Ad Code

Sosialisme Pandangan Friedrich Hayek

Friedrich Hayek dikenal sebagai pengkritik sosialisme, apapun bentuknya. Pikiran pokok anti sosialismenya terdapat dalam The Road to Serfdom. Bagi Hayek, pikirannya dalam Serfdom adalah manifesto politik, bukan kajian teoritis-ekonomi. Sebab itu posisi Hayek dalam menghadapi sosialisme dapat diikuti dalam serfdom, bahkan di bagian awal saja. Tulisan ini coba mencerna sejumlah pikiran Hayek dalam Serfdom.

Siapa Hayek?

Sebelum masuk ke pemikiran Hayek dalam The Road to Serfdom ada baiknya kita tinjau siapa orang ini. Hayek adalah pria kelahiran Wina, Austria, tahun 1899. Ia belajar hukum dan politik di Universitas Wina dan setelah Perang Dunia I, berkolaborasi kerja dengna Ludwig von Mises dalam aneka kajian siklus perdagangan dan sejenisnya. 

Sosialisme Pandangan Friedrich Hayek - seta basri tetap menulis
Friedrich Hayek
https://www.libertarianism.org/publications/essays/worst-top-biography-friedrich-hayek

Sebelum bergabung dengan Ludwig von Mises, Hayek punya kecederungan sosialis dalam pandangan politik dan eknominya. Ia mengajar di Universitas Wina antara 1921-31. Antara 1931-50 ia duduk sebagai pimpinan London School of Economics. Ia memperoleh gelar Profesor dari Universitas Chicago (AS) dalam bidang Imu Pengetahuan Moral dan Sosial. Ia bekerja di Universitas tersebut hingga tahun 1962. Selain itu, ia juga mengajar di Universitas Freiburg (1962-8) dan Universitas Salzburg (1968-77). Tahun 1974 ia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian.

Hayek adalah pemikir serba bisa, kendati tidak selalu merupakan pemikir koheren. Awalnya ia cenderung pada sosialisme, tetapi setelah bergaul dengan Ludwig von Mises, ia berbelok arah dan cenderung oposisi terhadap paham tersebut. Banyak hasil karyanya berlingkup bidang ekonomi yang bersifat teknis, dengan kekhususan pada masalah kapital, siklus dagang, dan teori moneter. Namun, ia juga tertarik pada filsafat, teori politik, dan psikologi teoretis. 

Saat masuk Universitas Chicago, ia termasuk salah satu pendiri kelompok yang kerap disebut “Chicago School.” Apa itu Chicago School? Mereka adalah kelompok ekonom monetaris (fokus pada aspek moneter). Chicago School punya pandangan, bahwa kebijakan ekonomi pemerintah seharusnya bersifat non-intervensionis (jangan ikut campur) semaksimal mungkin. Kelompok ini juga berpendapat bahwa manipulasi atas suplay uang adalah satu-satunya cara kendali ekonomi yang bisa diterima.

Pandangan Hayek tentang peran pemerintah dalam masalah ekonomi ini telah terbentuk antara tahun 1930an-40an. Pada saat itu, Hayek (yang banyak terpengaruh oleh Ludwig von Mises) adalah oposan konsep ekonomi Keynesianisme dan negara kesejahteraan (welfare state). Aneka indikator Sosialisme dalam Welfare State adalah target utama serangan Hayek. 

Pandangan politik Hayek adalah campuran antara doktrin ekonominya (monetaris) sendiri dan Liberalisme Konservatif Edmund Burke. Sama seperti Burke, Hayek menganggap perilaku manusia maupun aneka institusi politik, ekonomi, dan moral semakin berkembang ke arah yang kompleks. Bagi Hayek (sama seperti kaum Liberal Klasik) aneka institusi ekonomi tumbuh secara spontan di setiap waktu (tidak statis). Bidang-bidang tersebut (menurut Hayek) tumbuh secara sukarela tanpa ada intevensi negara.

Institusi-institusi di atas, bagi Hayek bukan sengaja dibuat oleh manusia melainkan akibat interaksi antarmanusia. Pengetahuan kita atas institusi tersebut, bagi Hayek, sifatnya tidak lengkap dan tidak proporsional. Bagi Hayek, kendati kita semua hidup di dalam institusi masyarakat dan mampu memberi kontribusi pada institusi tersebut, tetapi tidak ada seorang pun mampu memahaminya secara komprehensif. Pandangan ini mendorong Hayek bersikap skeptis atas aneka klaim yang dibuat, baik oleh sosiolog maupun ekonom (bidangnya sendiri).

Bagi Hayek, seseorang dapat memprediksi trend dan pola, juga prinsip-prinsip yang sifatnya umum dalam tata hubungan masyarakat. Namun, tidak mungkin menduganya secara tepat dan sempurna. Bagi Hayek, hanya pasar (market), yang memiliki kemampuan mengatur diri sendiri, menetapkan harga, dan tingkat produksi secara efektif. Lalu, bagaimana peran negara? 

Bagi Hayek, setiap upaya negara untuk melakukan intervensi atas kemampuan pasar melakukan pengaturan diri sendiri, akan mendorong pada keburukan ketimbang perbaikan. Keadilan distributif tidak bisa direkayasa atau dimanajemen oleh pemerintah, dan setiap upaya ke arah itu justru akan mendorong terciptanya aneka bahaya. Dalam The Road of Serfdom, Hayek menyatakan bahwa negara seharusnya tidak boleh berkuasa untuk untuk mengatur kegiatan ekonomi dan sebab itu ia (Hayek) menolak peran mereka (negara) sebagai sumber kesejahteraaan sosial. Argumentasi Hayek ini sungguh identik dengan laizzez-faire ekstrim.

Dalam The Road of Serfdom, Hayek melontarkan bahwa bahaya terbesar bagi laissez-faire adalah totalitarianisme. Bagi Hayek, pemerintah yang tujuannya adalah mengatur warganegara justru akan membahayakan kebebasan mereka (warganegara). Jenis tindakan terbaik yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempertahankan hak-hak asasi mereka adalah menyediakan peraturan yang netral, obyektif, yang dijamin oleh perundang-undangan yang juga netral dengan asumsi seluruh warga negara posisinya setara. 

Bagi Hayek, negara yang baik adalah yang mampu membela warganegaranya dengan penerbitan undang-undang yang bersifat netral-nilai, sehingga akan memposiskan warganegara secara setara. Pemerintahan seperti itu memungkinkan setiap individu (warganegara) untuk memuaskan kebutuhan mereka atas harta-benda (juga kepemilikan lainnya) dan menolak intervensi siapapun, termasuk negara, mengenai hal ini.

Hal-hal yang sudah disampaikan adalah kunci untuk membedah pemikiran politik Hayek. Bahwa Hayek adalah pengkritik Keynesianisme, tidak dapat dipungkiri. Ini akibat begitu percayanya Hayek akan laissez-faire. Yaitu bahwa negara tidak perlu mengatur kegiatan ekonomi warganegara.

