kajian ekonomi politik biasanya berlangsung pada penentuan desain sistem ekonomi suatu negara oleh pemerintahnya, politik pemberian bantuan suatu lembaga atau negara satu kepada negara lain, ataupun proses tarik-menarik penentuan anggaran pendapatan dan biaya suatu negara.
7. Hubungan Internasional
Bidang ini mempelajari politik internasional, politik luar negeri, hukum internasional, konflik internasional, serta organisasi-organisasi internasional. Singkatnya, segala aktivitas politik yang melampaui batas yuridiksi wilayah satu atau lebih negara.
8. Teori Politik
Bidang ini secara khusus membahas pembangunan konsep-konsep baru dalam ilmu politik. Misalnya mengaplikasikan peminjaman konsep-konsep dari ilmu sosial lain guna diterapkan dalam ilmu politik. Konsep-konsep yang dibangun oleh subdisiplin Teori Politik nantinya digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena politik yang ada. Misalnya, saat ini ilmu politik telah mengaplikasi suatu teori baru yaitu FEMINISM THEORY. Teori ini digunakan untuk menjelaskan fenomena maraknya gerakan-gerakan perempuan di hampir seluruh belahan dunia. Atau, untuk menjelaskan politik "menutup" diri Jepang dan Amerika Serikat (sebelum Perang Dunia I), diterapkan teori ISOLASIONISME (pinjaman dari bahasa jurnalistik).
9. Metodologi Politik
Subdisiplin ini khusus mempelajari paradigma (metodologi) serta metode-metode penelitian yang diterapkan dalam ilmu politik. Apakah pendekatan kualitatif atau kuantitatif yang akan digunakan dalam suatu penelitian, masuk ke dalam subdisiplin ini. Demikian pula aneka ragam uji statistik (dalam tradisi behavioral analysis) yang digunakan untuk menganalisis data.
[01] Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
[02] Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
[03] Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today : A World View, Eigth Edition, (Delhi : Dorling Kindersley Publishing, Inc., 2004) p. 2.
[04] Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics : A Study of the Origins of Political Thought in the Makkan Verses (London : The International Institute of Islamic Thought, 2004) p. 2
[05] Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2002) p.7-12.
[06] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
[07] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
[08] Richard Bellamy and Andrew Mason, eds., Political Concepts, (Manchester : Manchester University Press, 2003).
[09] ibid., p.2.
[10] Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
[11] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
[12] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001). Skema pemikiran politik Plato, Aristoteles, Abad Pertengahan dan Abad Pencerahan mengacu pada sumber ini.
[13] Mogens Herman Hansen, POLIS: An Introduction to the Greek City-States (New York : Oxford University Press, 2006) p.110-1.
[14] J.H. Rapar, Filsafat …op.cit. h.158-184.
[15] Aristoteles ini juga merupakah guru filsafat, kebijakan, dan politik bagi Alexander the Great atau Iskandar Agung, penakluk dari Macedonia yang amat menghormati kebudayaan dan kebiasan yang berlaku di masyarakat wilayah taklukannya. Banyak penduduk wilayah taklukan Iskandar yang lebih memilih untuk dipimpin olehnya tinimbang penguasa asli mereka.
[16] Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001).
[17] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968), p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar) dapat dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli : Il Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
[18] David Robertson, The Routledge Dictionary of Politics, Third Edition (New York: Routledge, 2002) p.292.
[19] ibid.,. p. 225.
[20] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
[21] David Robertson, The Routledge ..., op.cit., p. 313.
[22] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
[23] Mark C. Miller, “NeoInstitutionalisme” dalam John T. Ishiyama and Marijke Breuning, eds., 21st Century Political Science : A Reference Handbook (California : Sage Publications, Inc., 2011) pp. 22-8.
[24] S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102
[25] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
[26] Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
[27] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
[28] ibid., p.195-6.
[29] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. p.5.
[30] Ronald H. Chilcote, op.cit., p..290-1.
[31] Mark Rowth, Great Jobs for Political Science Majors, 2nd Edition (New York : McGraw-Hill, 2003).
[32] I.J.G. Fergusson, Fergusson’s Career in Focus: Politics (New York: Fact on File, 2005).
[33] Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., p.103.
[34] Bidang-bidang ini merujuk pada Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit.. Seluruh bab.
Andrew Heywood sekurangnya mengajukan 4 asumsi tatkala kata “politik” diucapkan oleh si pengucap dan dipersepsikan oleh si pendengar. Keempat asumsi ini sama-sama diyakini merupakan konteks situasi tatkala kata politik disebutkan kendati memiliki obyek kajian yang berbeda. Keempat asumsi tersebut adalah [05]:
1. Politik sebagai Seni Pemerintahan
Artinya, politik adalah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini adalah yang paling tua dan telah berkembang sejak masa Yunani Kuno.
2. Politik sebagai hubungan publik
Aristoteles dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa manusia adalah binatang politik. Maknanya, secara kodrati manusia hanya dapat memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.” Kedua lingkup tersebut diperbesar menjadi State (kembangan publik) dan Civil Society (kembangan privat). Dalam “state” terletak institusi seperti pengadilan, aparat pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya, sementara dalam “civil society” terletak institusi seperti keluarga, paguyuban, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub, komunitas, dan sejenisnya.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks hubungan “state-civil society” inilah asumsi kedua politik diletakkan.
3. Politik sebagai kompromi dan konsensus
Sharing atau pembagian kekuasaan adalah asumsi politik sebagai kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing memoderasi tuntutan agar tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara bilamana masalah pergesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas “meja” bukan pertumpahan darah.
4. Politik sebagai kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti kehendaknya. Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk adalah kekuasaan sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu masyarakat. Dalam asumsi ini, politik dilihat sebagai penggunaan “kapital” (yaitu kekuasaan) dalam konteks produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya tersebut.
Ilmu Politik
Dengan luasnya cakupan, dapatkah politik dikatakan sebagai suatu ilmu layaknya ilmu Biologi, Fisika, atau Ekonomi? Jawabannya adalah bisa. Namun, sebelumnya kita harus ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu.
Ilmu adalah "pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis, obyektif, dan umum." Metodis artinya menggunakan metode, cara, jalan yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu yang dibicarakan. Sistematis artinya masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pengetahuan yang rasional. Obyektif artinya kebenaran dari hasil pemikiran dari suatu bidang dapat memperoleh bobot obyektif (sesuai kenyataan), tidak lagi bersifat subyektif (menurut pemikiran sendiri). Dan akhirnya, Umum, artinya tingkat kebenaran yang mempunyai bobot obyektif tersebut dapat berlaku umum, di mana saja dan kapan saja [06].
Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Sebelum kita bicarakan pengetahuan, sedikit terlebih dahulu disinggung 3 konsep filsafat ilmu yang menyatakan bahwa ilmu memiliki aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara sederhana, ontologi adalah ilmu tentang hakikat sesuatu atau benda/hal/aspek apa yang dikaji. Epistemologi adalah ilmu tentang bagaimana "ontologi" itu dipelajari, dibangun. Aksiologi adalah untuk apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan aspek-aspek khas ilmu, apapun bentuknya.
Pengetahuan adalah "apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui … tanpa memperhatikan obyek, cara, dan kegunaannya[07]." Kita tahu bahwa sepeda beroda dua, manusia hidup mengalir darah dalam tubuhnya, sinar matahari adalah panas, atau pemerintah menerapkan kebijakan wajib belajar. Namun, kita sekadar tahu tanpa mendalami apa itu, bagaimana darah mengalir, ke mana dan untuk apa ? Atau, bagaimana sepeda yang cuma beroda dua tersebut dapat dikayuh seseorang dengan seimbang? Atau, bagaimana proses terjadinya keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar?
Dengan kalimat lain, berlainan dengan ilmu, pengetahuan tidak berbicara mengenai aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu obyek. Pengetahuan relatif tercerai-berai sementara ilmu relatif tersusun secara teratur. Ilmu dapat menambah pengetahuan, sementara pengetahuan disistematisasikan oleh ilmu.
Ontologi Ilmu Politik
Aspek ontologi ilmu ekonomi misalnya adalah barang dan jasa. Aspek ontologi ilmu sosial (sosiologi) adalah kekerabatan antarmanusia, dan aspek ontologi ilmu fisika adalah materi serta gas. Ontologi berarti obyek-obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu. Lalu, bagaimana dengan ilmu politik sendiri ?
Secara ontologis, politik juga memiliki obyek-obyek kajian yang spesifik. Miriam Budiardjo menyebutkan sekurang-kurangnya ada 5 obyek ontologis ilmu politik, yaitu :
1. Negara (state) organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
2. Kekuasaan (power) kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
3. Pengambilan keputusan (decision-making) keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif pengambilan keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu dicapai.
4. Kebijaksanaan umum (public policy) kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat kebijakan memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya.
5. Pembagian (distribution) pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang berharga (misalnya keadilan, kesejahteraan, keamanan, pendidikan, keagamaan). Pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik, baik antar masyarakat di dalam negara ataupun antar negara.
Namun, ontologi politik ini terus berkembang seiring dengan pertambahan wacana, kompleksitas persoalan, dan perbedaan persepsi di kalangan teoretisi (akademisi) dan warganegara biasa seputar masalah politik.
Perkembangan ini dirangkum oleh serangkaian tulisan yang dieditori oleh Richard Bellamy dan Andrew Mason [08]. Sebagai sebuah konsep, demikian Bellamy and Mason, politik memiliki dimensi yang cukup luas dan tidak mungkin dirangkum seluruhnya. Namun, keduanya berupaya merangkum ontologi politik (konsepnya) ke dalam 4 dimensi yaitu:
Dengan luasnya cakupan, dapatkah politik dikatakan sebagai suatu ilmu layaknya ilmu Biologi, Fisika, atau Ekonomi? Jawabannya adalah bisa. Namun, sebelumnya kita harus ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu.
Ilmu adalah "pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis, obyektif, dan umum." Metodis artinya menggunakan metode, cara, jalan yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu yang dibicarakan. Sistematis artinya masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pengetahuan yang rasional. Obyektif artinya kebenaran dari hasil pemikiran dari suatu bidang dapat memperoleh bobot obyektif (sesuai kenyataan), tidak lagi bersifat subyektif (menurut pemikiran sendiri). Dan akhirnya, Umum, artinya tingkat kebenaran yang mempunyai bobot obyektif tersebut dapat berlaku umum, di mana saja dan kapan saja [06].
Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Sebelum kita bicarakan pengetahuan, sedikit terlebih dahulu disinggung 3 konsep filsafat ilmu yang menyatakan bahwa ilmu memiliki aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara sederhana, ontologi adalah ilmu tentang hakikat sesuatu atau benda/hal/aspek apa yang dikaji. Epistemologi adalah ilmu tentang bagaimana "ontologi" itu dipelajari, dibangun. Aksiologi adalah untuk apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan aspek-aspek khas ilmu, apapun bentuknya.
Pengetahuan adalah "apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui … tanpa memperhatikan obyek, cara, dan kegunaannya[07]." Kita tahu bahwa sepeda beroda dua, manusia hidup mengalir darah dalam tubuhnya, sinar matahari adalah panas, atau pemerintah menerapkan kebijakan wajib belajar. Namun, kita sekadar tahu tanpa mendalami apa itu, bagaimana darah mengalir, ke mana dan untuk apa ? Atau, bagaimana sepeda yang cuma beroda dua tersebut dapat dikayuh seseorang dengan seimbang? Atau, bagaimana proses terjadinya keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar?
Dengan kalimat lain, berlainan dengan ilmu, pengetahuan tidak berbicara mengenai aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu obyek. Pengetahuan relatif tercerai-berai sementara ilmu relatif tersusun secara teratur. Ilmu dapat menambah pengetahuan, sementara pengetahuan disistematisasikan oleh ilmu.
Ontologi Ilmu Politik
Aspek ontologi ilmu ekonomi misalnya adalah barang dan jasa. Aspek ontologi ilmu sosial (sosiologi) adalah kekerabatan antarmanusia, dan aspek ontologi ilmu fisika adalah materi serta gas. Ontologi berarti obyek-obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu. Lalu, bagaimana dengan ilmu politik sendiri ?
Secara ontologis, politik juga memiliki obyek-obyek kajian yang spesifik. Miriam Budiardjo menyebutkan sekurang-kurangnya ada 5 obyek ontologis ilmu politik, yaitu :
1. Negara (state) organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
2. Kekuasaan (power) kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
3. Pengambilan keputusan (decision-making) keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif pengambilan keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu dicapai.
4. Kebijaksanaan umum (public policy) kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat kebijakan memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya.
5. Pembagian (distribution) pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang berharga (misalnya keadilan, kesejahteraan, keamanan, pendidikan, keagamaan). Pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik, baik antar masyarakat di dalam negara ataupun antar negara.
Namun, ontologi politik ini terus berkembang seiring dengan pertambahan wacana, kompleksitas persoalan, dan perbedaan persepsi di kalangan teoretisi (akademisi) dan warganegara biasa seputar masalah politik.