Sekilas The Road to Serfdom

Hayek menerbitkan buku ini tahun 1944, dan kembali diterbitkan kembali tahun 2001 oleh Routledge Classics yang kemudian berturut-turut mengalami cetak ulang 2002, 2003, 2005, dan 2006. Buku Hayek ini terdiri atas 15 bab, disertai Pengantar, Konklusi, Catatan Bibliografi dan Index. Artikel ini hanya mengetengahkan sejumlah bab yang cukup menarik dan tidak terlalu teknis-ekonomi dalam The Road to Serfdom ini.

Saat Serfdom terbit, dunia menghadapi dua jenis sosialisme yaitu fenomena Nazi di Jerman dan komunisme di Uni Sovyet. Hayek menyatakan bahwa The Road to Serfdom adalah buku politik. Bukunya ini diturunkan dari nilai-nilai tertentu (Liberalisme). Liberalisme ada argumen utama Hayek dalam bukunya ini. 

Namun, Hayek menyatakan, kendati ini adalah buku politik, ia bukan dimaksudkan untuk kepentingan pribadi. Hayek mengakui, bahwa kolega sosialisnya, juga sebagai ekonom, ia harus memberikan posisi pasti bagi masyarakat yang dilawannya (masyarakat sosialis). Hayek menganggap, bahwa sudah tugasnya untuk mendiskusikan potensi masalah di dalam kebijakan ekonomi masa mendatang berdasarkan situasi saat ini. Hayek menganggap publik belum terlampau memahami situasinya. Argumen utama dalam buku ini, menurut Hayek, pernah ia gambarkan dalam artikel yang pernah ia tulis sebelumnya berjudul Freedom an Economic System yang termuat dalam Contemporary Review yang terbit April 1938.

Peristiwa kekinian (di mana Hayek menulis buku ini) beda dengan sejarah, karena kita sama sekali tidak tahu apa yang akan dihasilkan. Jika melihat ke belakang, dapat saja kita menilai signifikansi peristiwa tertentu dan melacak akibat-akibatnya pada kejadian yang lebih belakangan. Namun, manakala sejarah tengah berlangsung, kita tidak akan pernah tahu bagaimana akhirnya, karena itu hanya baru terjawab di masa depan.

Bagi Hayek, kita bisa mengukur suatu peristiwa masa lampau untuk menghindari suatu ekses akibat peristiwa tersebut pada masa depan. Bagi Hayek, untuk memprediksi ini, kita tidak perlu menjadi seorang Nabi. Hayek menyebut, apa yang akan ia bahas lebih lanjut adalah hasil dari pengalamannya mengalami dua jenis evolusi ide, yaitu liberalisme dan sosialisme, yang ia telah saksikan di sejumlah negara. Dari pengamatan di aneka negara tersebut, ia melihat sejumlah fase perkembangan intelektual yang hampir serupa.

Hayek menyatakan bahwa Jerman mengalami nasib masuk ke dalam situasi berbahaya secara berulang. Bahaya tersebut tidak bersifat segera dan masih dapat dikendalikan, sama seperti di negara Eropa lainnya. Namun, Hayek tetap berkesimpulan Jerman berada dalam bahaya. Bahaya tersebut bukan atas berkuasanya Hitler, atau posisi Jerman di dalam peperangan (Perang Dunia II). 

Namun, gagasan yang berkembang di Jerman adalah serupa, baik di masa Jerman sebelum Hitler maupun setelah Hitler berkuasa. Gagasan tersebut adalah sosialisme. Ada sebuah determinasi (pemastian) di Jerman bahwa negara harus menciptakan sesuatu. Negara menjadi promotor hubungan sosial, dan ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Ini mirip dengan konsep Hegel, filsuf berpengaruh Jerman, bahwa roh dunia mewujud di dalam diri negara. Bagi Hayek, ini adalah sebuah fatalisme.

Hayek fokus pada perubahan Jerman antara masa 15-20 tahun, bahwa ‘Nazi’ atau sosialisme negara, tidak berkembang hanya di masa Hitler saja, tetapi sebelumnya pun sudah. Hal yang dikhawatirkan Hayek adalah, perkembangan di Jerman ini akan diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya, secara spesifik ia menyebut Amerika Serikat dan Inggris. Bagi Hayek di Amerika Serikat dan Inggris telah menggejala cara berpikir ‘sosialisme negara’ layaknya di Jerman.

Hayek menduga, hanya sedikit saja orang yang mengakui bahwa bangkitnya Fasisme dan Nazisme bukan sebagai reaksi atas kelanjutan tren sosialisme di masa sebelumnya, tetapi hasil yang perlu bagi tendensi tersebut. Bagi Hayek, situasi di dalam Nazisme Jerman dan Komunis Rusia adalah serupa: sama-sama sosialis.

Sosialis yang dimaksud Hayek bukan dalam konteks partai politik, juga bukan pertikaian antar faksi sosialis. Masalah sosialisme yang dimaksud Hayek adalah, adanya sekelompok intelektual (di Eropa) yang menghendaki porsi ‘sosialisme’ yang lebih sedikit atau lebih banyak di dalam pengaturan negara. Satu kelompok ingin sosialisme diprioritaskan bagi suatu kelompok masyarakat, lainnya pada segmen masyarakat lainnya. Bagi Hayek, semua intelektual tersebut, kendati tidak menyebut dirinya sosialis, adalah sosialis.

Bagi Hayek pula, telah muncul gejala di kalangan pemikir Liberal, bahwa mereka tidak ragu untuk maju ke arah sosialisme. Hampir setiap orang menginginkan arah sosialisme ini. Namun, Hayek menyatakan bahwa tidak ada fakta obyektif mengapa mereka semua hendak masuk ke sosialisme. Sosialisme yang dimaksud Hayek di sini adalah “planning” atau perencanaan perekonomian oleh negara. Persoalan utama Hayek dalam The Road to Serfdom adalah akan ke mana muara semua gerakan ini?

Hayek mempertanyakan, mengapa kita harus serius mencari argumen perlunya sosialisme nasional? Temuan atas argumen inilah yang mampu memberi kita (kaum Liberal) pemahaman untuk memahami musuh, yaitu sosialis, dan aneka isu yang menyertainya. Bagi Hayek, kita (kaumLiberal) tidak akan sukses menghadapi Jerman kecuali kita telah memahami ciri khas dan perkembangan gagasan sosialisme negara yang kini berkuasa di Jerman. 