Perkembangan ini dirangkum oleh serangkaian tulisan yang dieditori oleh Richard Bellamy dan Andrew Mason [08]. Sebagai sebuah konsep, demikian Bellamy and Mason, politik memiliki dimensi yang cukup luas dan tidak mungkin dirangkum seluruhnya. Namun, keduanya berupaya merangkum ontologi politik (konsepnya) ke dalam 4 dimensi yaitu:
- dimensi kebijakan dan institusi yang terdiri atas Kebebasan (Liberty), Hak (Rights), dan Keadilan Sosial (social justice);
- lingkungan dalam negeri dan fungsi negara yang terdiri atas Kewajiban Politik (political obligation), nasionalisme dan negara (nationalism and the state), kejahatan dan hukuman (crime and punishment), kesejahteraan dan pengecualian sosial (welfare and social exclusion), legitimasi (legitimacy), demokrasi (democracy), dan aturan hukum (rule of the law);
- hubungan negara dengan masyarakat sipil yang terdiri atas publik dan privat (public and private), komunitas (community), multikulturalisme, dan gender; serta
- masalah global dan hubungan antarnegara yang terdiri atas teori green politics, keadilan internasional, dan perang yang berkeadilan (justice war) [09].
Ketujuh belas konsep dalam 4 kategori di atas merupakan konsep yang secara ontologis berkembang dalam wacana politik. Bellamy dan Mason berupaya melepaskan diri dari kebiasan umum yang berkembang dalam studi politik yang biasanya menekankan pada studi power, institusi, dan kebijakan. Ketujuh belas konsep yang diajukan Bellamy and Mason pun kembali merangkul konsep-konsep yang tadinya dikembangkan pendekatan tradisionalis politik yaitu filsafat politik.
Epistemologi Ilmu Politik
Secara sederhana, Epistemologi berarti bagaimana suatu ilmu dibangun. Dalam membangun suatu ilmu, seseorang ahli teori dibatasi oleh periode hidup serta hal-hal lain yang mempengaruhi pikirannya saat membangun suatu ilmu. Sebagai contoh, pada abad pertengahan, pelajaran mengenai tata surya dipengaruhi suatu kesimpulan umum bahwa matahari mengelilingi bumi. Artinya, pusat dari tata surya adalah bumi, bukan matahari. Namun, pendapat ini berubah tatkala Nicolaus Copernicus melontarkan pendapat bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya. Dengan demikian, pelajaran mengenai sistem tata surya pun berubah.
Dalam ilmu politik, epistemologi ilmu ini diterjemahkan ke dalam konsep PENDEKATAN. Arti dari pendekatan adalah dari sudut mana serta bagaimana seseorang melihat suatu permasalahan. Dalam mendidik anak, cara orang tua biasanya didekati lewat 3 pendekatan: Otoriter, Laissez Faire, dan Demokratis. Jika otoriter, orang tua hanya mau dituruti pendapatnya oleh si anak, jika Laissez Faire cenderung membebaskan/membiarkan, dan jika demokratis akan menjak dialog dua arah.
Berbicara mengenai pendekatan maka kita berada dalam kerangka aspek epistemologi ilmu pengetahuan. Dengan epistemologi, tata urut penemuan suatu pengetahuan akan dapat dilihat. Dalam pertemuan 2 kita telah membahas adanya 3 pendekatan besar dalam ilmu politik yaitu tradisional, behavioral, dan postbehavioral. Ketiga pendekatan tersebut sesungguhnya lebih tertuju kepada aspek historis perkembangan ilmu politik ketimbang memberi suatu penjelasan yang lebih spesifik mengenai bagaimana kita menghampiri suatu fenomena politik.
Pendekatan dapat dianalogikan seperti kisah 5 orang buta yang mengimajinasikan gajah melalui bagian tubuh yang kebetulan mereka pegang. Orang buta pertama yang memegang kakinya menyebut gajah seperti batang kelapa. Orang buta kedua memegang ekor dan menyebut gajah seperti cemeti. Orang buta ketiga memegang telinga dan menyebut gajah seperti kipas besar. Orang buta keempat yang memegang belalai menyebut gajah seperti rotan yang lentur. Orang buta kelima yang memegang perut menyebut gajah seperti batu gunung yang lunak.
Epistemologi Ilmu Politik
Secara sederhana, Epistemologi berarti bagaimana suatu ilmu dibangun. Dalam membangun suatu ilmu, seseorang ahli teori dibatasi oleh periode hidup serta hal-hal lain yang mempengaruhi pikirannya saat membangun suatu ilmu. Sebagai contoh, pada abad pertengahan, pelajaran mengenai tata surya dipengaruhi suatu kesimpulan umum bahwa matahari mengelilingi bumi. Artinya, pusat dari tata surya adalah bumi, bukan matahari. Namun, pendapat ini berubah tatkala Nicolaus Copernicus melontarkan pendapat bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya. Dengan demikian, pelajaran mengenai sistem tata surya pun berubah.
Dalam ilmu politik, epistemologi ilmu ini diterjemahkan ke dalam konsep PENDEKATAN. Arti dari pendekatan adalah dari sudut mana serta bagaimana seseorang melihat suatu permasalahan. Dalam mendidik anak, cara orang tua biasanya didekati lewat 3 pendekatan: Otoriter, Laissez Faire, dan Demokratis. Jika otoriter, orang tua hanya mau dituruti pendapatnya oleh si anak, jika Laissez Faire cenderung membebaskan/membiarkan, dan jika demokratis akan menjak dialog dua arah.
Berbicara mengenai pendekatan maka kita berada dalam kerangka aspek epistemologi ilmu pengetahuan. Dengan epistemologi, tata urut penemuan suatu pengetahuan akan dapat dilihat. Dalam pertemuan 2 kita telah membahas adanya 3 pendekatan besar dalam ilmu politik yaitu tradisional, behavioral, dan postbehavioral. Ketiga pendekatan tersebut sesungguhnya lebih tertuju kepada aspek historis perkembangan ilmu politik ketimbang memberi suatu penjelasan yang lebih spesifik mengenai bagaimana kita menghampiri suatu fenomena politik.
Pendekatan dapat dianalogikan seperti kisah 5 orang buta yang mengimajinasikan gajah melalui bagian tubuh yang kebetulan mereka pegang. Orang buta pertama yang memegang kakinya menyebut gajah seperti batang kelapa. Orang buta kedua memegang ekor dan menyebut gajah seperti cemeti. Orang buta ketiga memegang telinga dan menyebut gajah seperti kipas besar. Orang buta keempat yang memegang belalai menyebut gajah seperti rotan yang lentur. Orang buta kelima yang memegang perut menyebut gajah seperti batu gunung yang lunak.
Masing-masing mereka benar dalam melukiskan gajah, tetapi kebenaran tersebut bersifat relatif yang diakibatkan keterbatasan obyek studinya. Mereka sah dalam melukiskan apa itu gajah, kendati bukan gajah yang komprehensif. Demikian pula dalam ilmu politik, sejumlah ahli punya sudut pandang atas masalah politik secara berbeda.