Hayek kecewa, bahwa para pemikir hebat Inggris yang dulunya banyak berpengaruh di Jerman, misalnya John Stuart Mill (On Liberty) ternyata juga berpengaruh atas Goethe dan Wilhelm von Humboltd. Sebaliknya, kini di Inggris Thomas Carlyle dan Houston Stewart Chamberlain justru membela Sosialisme Nasional. Mereka justru mengadopsi fitur buruk dari aneka teori rasial Jerman. 

Sekali lagi, yang meresahkan Hayek adalah bukan Jermannya, melainkan bagimana gagasan-gagasan sosialisme negara yang berkembang di Jerman  mampu mempengaruhi kalangan yang dulunya Liberal. Tidak diragukan lagi, bagi Hayek, bahwa Jerman telah memproduksi sistem Nazi, dan sistem tersebut kini terkesan tengah diekspor ke negara-negara yang masih mempertahankan Liberalisme. Selain Jerman, Hayek juga melansir Italia sebagai negara dengan tipikal sosialisme negara yang mirip dengan Jerman. 

Hayek mempermasalahkan adanya cara pandang yang salah dalam memahami Sosialisme Nasional. Kesalahan ini akibat kita semata-mata menganggap Sosialisme Nasional sekadar reaksi atas terbahayakannya privilese dan kepentingan suatu kelompok dengan hadirnya Sosialisme. Bagi Hayek, banyak orang Jerman justru telah menjadi Sosialis, dan Liberalisme tersingkir dengan sendirinya. Bagi Hayek pula, konflik antara kaum Sosialisme Nasional “Kanan” dan “Kiri” di Jerman hanyalah rivalitas antar faksi dari sesama kaum Sosialis. Kenyataan ini ditemukan Hayek dari aneka pengakuan rekan-rekan Inggrisnya, bahwa banyak pengungsi Jerman, yang "lari" dari Hitler, menunjukkan pemikiran ternyata sudah dapat dikategorikan sebagai "sudah Sosialis."

Mengapa rakyat Jerman mudah menerima Sosialisme? Hayek menaksir bahwa di Jerman, terdapat dukungkan bagi tumbuhnya benih Sosialisme. Benih tersebut memiliki akar dari tradisi Prusia, sehingga Hayek menyatakan bahwa ada hubungan kekerabatan antara Sosialisme dan Prusianisme. Namun, Hayek mengingatkan, kita keliru apabila percaya bahwa orang-orang Jerman, kendati Sosiali, akan setuju dengan Totalitarianisme. 

Bagi Hayek, Sosialisme yang tumbuh di kalangan orang Jerman ini bukan Prusianisme, kendati Prusianisme menyediakan benih bagi Sosialisme. Sosialisme yang ada di diri orang Jerman serupa dengan apa juga hadir di Rusia dan Italia. Sosialisme-Prusianisme berangkat dari kelas sosial tertentu yaitu bangsawan atau aristokrat, sementara Sosialisme yang tumbuh di diri orang Jerman saat Hayek menulis bukunya, adalah berangkat dari segmen massa. Inilah yang memungkinkan bangkitnya Sosialisme Nasional di Jerman.

The Abandoned Road : Chapter 1

Hayek memulai bab ini dengan mengutip kalimat Franklin D. Roosevelt, “Suatu program yang tesis dasarnya bukan sistem perusahaan bebas demi profit telah gagal dalam generasi ini, tetapi ia bukannya tidak pernah dicoba."

Hayek menyatakan, manakala wacana suatu peradaban bermuara pada sesuatu yang tidak diharapkan, maka bukanlah ia secara otomatis mencari jalan memutar guna mencapainya, melainkan kita diperhadapkan pada aneka kejahatan yang pernah berlangsung jauh di masa sebelumnya, yaitu barbarisme. Jika ini terjadi, maka kita tidak bisa menyalahkan siapapun selain diri kita sendiri. Hayek menyatakan ini manakala Liberalisme dan ekonomi laissez-faire yang didukungnya dicemooh telah menghasilkan Kapitalisme yang merusak atau telah menjadi "semangat jahat" dari bangsa tertentu yang dimanifestasikan dalam tindak imperialisme. Hayek membela ini semua dengan menyatakan bahwa gagasan utama Liberalisme yang selama ini mendorong kemajuan Eropa tidak mungkin salah. 

Hayek bersedia menerima kenyataan bahwa Liberalisme tengah mengalami suatu krisis, kecuali satu hal: Bahwa kondisi dunia saat ini adalah akibat kesalahan di pihak kita sendiri, dan ini merupakan  otokritiknya atas Liberalisme. Semua ini akibat kita (kaum Liberal) terlampau bersemangat untuk mencapai hasil yang sangat diharapkan. Ini tesis Hayek untuk menekankan bahwa justru Liberalisme-lah harus diperbaiki, bukan dengan kita menerima Sosialisme.

Hayek juga menyatakan cukup sulit untuk menyatakan Jerman, Italia, dan Rusia sebagai ‘dunia’ yang berbeda. Ketiga negara itu produk dari perkembangan pemikiran yang telah kita (kaum Liberal) bagikan pada mereka. Sehingga bagi Hayek, adalah sesat pikir apabila kita (kaum Liberal) menyatakan apa yang terjadi di tiga negara itu tidak mungkin terjadi di ‘dunia’ kita (dunia Liberal). 

Hayek mengisahkan, sebelum ketiga negara tersebut menganut Totalitarianisme, mereka menunjukkan banyak kesamaan dengan dunia Liberal. Konflik eksternal adalah hasil dari transformasi pemikiran Eropa, di mana ketiga negara itu ‘tidak sabar’ untuk mencapai kemajuannya. Untuk itu, kita (dunia Liberal) bukan tidak mungkin tertimpa hal serupa dengan mereka.

Bagi Hayek, perubahan ide (gagasan) dan kekuatan kehendak manusia, membuat dunia jadi seperti ini. Manusia kerap tidak mampu melihat dampak gagasan mereka. Juga, tiada perubahan spontan pada suatu fakta yang mewajibkan kita untuk selalu diadaptasi pada gagasan kita sendiri. Mungkin ini sulit diterima kaum Empiris Inggris. Hayek masih merasa beruntung, bahwa kita masih percaya bahwa hingga saat ini dunia di luar ketiga negara tersebut (Jerman, Italia, dan Rusia) masih menerapkan prinsip-prinsip laissez-faire.

Namun, kejadian di ketiga negara memiliki magnetnya sendiri. Ketiga negara tersebut berubah 180 derajat dari apa yang diharapkan oleh gagasan Liberalisme. Sekurangnya 25 tahun sebelum Totalitarianisme bangkit dan menjadi ancaman nyata, kita (dunia Liberal) telah beranjak cukup jauh dari gagasan dasar bagaimana peradaban Eropa seharusnya dibangun. Gerakan yang kita bangun dengan penuh percaya diri ini, menurut Hayek, membawa kita berhadapan secara diametral dengan horor Totalitarianisme.

Ini adalah tantangan nyata bagi eksponen Liberalisme. Kita secara progresif telah mengabaikan kemerdekaan dalam hubungan ekonomi, yang tanpanya, kemerdekaan politik dan individu tidak akan pernah ada. Kendati kita (kaum Liberal) telah diperingatkan oleh Tocqueville dan Lord Acton, bahwa Sosialisme itu tidak lain sebuah perbudakan, kita malah terus mengarah pada Sosialisme tersebut. 

Hayek resah, bahwa eksponen Liberalisme tidak sekadar mengabaikan pandangan Cobden dan Bright, Adam Smith dan David Hume, atau bahkan John Locke dan Milton, tetapi juga terdapat karakter kunci peradaban Barat, yang fundasinya berakar pada Kristianitas, Yunani, dan Romawi. Tidak sekadar Liberalisme abad ke-18 dan ke-19, tetapi juga Liberalisme yang diwariskan dari Erasmus sampai Montagne, dari Cicero hingga Tacitus, juga Pericles dan Thucydides. Semua warisan tersebut secara progresif tengah mengalami krisis.

Pimpinan Nazi menggambarkan revolusi Sosialisme-Nasional sebagai kontra Renesans, telah bicara jujur. Pernyataan itu adalah langkah yang menentukan dalam penghancuran peradaban yang manusia moderen telah susah payah bangun dari masa Renesans, yang semata-mata mendasarkan diri pada individualisme. Hayek kecewa bahwa Individualisme diidentikan dengan egotisme dan keserakahan diri. Individualisme inilah justru lawan dari Sosialisme. 

Bagi Hayek, Individualisme (yang berakar pada Kristianitas dan filsafat klasik), kembali bangkit pasca Renesans dan segera tersebar ke seluruh peradaban Eropa. Apa Liberalisme yang dimaksud Hayek? Baginya, Liberalisme adalah penghormatan atas individu satu terhadap lainnya, pengakuan pandangan pribadinya di lingkup pribadinya sendiri (kendati sesempit apapun), dan keyakinan bahwa orang berhak mengembangkan individualitasnya sendiri. Bagi Hayek, tinggal toleransi saja nilai yang masih bersisa dari Liberalisme dan inipun akan segera akan musnah di dalam Totalitarianisme.

Hayek melakukan pembelaan atas Liberalisme. Baginya, harus disadari bahwa upaya spontan dan tidak terkendali dari para individu sajalah yang mampu menghasilkan keteraturan rumit dari kegiatan ekonomi. Dari sinilah, maka kemajuan peradaban dapat terjadi. Hasil elaborasi atas argumen konsisten mengenai kemerdekaan ekonomi merupakan hasil dari kegiatan ekonomi yang berkembang secara bebas (laissez-faire). Laissez-faire ini bukan produk politik negara, melainkan produk kemerdekaan individu. Hasil terbesar dari energi manusia yang tidak dikekang adalah ilmu pengetahuan yang berkembang secara luar biasa, yang hanya mampu terjadi akibat kebebasan individu yang awalnya berasal dari Renesans Itali, bergerak menuju Inggris, dan seterusnya.

Dalam konteks kebebasan individual ini, Hayek juga menyatakan, bahwa hanya sejak kemerdekaan industrial membuka jalur untuk digunakannya ilmu pengetahuan baru secara bebas, hanya sejak segala sesuatu boleh dicoba, hanya saat negara tidak ikut campur tangan dalam masalah-masalah ini, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Hayek mengimbuhkan, hasil dari aneka perkembangan ini telah jauh melampaui harapan yang diinginkan. Di mana terdapat hambatan bagi manusia dalam mempraktekkan kecanggihan kemanusiaannya, halangan tersebut harus disingkirkan. Tindakan ini akan memicu pemuasan hasrat kemajuan yang lebih besar lagi.

Bagi Hayek, prinsip dasar Liberalisme tidak dogmatis. Tidak ada aturan baku dan kaku mengenai Liberalisme ini. Prinsip dasarkan hanya sekadar bahwa dalam menjalin relasi antar manusia/kelompok manusia, sedapat mungkin dilakukan secara spontan di dalam masyarakat, dan kekerasan digunakan hanya secara minimal. Sekali lagi Hayek menyatakan, laissez-faire tidak boleh ditinggalkan. Bagi Hayek, sikap seorang Liberal terhadap masyarakat seperti juru taman yang ingin menanam tanaman, di mana ia harus menciptakan kondisi yang memungkinkan tanaman itu tumbuh, ia harus tahu apa bagian dan fungsi yang perlu diadakan.

Hayek tidak menutup kenyataan, bahwa dunia Liberal perlu memikirkan sistem moneter dan pencegahan/pengendalian monopoli, juga sejumlah bidang lain. Dari sisi ini, pemerintah dapat saja berposisi baik atau jahat. Namun, saat Liberalisme dianggap lambat dalam mengadaptasi kekurangan ini, muncul sejumlah kalangan yang tidak sabar akan karakter gradual dari Liberalisme atas kemajuan. Di sinilah Sosialisme mengambil keuntungan.

Akibat munculnya ketidaksabaran atas kemajuan kebijakan Liberal yang lambat, muncul sejumlah kalangan yang mengatasnamakan diri sebagai kaum Liberal (juga) tetapi justru berupaya mengubah nilai-nilai dasar dari Liberalisme itu sendiri. Muncul kalangan Liberal yang hendak memperbesar otoritas negara dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat Liberal berupa intervensi pemerintah pada sejumlah sektor yang seharusnya tetap dibiarkan laissez-faire. Mereka ini fokus pada penyelesaian aneka masalah sosial. Mereka ini berbeda dengan kaum Liberal lama, dalam sejumlah prinsip.

Bagi kalangan yang muncul belakangan ini, pertanyaannya bukan bagaimana menyempurnakan kekuatan spontanitas dalam masyarakat bebas. Hayek menganggap mereka telah berspekulasi, karena mereka ini pun belum tahu dampak dari "Liberalisme baru" yang mereka kembangkan. Mereka ini mengubah nilai Liberal yang mendasarkan pada mekanisme anonim dan impersonal pasar menjadi pengaturan pasar oleh kolektivitas dan kesadaran, untuk secara sengaja memilih tujuan yang diinginkan. Bagi Hayek, spontanitas dalam laissez-faire digantikan dengan kegiatan ekonomi yang terencana, dan ini akan merusak fundasi masyarakat Liberal.

Hayek menyebut ekonomi terencana ini sebagai “planning of freedom”, dan konsep ini salah satunya diutarakan oleh Karl Mannheim (dedengkot Frankfurt School) saat menyatakan, “Kita belum pernah merancang dan mengatur (tulis Mannheim) sistem alami secara keseluruhan sebagaimana kita dipaksa untuk melakukannya dari hari ke hari dalam masyarakat … Umat manusia cenderung untuk makin dan makin mengatur seluruh kehidupan sosialnya, kendati bukan ditujukan untuk menciptakan kondisi alami alternatif.” Inilah sebagian pemikir yang dianggap Hayek berbahaya, karena akan membuka jalan ke arah Kolektivisme/Sosialisme.