Di dalam ilmu politik ----sekurang-kurangnya menurut David E. Apter---- terdapat 6 pendekatan dalam memahami fenomena politik. Keenam pendekatan tersebut memiliki pendukung dan karakteristik khasnya masing-masing. Namun, sama seperti masalah gajah tadi, meskipun kelima perspektif tersebut berbeda, tetapi tetap menganalisa satu bidang yaitu gajah. Di dalam politik demikian pula halnya, keenam pendekatan ini sama-sama menganalisa satu bidang, yaitu fenomena politik [10].
Pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam ilmu politik adalah terdiri atas Filsafat Politik, Institusionalisme, Behavioralisme, Pluralisme, Strukturalisme, dan Developmentalisme. Paparan berikutnya akan digunakan untuk merinci masing-masing pendekatan secara satu per satu.
Filsafat Politik
Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif abstrak sebab berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung masalah moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
A. Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi arahan yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan ---menurut Plato--- adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin[11]. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga dilarang untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dilarang berkeluarga, wanita dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga 'disapih' sejak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan mampu memahami melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh sebab filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari pamrih. Sebab itu dapat dikatakan bahwa sumber kekuasaan adalah PENGETAHUAN yang dicapai melalui pendidikan.
Pemikiran Plato mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut [12]:
Penguasa menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingan umum sebagai hasil dari kecerdasan mereka. Kepentingan umum sebaliknya, merupakan pemenuhan setiap potensi-pontesi yang ada pada diri individu. Otoritas akan dijalankan oleh filosof-raja yang memerintah untuk menegakkan keadilan. Keadilan diberikan kepada rakyat untuk diselenggarakan pada pemenuhan potensi-potensi yang dicapai melalui pekerjaan. Pekerjaan akhirnya akan menghasilkan sumber-sumber yang perlu untuk otoritas.
Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia adalah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (binatang politik), sebab manusia tidak dapat berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa bantuan orang lain. Sebab itu, manusia harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan demikian, tugas negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan pembentukan suatu negara bernama POLITEIA (negara yang berkonstitusi).
Politeia adalah konsep yang diajukan Aristoteles dalam tulisannya Athenaion Politeia. Mogens Herman Hansen mengungkapkan bahwa Aristoteles membicarakan Politeia tatkala ia tengah membicara Polis [13]. Menurut Hansen, polis dipahami sebagai komunitas (koinonia) warganegara (politai) yang menggunakan konstitusi (politeia). Kata "Politeia" sendiri awalnya berarti "kewarganegaraan" dalam pengertian abstrak, misalnya menjadi warganegara suatu polis.
Atas dasar ini, kata Politeia punya 2 pengertian: (1) Secara konkrit, kata politeia dapat diartikan sebagai badan-badan warganegara secara keseluruhan; dan (2) Secara abstrak politeia diartikan sebagai struktur politik lembaga warganegara, sehingga kerap diterjemahkan sebagai "bentuk pemerintah" atau "konstitusi" [ahli ilmu politik modern kerap menyamakannya sebagai sistem politik]. Pemimpin negara adalah orang yang ahli dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanya duduk di 'menara gading.' Sumber kekuasaan dalam Politeia adalah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang agar suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah[14]. Artinya, bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama seperti organisme: Ia mampu berkembang dan mati.
Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut ini :
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi campuran yang merupakan aturan dasar kehidupan bernegara[15]. Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara praktis diturunkan ke dalam bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan pilihan-pilihan baru bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke dalam bentuk konstitusi campuran.
B. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther) [16]
Santo Agustinus (13 Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah negara yang jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya.
Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan. Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Magnum opus Aquinas adalah Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang hidup di dunia.
Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan hukum Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselenggaranya kepentingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhak untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang mampu menjamin stabilitas setelah si penguasa tiran tersebut digulingkan."
Martin Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517 Luther memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, misalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga mulai prihatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
Secara umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum teokrasi (pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara sederhana, dapat dirangkum ke dalam bagan berikut :
Wahyu turun dari Tuhan. Dari wahyu muncul nalar, dan dari nalar tampil hukum alam yang bersifat pasti sehingga memunculkan hukum-hukum positif. Dari hukum alam pula lahir hukum praktis yang mengatur harta benda, warisan, dinas militer, dan kewajiban-kewajiban lain. Hukum praktis ini dibuat oleh rakyat dan disebut hukum positif, yaitu hukum yang menunjukkan apa apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Hukum ini dimaksudkan demi menciptakan kejayaan (grace).
C. Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M) [17]
Dalam magnum opus-nya Il Principe (Sang Pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Il Principe didedikasikan Machiavelli bagi patron politiknya Duke Lorenzo di Piero de’ Medici. Il Principe utamanya menunjukkan bagaimana cara memimpin kota-kota Italia. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.
Tulisan-tulisan Machiavelli yang bernada lebih “positif” dan “bermoral” di mana ia menunjukkan cara bagaimana raja “mendengarkan” suara rakyat dimuat dalam bukunya yang berjudul The Discourse on the First Ten Books of Livy. Dalam buku ini, Machiavelli menunjukkan komitmennya pada negara Republik. Kendati demikian, ia tetap percaya bahwa pemimpin tunggal (raja) tetaplah penting dalam mendirikan dan mereformasi negara. Discourse sekaligus berisikan sejarah politik Italia.
Secara umum, baik dalam Il Principe maupun Discourse, Machiavelli menunjukkan metode-metode praktis berpolitik. Ini berbeda dengan karya-karya filosof politik sebelumnya yang lebih menyodorkan gagasan ideal. Machiavelli menunjukkan cara menggunakan power guna mencapai tujuan, dengan memanfaatkan teknik dan sumber daya yang tersedia. Saran Machiavelli tampak lebih punya nilai guna bagi sementara politisi ketimbang pertanyaan-pertanyaan moral dan filosofis para filosof lain[18].
Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah Leviathan. Leviathan ditulis Hobbes kala Inggris berada dalam Perang Sipil. Buku tersebut coba membangun fundasi sistem sosial yang diyakini akan stabil dan mampu meminimalisasi bahaya anarki dan ketiadaan hukum. Anarki dan ketiadaan hukum ini adalah bahaya yang selalu mengancam bagi seluruh masyarakat[19].
Hobbes masuk ke dalam perintis pendekatan kontrak sosial dalam pemerintahan. Ini terlihat dari konsepnya mengenai “state of nature” atau keadaan alamiah manusia. Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri 'buas' atau “jahat” di dalam dirinya. Karena manusia adalah serigala bagi sesamanya, maka situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara dengan pemimpin yang kuat dan menyeramkan seperti Leviathan guna menciptakan stabilitas dan kedamaian. Negara harus memaksakan stabilitas dan kedamaian tersebut.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawab, "Tidak mungkin raja menyeleweng, sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M)
Magnum opus-nya John Locke adalah Two Treatises of Government. Menurut Locke, manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi dan ia akan mendorong manusia kembali ke perilaku asalnya, yaitu baik.
Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes dalam memandang kekuasaan. Jika Hobbes cenderung pada kekuasaan mutlak seorang raja dan raja tidak akan menyeleweng karena ia dibimbing oleh hukum moral di dalam dirinya, maka Locke memandang bahwa kekuasaan harus dibatasi dan dipisahkan. Tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu :
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil “rakyat” yang membuat undang-undang. Namun, konsep “rakyat” dalam pemikiran John Locke bukan meliputi seluruh warganegara melainkan kaum pemilik dan juga bangsawan. Rakyat “kecil” tidak termasuk warga yang perlu diwakili dalam pemikirannya.
Montesquieu (1689-1755 M)
Magnum opus dari Montesquieu (Charles-Louise de Secondat Montesquieu) adalah The Spirit of the Laws, buku yang dituliskan tahun 1748. Buku ini terdiri atas 31 buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut :
Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU). Konsep Montesquieu ini bisa disebut sebagai verifikasi atas pemikiran pemisahan kekuasaan dari John Locke. Pemikiran trias politika yang kini mainstream dalam konsep di negara-negara demokrasi saat ini utamanya berkembang dari pemikiran Montesquieu ini.
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M)
Tokoh ini dinyatakan sebagai salah satu inspirator Revolusi Perancis. Rousseau juga menjadi inspirator gerakan demokrasi partisipatoris. Magnum opus Rousseau adalah The Social Contract. Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada sebuah kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara (juga pemerintahannya) berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai aspirasi masyarakat luas. Namun, uniknya dalam menjalankan mekanisme perwakilan sehari-hari, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan langsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentingan-kepentingan politiknya pada seseorang atau sekelompok orang (misalnya partai-partai dan wakil-wakil rakyat), tetapi mereka melakukannya sendiri di kehidpan publik. Itulah sebabnya disebut sebagai demokrasi langsung. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain dan langsung menyampaikan apa yang harus diperbuat oleh negara.
Pemikiran Rousseau benar secara substansi, tetapi tidak praktis untuk dijalankan. Bisa dibayangkan bagaimana suatu negara dengan jumlah penduduk puluhan atau ratusan juta menjalankan demokrasi langsung Rousseau ini. Akhirnya, demokrasi perwakilan menjadi mekanisme yang lebih realistis ketimbang demokrasi langsung. Namun, demokrasi perwakilan memiliki bahaya distorsi kepentingan “rakyat” menjadi sekadar kepentingan “wakil rakyat” atau kepentingan partai-partai politik.
Secara umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan dapat dilihat pada bagan berikut :
Hal paling penting dalam tradisi pencerahan adalah hak-hak individu manusia (bukan Tuhan atau masyarakat). Untuk menjamin terselenggaranya hak tersebut, mereka memberi dukungan pada seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur mereka. Dukungan melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan demi menjaga stabilitas dan ketertiban agar setiap individu mampu menikmati hak-hak mereka dengan rasa aman.
D. Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya The Phenomenology of Mind. Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide Mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Konsep Ide Mutlak Hegel ini mirip dengan konsep Akal Semesta seperti yang sebelumnya pernah diutarakan oleh filsuf-filsuf Islam di antaranya Ibnu Rusyd (Averroes). Hanya saja, jika Averroes berakhir pada Tuhan, Hegel berakhir pada negara. Sebab itu, pandangan Hegel lebih bercorak materialistik.
Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang kepentingan yang terakhir. Rasionalitas manusia dapat diukur lewat apa yang mereka kreasi lewat negara.
Karl Heinrich "Moses Mordecai" Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya. Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat [20].
Marx, selaku individu, banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial Jerman dari pendahulunya, Hegel. Konsep dialektika Hegel diterapkan oleh Marx dalam analisis-analisis sosialnya. Namun, Marx berbeda dengan “gurunya” yang beranggapan negara adalah hasil dialektika tertinggi. Marx berujar bahwa negara bukanlah bentuk tertinggi dialektika. Negara adalah bentuk antara menjelang terciptanya masyarakat komunis. Sebab itu, konsep “the withering of the state” (berangsur-angsur menghilangnya negara) sangat mengemuka dalam tulisan-tulisan Karl Marx.
Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah seperti yang diharapkan oleh Marx. Banyak negara-negara komunis seperti Uni Sovyet, Cina, Kuba, Korea Utara, ataupun Vietnam tidak juga beranjak menjadi masyarakat komunis yang diharapkan Marx. Negara-negara komunis tetap stagnan dalam fase negara. Negara-negara tersebut tidak menghilang melainkan tetap ada. Bahkan salah satu negara yaitu Uni Sovyet justru mengalami kebangkrutan dan pecahan-pecahannya kembali berproses menjadi negara-negara kapitalistik.
John Stuart Mill
Magnum opusnya On Liberty. Mill adalah pengikut Jeremy Bentham, rekan John Mill, ayah Stuart Mill. Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greatest Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Pada On Liberty , Mill menyatakan pembenaran satu-satunya keterlibatan pemerintah ke dalam kehidupan pribadi warganegara adalah demi mencegah mereka menyakiti orang lain. Selain itu, pemerintah (bagi Mill) sama sekali tidak berhak menentukan apa yang baik bagi individu dalam masyarakat karena mereka tidak tahu. Mill juga merambah konsep Tirani Mayoritas, suatu kondisi di mana masyarakat melakukan pemaksaan atas individu yang tidak berkompromi terhadap mereka [21].
Di dalam ilmu politik ----sekurang-kurangnya menurut David E. Apter---- terdapat 6 pendekatan dalam memahami fenomena politik. Keenam pendekatan tersebut memiliki pendukung dan karakteristik khasnya masing-masing. Namun, sama seperti masalah gajah tadi, meskipun kelima perspektif tersebut berbeda, tetapi tetap menganalisa satu bidang yaitu gajah. Di dalam politik demikian pula halnya, keenam pendekatan ini sama-sama menganalisa satu bidang, yaitu fenomena politik [10].
Pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam ilmu politik adalah terdiri atas Filsafat Politik, Institusionalisme, Behavioralisme, Pluralisme, Strukturalisme, dan Developmentalisme. Paparan berikutnya akan digunakan untuk merinci masing-masing pendekatan secara satu per satu.
Filsafat Politik
Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif abstrak sebab berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung masalah moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
A. Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi arahan yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan ---menurut Plato--- adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin[11]. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga dilarang untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dilarang berkeluarga, wanita dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga 'disapih' sejak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan mampu memahami melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh sebab filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari pamrih. Sebab itu dapat dikatakan bahwa sumber kekuasaan adalah PENGETAHUAN yang dicapai melalui pendidikan.