Hayek menyatakan, untuk hampir 200 tahun, gagasan Inggris telah merambah ke Eropa timur. Aturan kemerdekaan yang berasal dari Ingris diniscayakan untuk menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran ini mencapai kulminasi tahun 1870 (di Eropa Timur) dan setelah itu mengalami gejala penurunan. Muncul aneka gagasan alternatif dari Timur. Inggris kehilangan kepemimpinan intelektualnya, baik dalam bidang politik dan sosial, dan mulai mengimpor gagasan dari luar negaranya. 

Untuk 60 tahun berikutnya, Jerman menjadi pusat dimana gagasan pemerintahan versi mereka menyebar, baik ke Barat maupun Timur. Eksponennya adalah Hegel, Marx, List, Schmoller, Sombart ataupun Mannheim. Gagasan mereka bervariasi, baik seputar Sosialisme dalam bentuknya yang radikal atau sekadar “organisasi” atau “perencanaan” yang kurang radikal. Gagasan Jerman siap diimpor dan kini telah cukup banyak institusi Jerman yang ditiru oleh negara-negara Libeal. Kendati gagasan Sosialisme bukan berasal dari Jerman, di Jermanlah gagasan tersebut mengalami penyempurnaan di seperempat abad ke-20.

Hayek mengamati, sebelum Jerman mematangkan Sosialisme, satu generasi sebelumnya ia telah memiliki partai Sosialis di parlemennya. Dan tidak lama setelah itu, doktrin Sosialisme masuk di Jerman dan Austria, juga Rusia. Banyak kalangan Sosialis Inggris tidak sadar bahwa mayoritas masalah yang mereka temukan sesungguhnya telah terlebih dahulu ditemukan oleh kaum Sosialis Jerman, jauh sebelumnya. 

Dengan munculnya Jerman sebagai pelopor Sosialisme di Eropa, maka benua tersebut terbelah: wilayah sebelah Barat sungai Rhine disebut Barat, dimana berlaku Liberalisme dan Demokrasi, Kapitalisme dan Individualisme, Perdagangan Bebas dan setiap bentuk Internasionalisme dan cinta damai. Ke wilayah Barat inilah, gagasan-gagasan Sosialisme Jerman merasuk dan secara pelan tapi pasti menggerogoti nilai-nilai lama masyarakat Barat. Hayek menyatakan, kini masyarakat Barat telah menganggap dangkal nilai-nilai mereka sendiri yaitu Liberalisme, terjadi asumsi bahwa Liberalisme sekadar rasionalisasi atas kepentingan pribadi, Perdagangan Bebas adalah doktrin untuk mengejar kepentingan Inggris, dan kesimpulannya aneka gagasan politik Inggris dianggap sesuatu yang memuakkan.

The Great Utopia : Chapter 2

Hayek membuka bab ini dengan mengutip F. Hoelderlin, “What always made the state a hell on earth has been precisely that man has tried to make it his heaven.”

Hayek menyatakan, kendati Sosialisme telah mengambil-alih Liberalisme sebagai sebuah doktrin yang dipegang mayoritas kaum progresif, bukan berarti rakyat lupa atas peringatan dari para pemikir Liberal masa lalu seputar konsekuensi Kolektivisme. Kolektivisme bersifat diametral terhadap Liberalisme. Bagi Hayek, Sosialisme adalah ancaman paling canggih bagi kemerdekaan manusia. Kolektivisme adalah reaksi negatif atas Liberalisme, yang debut awalnya terjadi di masa Revolusi Perancis, di mana Kolektivisme menggunakan "bendera" kebebasan individu. 

Namun apa yang terjadi? Sesaat setelah berakhirnya Revolusi Perancis, muncullah rezim Otoritarian Perancis di bawah Robbespierre. Aneka penulis Perancis yang menciptakan landasan Sosialisme moderen, menurut Hayek, tidak ragu menyatakan bahwa gagasan Sosialisme hanya bisa diwujudkan melalui pemerintahan Diktatorial. Bagi mereka (yaitu pionir Sosialisme asal Perancis), Sosialisme dimaksudkan sebagai upaya “menghancurkan revolusi" (terminate the revolution). Jalannya adalah dengan sengaja mereorganisasi masyarakat secara hirarkis, dan menerapkan “spiritual power" (kuasa spiritual) yang koersif. Mereka enggan bicara lagi soal kemerdekaan. Kemerdekaan berpikir, mereka anggap sebagai akar-kejahatan dari masyarakat abad ke-19. Hayek mencontohkan, Saint-Simon (perencana Kolektivisme Moderen) memprediksi bahwa mereka yang tidak patuh pada proposal masyarakatnya akan diperlakukan sebagai hewan ternak (treated as cattle).

Pasca Revolusi 1848, berbarengan dengan arus pikiran Demokrasi yang kembali menghebat di Eropa, Sosialisme menyusup bersama kekuatan kemerdekaan manusia tersebut (Demokrasi). Namun, ia (Kolektivisme/Sosialisme) bergerak dengan bendera Sosialisme Demokratis. Hayek mengutip Tocqueville, bahwa esensi Demokrasi adalah Individualisme, dan sebab itu akan selalu berkonflik dengan Sosialisme yang sifatnya Kolektivis. Tocqueville, catat Hayek, berkata pada tahun 1848 bahwa “Demokrasi meluaskan lingkup kemerdekaan, Sosialisme malah membatasinya. 

Demokrasi menghadirkan semua nilai yang mungkin dikembangkan pada manusia; Sosialisme justru membuat manusia jadi sekadar agen, sekadar jumlah. Demokrasi dan Sosialisme tidak punya kesamaan, selain persamaan. Namun, perhatikan perbedaan ini: sementara Demokrasi mengejar persamaan dalam kebebasan, Sosialisme mengejar persamaan dalam pembatasan dan pelayanan.”

Bagi Hayek, Sosialisme menjelma sebagai gerakan politik yang mengobral janji “kemerdekaan baru.” Hayek kesal karena Sosialisme mengaburkan makna kemerdekaan. Bagi para "rasulnya" (pemikir Liberalisme), kemerdekaan dimaknai sebagai merdeka dari kekerasan, merdeka dari kuasa sewenang-wenang pihak lain, pembebasan manusia atas kepatuhan buta atas pihak lain yang lebih superior. Di sisi lain, “new freedom” yang diobral Sosialisme adalah merdeka dari kebutuhan hidup, merdeka dari paksaan lingkungan yang membuat pilihan hidup jadi terbatas. Bagi Sosialisme, sebelum manusia bisa merdeka secara sejati, Despotisme Kemelaratan Fisik (akibat Kapitalisme) harus dihancurkan terlebih dulu, yang artinya “pembatasan sistem ekonomi” wajib dihembuskan.

Bagi Hayek, kemerdekaan yang dimaksud Sosialisme adalah “kekuasaan” atau “kekayaan.” Janji ini ditambah iming-iming peningkatan kekayaan material di dalam masyarakat Sosialis. Bagi Hayek pula, itu bukanlah kemerdekaan yang dimaksud, bahkan oleh Liberalisme sendiri. Dengan demikian, Sosialisme sesungguhnya sekadar menjanjikan sebuah Utopia

Apa yang dijanjikan Sosialisme, yaitu kekayaan material untuk masyarakat Sosialis, sesungguhnya serupa dengan distribusi kekayaan secara merata. Namun, akibat kaum Sosialis memerlukan jargon penyemangat, maka ia membuat temanya sendiri, untuk sekadar berbeda dengan Liberalisme. "Beda" lainnya adalah, Sosialis menggarap jargon pemerataan kekayaan ini secara maksimal sehingga membuai banyak orang yang tidak hati-hati dalam berpikir.

Kemerdekaan yang lebih luas, adalah senjata propaganda kaum Sosialis. Bagi mereka, janji tersebut tulus dan jujur. Namun, apa yang kemudian terjadi? Bagi Hayek, yang terjadi adalah Road to Freedom faktanya malah menjadi High Road to Servitude. Bagi Hayek, janji atas kemerdekaan inilah yang membuat Sosialis banyak memperoleh pengikut, bahkan dari kaum intelektual yang awalnya mendukung Liberalisme.

Hayek melansir, bahwa terdapat kesamaan antara kondisi yang berkembang di bawah Fasisme dan Komunisme. Hayek mengkritik banyaknya kaum intelektual di masanya yang menyangka bahwa Fasisme dan Komunisme bertentangan satu sama lain. Bagi Hayek, keduanya adalah sama-sama Tirani. Untuk itu, Hayek mengutip ujaran Max Eastman (teman lama Lenin), yang mengakui “jauh dari lebih baik, Stalinisme lebih buruk ketimbang Fasisme, lebih kasar, barbar, tak adil, imoral, anti Demokrasi.” 

Bagi Eastman, seperti dicatat Hayek, “Stalinisme adalah Sosialisme, dalam pengertian nasionalisasi dan kolektivisasi dalam upayanya mencapai masyarakat tanpa kelas.” Hayek juga mengutip pengalaman W.H. Chamberlain yang pernah 12 tahun tinggal di Rusia. Chamberlain, catat Hayek, menyatakan “Sosialisme terbukti bukan jalan menuju kemerdekaan, tetapi jalan menuju Kediktatoran dan Kontra-Kediktatoran, menuju perang sipil dalam wujud terkejamnya. Sosialisme yang dicapai melalui cara yang seolah-olah Demokratis untuk masuk ke dalam kategori dunia Utopia.” 

Komentar lainnya, catat Hayek, diujar oleh F. A. Voigt setelah cukup lama mengobservasi fenomena politik Eropa, yang menyatakan “Marxisme mengantar pada Fasisme dan Sosialisme-Negara, karena, dalam makna terdalamnya, ia (Marxisme) adalah Fasisme dan Sosialisme-Nasional.” Catatan lain atas Sosialisme diberikan Walter Lippman, yang oleh Hayek dicatat berkata “generasi masa kini belajar dari pengalaman yang terjadi manakala manusia mundur dari kemerdekaan ke arah organisasi koersif yang mengatur hubungan sesama mereka.” 

Hayek juga mengutip pendapat penulis Jerman, Peter Drucker, mengenai Sosialisme bahwa “kolaps total atas keyakinan mengenai kemerdekaan dan persamaan di dalam Marxisme memaksa Rusia beranjak menuju Totalitarian, yang sangat negatif, masyarakat non-ekonomi yang sifatnya tidak merdeka dan timpang dengan mana Jerman pun mengikuti jalan serupa lewat Fasisme. Ini bukan artinya Komunisme dan Fasisme itu sama, tetapi Fasisme adalah tahap akhir yang dicapai setelah Komunisme terbukti sekadar ilusi belaka, dan ini mirip ilusi di Rusia masa Stalin dan Jerman masa pra Hitler.”

Relasi dekat antara Fasisme dan Komunisme ini dapat dilihat dari aktor-aktor politiknya. Sebelum menjadi pimpinan Fasis Italia, Benito Mussolini adalah seorang Sosialis. Hayek juga mencatat, cukup mudah bagi seorang Komunis muda untuk menjadi seorang Fasis, atau sebaliknya, seperti banyak terjadi di Jerman masa Hitler. Banyak mahasiswa Inggris dan Amerika Serikat, yang pulang dari menempuh ilmu di aneka perguruan tinggi Jerman, tatkala pulang sulit membedakan Komunisme dengan Fasisme. 

Memang, kerap kaum Fasis dan Komunis berseteru satu sama lain. Namun, itu akibat mereka saling berebut akar massa yang sama, orang-orang yang cara berpikirnya sama, sehingga wajar saja mereka saling ribut. Musuh bersama mereka adalah kaum Liberal lama. Eduar Heimann, seperti dicatat Hayek, menulis “Hitler has never claimed to represent true liberalism. Liberalism then has the distinction of bein the doctrine most hated by Hitler.”

Hayek menyayangkan, kendati banyak bukti terpapar bahwa Fasisme dan Komunisme memiliki koneksi, mayoritas orang masih menganggap bahwa Sosialisme dan kemerdekaan bisa saja dikombinasikan. Banyak kaum Sosialis masih meyakini gagasan Liberalisme seputar kemerdekaan, dan apabila mereka ini beroleh kekuasaan justru malah akan mematikan kemerdekaan itu sendiri. 

Sebab itu banyak jargon-jargon lucu dari kaum Sosialis seperti “Sosialisme-Individualis.” Ini merupakan jargon yang kontradiktif dari dua konsep berbeda. Hayek menutup bab ini dengan menyatakan bahwa Sosialisme Demokratis, sebuah Utopia terbesar dalam kurun waktu kekinian, tidak hanya mustahil tercapai, tetapi akan mewujud ke dalam suatu kondisi yang orang tidak akan siap menghadapinya.

Individualism and Collectivism : Chapter 3

Hayek membuka bab ini dengan menyitir kalimat Elie Halevy, “The Socialist believe in two things which are absolutely different and perhaps even contradictory: freedom and organisation.”