Pemikiran Plato mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut [12]:

Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia adalah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (binatang politik), sebab manusia tidak dapat berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa bantuan orang lain. Sebab itu, manusia harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan demikian, tugas negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan pembentukan suatu negara bernama POLITEIA (negara yang berkonstitusi).
Politeia adalah konsep yang diajukan Aristoteles dalam tulisannya Athenaion Politeia. Mogens Herman Hansen mengungkapkan bahwa Aristoteles membicarakan Politeia tatkala ia tengah membicara Polis [13]. Menurut Hansen, polis dipahami sebagai komunitas (koinonia) warganegara (politai) yang menggunakan konstitusi (politeia). Kata "Politeia" sendiri awalnya berarti "kewarganegaraan" dalam pengertian abstrak, misalnya menjadi warganegara suatu polis.
Atas dasar ini, kata Politeia punya 2 pengertian: (1) Secara konkrit, kata politeia dapat diartikan sebagai badan-badan warganegara secara keseluruhan; dan (2) Secara abstrak politeia diartikan sebagai struktur politik lembaga warganegara, sehingga kerap diterjemahkan sebagai "bentuk pemerintah" atau "konstitusi" [ahli ilmu politik modern kerap menyamakannya sebagai sistem politik]. Pemimpin negara adalah orang yang ahli dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanya duduk di 'menara gading.' Sumber kekuasaan dalam Politeia adalah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang agar suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah[14]. Artinya, bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama seperti organisme: Ia mampu berkembang dan mati.
Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut ini :

B. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther) [16]
Santo Agustinus (13 Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah negara yang jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya.
Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan. Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Magnum opus Aquinas adalah Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang hidup di dunia.
Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan hukum Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselenggaranya kepentingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhak untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang mampu menjamin stabilitas setelah si penguasa tiran tersebut digulingkan."
Martin Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517 Luther memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, misalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga mulai prihatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
Secara umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum teokrasi (pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara sederhana, dapat dirangkum ke dalam bagan berikut :

C. Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M) [17]
Dalam magnum opus-nya Il Principe (Sang Pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Il Principe didedikasikan Machiavelli bagi patron politiknya Duke Lorenzo di Piero de’ Medici. Il Principe utamanya menunjukkan bagaimana cara memimpin kota-kota Italia. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.
Tulisan-tulisan Machiavelli yang bernada lebih “positif” dan “bermoral” di mana ia menunjukkan cara bagaimana raja “mendengarkan” suara rakyat dimuat dalam bukunya yang berjudul The Discourse on the First Ten Books of Livy. Dalam buku ini, Machiavelli menunjukkan komitmennya pada negara Republik. Kendati demikian, ia tetap percaya bahwa pemimpin tunggal (raja) tetaplah penting dalam mendirikan dan mereformasi negara. Discourse sekaligus berisikan sejarah politik Italia.
Secara umum, baik dalam Il Principe maupun Discourse, Machiavelli menunjukkan metode-metode praktis berpolitik. Ini berbeda dengan karya-karya filosof politik sebelumnya yang lebih menyodorkan gagasan ideal. Machiavelli menunjukkan cara menggunakan power guna mencapai tujuan, dengan memanfaatkan teknik dan sumber daya yang tersedia. Saran Machiavelli tampak lebih punya nilai guna bagi sementara politisi ketimbang pertanyaan-pertanyaan moral dan filosofis para filosof lain[18].
Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah Leviathan. Leviathan ditulis Hobbes kala Inggris berada dalam Perang Sipil. Buku tersebut coba membangun fundasi sistem sosial yang diyakini akan stabil dan mampu meminimalisasi bahaya anarki dan ketiadaan hukum. Anarki dan ketiadaan hukum ini adalah bahaya yang selalu mengancam bagi seluruh masyarakat[19].
Hobbes masuk ke dalam perintis pendekatan kontrak sosial dalam pemerintahan. Ini terlihat dari konsepnya mengenai “state of nature” atau keadaan alamiah manusia. Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri 'buas' atau “jahat” di dalam dirinya. Karena manusia adalah serigala bagi sesamanya, maka situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara dengan pemimpin yang kuat dan menyeramkan seperti Leviathan guna menciptakan stabilitas dan kedamaian. Negara harus memaksakan stabilitas dan kedamaian tersebut.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawab, "Tidak mungkin raja menyeleweng, sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M)
Magnum opus-nya John Locke adalah Two Treatises of Government. Menurut Locke, manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi dan ia akan mendorong manusia kembali ke perilaku asalnya, yaitu baik.
Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes dalam memandang kekuasaan. Jika Hobbes cenderung pada kekuasaan mutlak seorang raja dan raja tidak akan menyeleweng karena ia dibimbing oleh hukum moral di dalam dirinya, maka Locke memandang bahwa kekuasaan harus dibatasi dan dipisahkan. Tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu :
- Legislatif (pembuat UU)
- Eksekutif (pelaksana UU)
- Federatif (hubungan dengan luar negeri) ---- sementara dipegang eksekutif.
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil “rakyat” yang membuat undang-undang. Namun, konsep “rakyat” dalam pemikiran John Locke bukan meliputi seluruh warganegara melainkan kaum pemilik dan juga bangsawan. Rakyat “kecil” tidak termasuk warga yang perlu diwakili dalam pemikirannya.
Montesquieu (1689-1755 M)
Magnum opus dari Montesquieu (Charles-Louise de Secondat Montesquieu) adalah The Spirit of the Laws, buku yang dituliskan tahun 1748. Buku ini terdiri atas 31 buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut :
- hukum secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
- pengaturan militer dan pajak
- ketergantugan adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
- perekonomian.
- agama
- uraian tentang hukum Romawi, Perancis, dan Feodalisme.
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M)
Tokoh ini dinyatakan sebagai salah satu inspirator Revolusi Perancis. Rousseau juga menjadi inspirator gerakan demokrasi partisipatoris. Magnum opus Rousseau adalah The Social Contract. Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada sebuah kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara (juga pemerintahannya) berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai aspirasi masyarakat luas. Namun, uniknya dalam menjalankan mekanisme perwakilan sehari-hari, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan langsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentingan-kepentingan politiknya pada seseorang atau sekelompok orang (misalnya partai-partai dan wakil-wakil rakyat), tetapi mereka melakukannya sendiri di kehidpan publik. Itulah sebabnya disebut sebagai demokrasi langsung. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain dan langsung menyampaikan apa yang harus diperbuat oleh negara.