Bagi Hayek, konsep Sosialisme cukup membingungkan. Konsep ini kerap digunakan untuk menggambarkan ideal seputar keadilan sosial, kesetaraan dan keamanan yang lebih besar sebagai tujuan utamanya. Namun, ia juga berarti metode khusus dengan mana sebagian besar kaum Sosialis berharap dapat mencapai tujuan ini, sementara banyak orang kompeten lainnya menganggap Sosialisme sebagai satu-satunya cara yang bisa dicapai secara penuh dan cepat, untuk mencapai ideal Sosialisme tadi. 

Dalam pemahaman ini, Sosialisme berarti penghapusan perusahaan pribadi, penghapusan kepemilikan cara produksi pribadi, dan penciptaan sistem “ekonomi terencana (planned economy)”. Dalam cara pandang Sosialis ini, pengusaha yang tadinya bekerja demi keuntungan digantikan dengan badan perencana ekonomi terpusat.

Banyak kaum Sosialis hanya mengenal pengertian Sosialis yang pertama (ideal mengenai kesetaraan) tapi lupa bagaimana cara mencapai ideal tersebut. Namun, juga terdapat para pendukung Sosialisme yang menganggap Sosialisme bukan sekadar harapan, melainkan obyek praktek politik. Dengan demikian, metode khas Sosialisme Moderen (praktek politk) sama pentingnya dengan tujuan Sosialisme itu sendiri. 

Di sisi lain, banyak pula orang yang menghargai tujuan Sosialisme, tetapi pada sisi lain justru menolak dukungan atasnya karena adanya potensi bahaya yang akan menimpa nilai-nilai lain akibat aneka metode yang digunakan kaum Sosialis. Kini bahasan Sosialisme bukan lagi ribut mengenai tujuan, melainkan pada cara bagaimana mencapai tujuan itu. Keributan ini pun, juga kerap dirasuki oleh beda pendapat seputar ideal Sosialisme pula. Sungguh complicated Sosialisme ini.

Bagi Hayek, “economic planning” dalam Sosialisme adalah instrumen kunci dalam reformasi Sosialis. Namun, instrumen ini bisa saja disalahgunakan demi tujuan lain. Dalam logika Sosialis, kita harus memusatkan pengaturan kegiatan ekonomi jika ingin mendistribusikan pendapatan sesuai gagasan Sosialis, yaitu keadilan sosial. “Planning” dengan demikian, dikehendaki oleh semua yang menuntut bahwa “production of use” menjadi pengganti “production for profit.” Namun, “planning” semacam ini, bagi Hayek, tidak bisa terselenggara apabila distribusi pendapatan diregulasi dengan cara-cara yang justru bertolak-belakang dengan prinsip keadilan tadi.

Bagi Hayek, Sosialisme adalah spesies dari Kolektivisme dan dengan demikian apapun yang mungkin bagi Kolektivisme adalah mungkin pula terjadi pada Sosialisme. Sengketa pendapat yang terjadi antara kaum Liberal dan Sosialis ada di seputar cara pencapaian tujuan Sosialisme, bukan mempermasalahkan tujuan itu sendiri.

Hayek mengajak kita menyimpulkan, bahwa istilah Kolektivisme meliputi semua jenis “planned economy” apapun akhir dari tujuan tersebut. Dengan demikian, kita dapat menilai apakah “planning” tersebut dapat merealisasikan ideal distribusi yang merata di masyarakat Sosialis. “Planning” adalah istilah yang punya popularitas tinggi, karena sebagai manusia, kita mesti menangani masalah bersama serasional mungkin, dan dalam melaksanakannya kita membutuhkan suatu komando.

Hayek berargumentasi, dalam perencanaan masyarakat moderen, sangat sulit mendesain kerangka permanen yang sifatnya rasional. Mengapa demikian? Ini akibat di dalam masyarakat terdapat aneka kegiatan hidup (ekonomi, agama, budaya, sosial, politik) yang dijalankan oleh aneka orang berbeda, yang masing-masing punya tujuan sendiri-sendiri. Ini adalah “planning” dalam benak kaum Liberal. 

Jadi, bagi kaum Liberal, “planning” maknanya adalah bukan rencana yang didesain untuk memuaskan pandangan khusus seputar apa yang harus dimiliki warganegara. Perencana Liberal menuntut arahan sentral bagi seluruh kegiatan ekonomi dalam satu rencana tunggal, yang mengolah sumberdaya masyarakat sebagai “diarahkan secara sadar” untuk melayani tujuan-tujuan khusus yang saling berbeda dalam cara yang definitif.

Sengketa antara perencana Liberal dan musuh mereka perencana Sosialis, bukan sengketa pendapat pada apakah kita mesti memilih antara aneka organisasi masyarakat yang mungkin digerakkan; Ia bukan sengketa apakah kita mesti menyusun visi dan pemikiran sistematis dalam perencanaan hubungan bersaa. Sengketa itu berputar pada apa cara terbaik untuk melakukannya

Perencana Liberal menekankan bahwa kekuatan koersif (negara) harus memposisikan diri secara umum dalam penciptaan kondisi dengan mana pengetahuan dan inisiatif individual diberi kesempatan luas terlebih dahulu untuk berkembang. Di sisi lain, para perencana Sosialis menekankan pemanfaatan rasional atas sumber daya yang didasarkan arahan terpusat dan pengorganisasian seluruh kegiatan manusia dalam sebuah blueprint.

Dalam konteks perencanaan, kaum Liberal memberi penekanan pada pengkondisian penggunaan sebaik mungkin kekuatan kompetisi sebagai cara mengkoordinir upaya manusia. Ini bukan berarti membiarkan situasi apa adanya tanpa ada upaya apapun. Rencana kaum Liberal didasarkan pengakuan dimana kompetisi efektif terjadi, itulah cara terbaik sebagai pedoman upaya setiap individu. Bahwa dalam rangka agar kompetisi tersebut produktif, kerangka hukum yang rasional harus disusun. 

Liberalisme ekonomi menentang kompetisi sebagai metode kegiatan ekonomi yang inferior, sebaliknya, kompetisi harus dianggap superior karena berkat kompetisilah segala kegiatan kita dapat disesuaikan satu sama lain tanpa intervensi arbiter dan koersif dari otoritas (negara). Liberalisme ekonomi menekankan pada “kendali sosial secara sadar” yang diyakini memberi kesempatan para individu untuk memutuskan prospek suatu pekerjaan apakah akan menguntungkan ataukah merugikan mereka.

Kegiatan dalam ekonomi Liberal tidak lantas meninggalkan negara, melainkan memerlukan negara guna menyiapkan regulasi, tetapi bukan lewat metode-metode koersif. Dalam Liberalisme ekonomi, setiap partai (pelaku ekonomi) dalam pasar harus bebas melakukan jual-beli di harga manapun selama terdapat mitra dagang untuk itu. Juga, setiap orang harus bebas memproduksi, menjual, dan membeli segala sesuatu. 