Pemikiran Rousseau benar secara substansi, tetapi tidak praktis untuk dijalankan. Bisa dibayangkan bagaimana suatu negara dengan jumlah penduduk puluhan atau ratusan juta menjalankan demokrasi langsung Rousseau ini. Akhirnya, demokrasi perwakilan menjadi mekanisme yang lebih realistis ketimbang demokrasi langsung. Namun, demokrasi perwakilan memiliki bahaya distorsi kepentingan “rakyat” menjadi sekadar kepentingan “wakil rakyat” atau kepentingan partai-partai politik.
Secara umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan dapat dilihat pada bagan berikut :

D. Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya The Phenomenology of Mind. Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide Mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Konsep Ide Mutlak Hegel ini mirip dengan konsep Akal Semesta seperti yang sebelumnya pernah diutarakan oleh filsuf-filsuf Islam di antaranya Ibnu Rusyd (Averroes). Hanya saja, jika Averroes berakhir pada Tuhan, Hegel berakhir pada negara. Sebab itu, pandangan Hegel lebih bercorak materialistik.
Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang kepentingan yang terakhir. Rasionalitas manusia dapat diukur lewat apa yang mereka kreasi lewat negara.
Karl Heinrich "Moses Mordecai" Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya. Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat [20].
Marx, selaku individu, banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial Jerman dari pendahulunya, Hegel. Konsep dialektika Hegel diterapkan oleh Marx dalam analisis-analisis sosialnya. Namun, Marx berbeda dengan “gurunya” yang beranggapan negara adalah hasil dialektika tertinggi. Marx berujar bahwa negara bukanlah bentuk tertinggi dialektika. Negara adalah bentuk antara menjelang terciptanya masyarakat komunis. Sebab itu, konsep “the withering of the state” (berangsur-angsur menghilangnya negara) sangat mengemuka dalam tulisan-tulisan Karl Marx.
Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah seperti yang diharapkan oleh Marx. Banyak negara-negara komunis seperti Uni Sovyet, Cina, Kuba, Korea Utara, ataupun Vietnam tidak juga beranjak menjadi masyarakat komunis yang diharapkan Marx. Negara-negara komunis tetap stagnan dalam fase negara. Negara-negara tersebut tidak menghilang melainkan tetap ada. Bahkan salah satu negara yaitu Uni Sovyet justru mengalami kebangkrutan dan pecahan-pecahannya kembali berproses menjadi negara-negara kapitalistik.
John Stuart Mill
Magnum opusnya On Liberty. Mill adalah pengikut Jeremy Bentham, rekan John Mill, ayah Stuart Mill. Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greatest Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Pada On Liberty , Mill menyatakan pembenaran satu-satunya keterlibatan pemerintah ke dalam kehidupan pribadi warganegara adalah demi mencegah mereka menyakiti orang lain. Selain itu, pemerintah (bagi Mill) sama sekali tidak berhak menentukan apa yang baik bagi individu dalam masyarakat karena mereka tidak tahu. Mill juga merambah konsep Tirani Mayoritas, suatu kondisi di mana masyarakat melakukan pemaksaan atas individu yang tidak berkompromi terhadap mereka [21].
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan. Secara sederhana, pendekatan institusional dapat dilihat pada skema berikut [22]:

Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil. Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
Pada perkembangannya, pendekatan Institusional diverifikasi oleh pendekatannya sejenis yang lebih baru : NeoInstitusionalisme. Metodologi ini berkembang sejak akhir 1980-an. NeoInstitusionalisme mengkombinasikan minat kalangan Tradisionalis dalam mempelajari lembaga-lembaga politik formal seperti dalam pendekatan Institusionalisme, khususnya pada aturan dan struktur formal pada lembaga-lembaga tersebut. Namun, formalisme tersebut dikombinasikan dengan apa yang para Behavioralis pelajari seputar tindakan para aktor politik secara individual.
NeoInstitusionalisme mengeksplorasi bagaimana struktur, peraturan, normal dan budaya lembaga politik membatasi pilihan dan tindakan individual para aktor politik kala mereka jadi bagian dari suatu lembaga politik. Dengan lain perkataan, pendekatan NeoInstitusionalis mengkombinasikan studi mikrolevel atas perilaku individu dengan sensitivitas mikrolevel atas faktor-faktor kelembagaan yang membentuk perilaku tersebut. NeoInstitusional kini menjadi metodologi PostBehavioral paling berpengaruh di Amerika Serikat, bahkan dunia[23].
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laku politik individu. Behavioralisme menganggap individu manusia sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari behavioralisme[24].
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal [25].
Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal [26]. Peneliti lain, yaitu Floyd Hunter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills) [27].
Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik [28]. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaan Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris bukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang 'mendadak' kaya akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington, jika partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul situasi disorder [29]. Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik seperti partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya dalam buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin America.” Bagi Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara 'dunia ketiga' adalah akibat : modal asing, perilaku pemerintah lokal yang korup, dan kaum borjuis negara satelit yang 'manja' pada pemerintahnya. Frank menyarankan agar negara-negara 'dunia ketiga' memutuskan seluruh hubungan dengan negara "maju yang kini mulai dekaden" (Barat) [30].
Aksiologi Ilmu Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu ekonomi pada bagaimana seseorang dapat makmur secara material atau ilmu militer pada penciptaan prajurit-prajurit yang dapat menjamin keamanan negara. Ketiganya adalah aksiologi. Aksiologi adalah guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan nantinya.
Aksiologi ilmu politik adalah untuk memberi "jalan atau cara" yang lebih baik dalam hal negosiasi kepentingan antar kelompok dalam masyarakat. Ilmu politik (menurut Aristoteles) bertujuan untuk "membahagiakan hidup manusia" yang tinggal dalam suatu wilayah yang sama. Aksiologi ilmu politik juga erat berkait dengan 4 asumsi orang tatkala mendengar kata “politik” seperti telah diutarakan oleh Andrew Heywood.
Upaya menerjemahkan kebahagiaan lewat politik, seperti dimaksud Aristoteles, dapat dipenuhi lewat pemilihan karir. Lewat karir-karir yang tersedia dalam ilmu politik, seorang alumni Ilmu Politik mampu mencapai tujuan ilmu politik.
Karir dalam ilmu politik sangat banyak. Penulis akan mengambilnya dari 3 buah buku yang khusus membicarakan karir dalam ilmu politik. Mark Rowth menyebut karir ilmu politik dapat berlingkup pada bidang Pelayanan Publik (public service), Pengajaran (teaching), Hukum (law), dan Manajemen Non Profit (nonprofit management) [31].
Menurut J.G. Fergusson, karir dalam bidang politik bagi lulusan Ilmu Politik adalah Duta Besar, Pekerja Kampanye, Manajer Kota, Pejabat Federal dan Negara, Pejabat Luar Negeri, Pengumpul Dana, Penafsir dan Penerjemah, Pengacara dan Hakim, Pelobi, Penulis dan Kolumnis Politik, Reporter Politik, Ilmuwan Politik, Penulis Pidato Politik, Konsultan Politik, Pejabat Daerah dan Wilayah, serta Perencana Regional dan Perkotaan [32].
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Lain
Ilmu politik tidak benar-benar bersifat independen (berdiri secara bebas). Ilmu politik juga dipengaruhi oleh ilmu lain. Pengaruh ini dapat dilihat dari konsep-konsep (gagasan) dari ilmu-ilmu lain tersebut yang dipakai dalam studi politik. Di bawah ini hanya akan diajukan contoh pengaruh dari ilmu sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat, antropoloogi, teologi (ilmu ketuhanan) dan ilmu jurnalistik serta para praktisi politik [33]:

Sub-sub Disiplin Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam naungan ilmu politik, yaitu [34]:
1. Ilmu Politik (Political Science)
Bidang ini membahas bagaimana politik dapat dianggap sebagai bidang ilmu tersendiri, sejarah ilmu politik, dan hubungan ilmu politik dengan ilmu-ilmu sosial lain.
2. Lembaga-lembaga Politik
Bidang ini mempelajari lembaga-lembaga politik formal yang mencakup : sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dewan legislatif, struktur pemerintahan, otoritas sentral, sistem peradilan, pemerintahan lokal, pelayanan sipil, serta angkatan bersenjata.
3. Tingkah Laku Politik
Bidang ini mempelajari tingkah laku politik bukan hanya aktor dan lembaga politik formal, tetapi juga aktor dan lembaga politik informal. Misalnya mempelajari perilaku pemilih dalam 'mencoblos' suatu partai dalam Pemilu, bagaimana sosialisasi politik yang dilakukan dalam suatu sekolah, bagaimana seorang atau sekelompok kuli panggul memandang presiden di negara mereka.
4. Politik Perbandingan
Politik perbandingan adalah suatu subdisiplin ilmu politik yang mempelajari: (1) Perbandingan sistematis antarnegara, dengan maksud untuk mengidentifikasi serta menjelaskan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan yang ada di antara negara yang diperbandingkan. (2) Suatu metode riset soal bagaimana membangun suatu standar, aturan, dan bagaiana melakukan analisis atas perbandingan yang dilakukan.
5. Administrasi dan Kebijakan Publik
Subdisiplin ini mempelajari rangkuman aktivitas pemerintah, baik secara langsung atau tidak langsung (melalui agen), di mana aktivitas ini mempengaruhi kehidupan warganegara.
6. Ekonomi Politik
Sub disiplin ini menekankan pada peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi akibat keterkaitannya dengan masalah politik. Kajian ekonomi politik biasanya berlangsung pada penentuan desain sistem ekonomi suatu negara oleh pemerintahnya, politik pemberian bantuan suatu lembaga atau negara satu kepada negara lain, ataupun proses tarik-menarik penentuan anggaran pendapatan dan biaya suatu negara.
7. Hubungan Internasional
Bidang ini mempelajari politik internasional, politik luar negeri, hukum internasional, konflik internasional, serta organisasi-organisasi internasional. Singkatnya, segala aktivitas politik yang melampaui batas yuridiksi wilayah satu atau lebih negara.
8. Teori Politik
Bidang ini secara khusus membahas pembangunan konsep-konsep baru dalam ilmu politik. Misalnya mengaplikasikan peminjaman konsep-konsep dari ilmu sosial lain guna diterapkan dalam ilmu politik. Konsep-konsep yang dibangun oleh subdisiplin Teori Politik nantinya digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena politik yang ada. Misalnya, saat ini ilmu politik telah mengaplikasi suatu teori baru yaitu FEMINISM THEORY. Teori ini digunakan untuk menjelaskan fenomena maraknya gerakan-gerakan perempuan di hampir seluruh belahan dunia. Atau, untuk menjelaskan politik "menutup" diri Jepang dan Amerika Serikat (sebelum Perang Dunia I), diterapkan teori ISOLASIONISME (pinjaman dari bahasa jurnalistik).
9. Metodologi Politik
Subdisiplin ini khusus mempelajari paradigma (metodologi) serta metode-metode penelitian yang diterapkan dalam ilmu politik. Apakah pendekatan kualitatif atau kuantitatif yang akan digunakan dalam suatu penelitian, masuk ke dalam subdisiplin ini. Demikian pula aneka ragam uji statistik (dalam tradisi behavioral analysis) yang digunakan untuk menganalisis data.
Catatan Kaki
[02] Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
[03] Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today : A World View, Eigth Edition, (Delhi : Dorling Kindersley Publishing, Inc., 2004) p. 2.
[04] Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics : A Study of the Origins of Political Thought in the Makkan Verses (London : The International Institute of Islamic Thought, 2004) p. 2
[05] Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2002) p.7-12.
[06] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
[07] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
[08] Richard Bellamy and Andrew Mason, eds., Political Concepts, (Manchester : Manchester University Press, 2003).
[09] ibid., p.2.
[10] Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
[11] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
[12] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001). Skema pemikiran politik Plato, Aristoteles, Abad Pertengahan dan Abad Pencerahan mengacu pada sumber ini.
[13] Mogens Herman Hansen, POLIS: An Introduction to the Greek City-States (New York : Oxford University Press, 2006) p.110-1.
[14] J.H. Rapar, Filsafat …op.cit. h.158-184.
[15] Aristoteles ini juga merupakah guru filsafat, kebijakan, dan politik bagi Alexander the Great atau Iskandar Agung, penakluk dari Macedonia yang amat menghormati kebudayaan dan kebiasan yang berlaku di masyarakat wilayah taklukannya. Banyak penduduk wilayah taklukan Iskandar yang lebih memilih untuk dipimpin olehnya tinimbang penguasa asli mereka.
[16] Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001).
[17] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968), p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar) dapat dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli : Il Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
[18] David Robertson, The Routledge Dictionary of Politics, Third Edition (New York: Routledge, 2002) p.292.
[19] ibid.,. p. 225.
[20] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
[21] David Robertson, The Routledge ..., op.cit., p. 313.
[22] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
[23] Mark C. Miller, “NeoInstitutionalisme” dalam John T. Ishiyama and Marijke Breuning, eds., 21st Century Political Science : A Reference Handbook (California : Sage Publications, Inc., 2011) pp. 22-8.
[24] S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102
[25] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
[26] Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
[27] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
[28] ibid., p.195-6.
[29] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. p.5.
[30] Ronald H. Chilcote, op.cit., p..290-1.
[31] Mark Rowth, Great Jobs for Political Science Majors, 2nd Edition (New York : McGraw-Hill, 2003).
[32] I.J.G. Fergusson, Fergusson’s Career in Focus: Politics (New York: Fact on File, 2005).
[33] Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., p.103.
[34] Bidang-bidang ini merujuk pada Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit.. Seluruh bab.
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.