Hukum negara dibutuhkan, yaitu dalam rangka mencegah pihak yang ingin melakukan pemaksaan dalam kegiatan ekonomi pasar. Misalnya, negara melarang penggunaan substansi beracun dalam suatu produk makanan, membatasi jam kerja karyawan, dan memperhatikan kesehatan lingkungan hidup. Kebebasan berkompetisi dalam ekonomi Liberal perlu jaminan dari negara.

Pada pihak lain, Sosialisme, adalah gerakan anti kompetisi. Gerakan ini bahkan merasuki pola pikir kalangan Liberal sendiri. Gerakannya halus, semisal melembutkan kompetisi ekonomi Liberal. Hal yang menyatukan kaum Sosialis Kiri dan Kanan adalah sikap bermusuhan yang sama atas kompetisi ekonomi dan kehendak keduanya untuk menggantikan kompetisi dengan ekonomi yang diarahkan. Faktanya adalah, dalam kegiatan ekonomi yang diarahkan ini muncul kaum Sindikalis atau aneka organisasi industri korporatif. 

Dengan kemunculan ini, maka kompetisi ditindas tetapi “planning” dalam bidang ekonomi malah dipegang oleh monopoli independen dari sejumlah industri. Bagi Hayek, “planning” independen oleh monopoli industri akan menghasilkan dampak berlawanan dengan tujuan dari “perencanaan ekonomi” itu sendiri. Saat tahapan ini tercapai (yaitu monopoli) maka alternatif untuk kembali pada kompetisi adalah menyerahkan kendali atas aneka monopoli tersebut pada negara. Kendali ini apabila hendak efektif, harus progresif sifatnya, lengkap, dan detail.

Hayek menulis, gagasan sentralisasi menyeluruh atas kegiatan ekonomi masih mengerikan bagi sebagian besar orang. Bukan hanya akibat kemustahilannya, melainkan akibat potensi horor akibat ia dikomando secara sentral. Bagi Hayek, ekonomi Liberal tidak bisa dikombinasikan dengan ekonomi terencana ala Sosialisme.

The “Inevitability” of Planning : Chapter 4

Hayek membuka penuturannya dalam bab ini dengan menyitir kalimat dari Benito Mussolini, “We were the first to assert that the more complicated the forms of civilization, the restriced the freedom of the individual must become.”

Hayek memulai bab ini dengan menyatakan bahwa perencanaan terpusat (yang ia ingin sangkal) sangat diinginkan. Argumennya, kita tidak bisa lagi memilih, melainkan dipaksa oleh situasi di luar kendali manusia, untuk mengganti kompetisi dengan perencanaan ekonomi. Bagi Hayek, ini semua adalah mitos, mitos yang akarnya adalah kita menghadapi wacana baru yang bukan berasal dari kehendak bebas melainkan perubahan teknologi yang mengeliminasi kompetisi yang sifatnya spontan.

Tendensi (kecenderungan) atas monopoli dan perencanaan bukan hasil dari fakta yang sifatnya obyektif dan berada di luar kontrol kita, tetapi hasil dari aneka opini dan diperhebat dan dipropagandakan di setengah abad ini sehingga mendominasi seluruh kebijakan ekonomi kita, misalnya kebijakan welfare state di negara Liberal. 

Argumen yang menjadi dasar “tak terelakkannya” perencanaan ekonomi yang paling kerap terdengar adalah perubahan teknologi membuat mustahil bagi terjadinya kompetisi dalam aneka bidang yang jumlahnya semakin meningkat. Akibatnya, karena propaganda ini, satu-satunya pilihan yang tinggal adalah antara pengendalian produksi oleh monopoli perusahaan privat atau arahan oleh Negara. Bagi Hayek, pendapat ini punya akar dari doktrin kaum Marxis tentang konsentrasi industri, yang dalam kenyataannya tidak memperoleh pembenaran.

Memang fakta menunjukkan terjadi monopoli secara progresif selama 50 tahun terakhir. Ini disertai serangkaian aturan yang membatasi kompetisi. Namun, Hayek mempertanyakan, apakah fenomena itu merupakan dampak dari teknologi? Atau, itu semata hasil dari aneka kebijakan yang dikejar oleh sejumlah negara. Bagi Hayek, yang kedualah yang berlaku, bahwa monopoli tersebut akibat disengaja oleh negara yang memberlakukannya. Hayek menyadari bahwa perkembangan teknologi bukan tidak punya pengaruh atas terjadinya monopoli oleh sejumlah perusahaan besar di aneka bidang ekonomi.

Penguasaan teknologi mendorong terjadinya monopoli oleh perusahaan besar terhadap perusahaan kecil. Ini akibat perusahaan besar tersebut lebih efisien dalam cara produksi. Perusahaan besar dapat menurunkan harga jual karena efisiensi dan efektivitas produksi akibat teknologi terbaru mereka gunakan dalam produksi. Logikanya, hal ini terus-menerus terjadi sehingga jumlah perusahaan menengah-kecil tereliminasi dan yang tersisa hanyalah sejumlah perusahaan besar saja. Menurut Hayek, justru di sinilah peran Negara, untuk memberi regulasi agar kompetisi antara perusahaan besar, menengah, dan kecil tetap terjadi.

Penurunan kompetisi dan berkembangnya monopoli terjadi di sejumlah negara. Jika hal tersebut terjadi akibat perkembangan teknologi atau evolusi Kapitalisme, kita harus berharap itu terjadi di negara yang punya sistem ekonomi maju. Kenyataannya, monopoli justru terjadi di negara yang masuk kategori “kemarin sore” untuk disebut negara industri: Amerika Serikat dan Jerman. 

Di Jerman, telah terjadi perkembangan kartel dan sindikat sejak 1878, yang didukung kebijakan yang  sengaja dibuat oleh negara. Negara justru mensponsori terjadinya monopoli dan meregulasi harga dan penjualan. Jerman merupakan pionir dalam eksperimen “scientific planning” dan “conscious organisation of industry” yang mendorong munculnya raksasa monopoli, yang terkesan tidak terelak. Setelah itu, 50 tahun kemudian, Inggris menyusul. Ini akibat pengaruh Sombart (teoretisi Sosialis Jerman) yang berhasil menyakinkan perlu adanya penggantian perkembangan sistem ekonomi kompetitif dengan Kapitalisme monopolistik. Sementara itu, di Amerika Serikat berlaku kebijakan proteksionis, yang melindungi pengusaha dalam negeri dalam persaingan dagang internasional.

Namun, bagi Hayek, perkembangan di Jerman merupakan contoh yang layak bagi kecenderungan universal dalam “ekonomi terencana” dan R. Niebuhr menyatakan, seperti dikutip Hayek, “Germany where all the social and political forces of modern civilisation have reached their most advanced form.” 

Hayek menyatakan bahwa organisasi industri yang sifatnya monopolistik akan tumbuh, kendati publik masih percaya pada kompetisi, tetapi aneka peristiwa luar negeri membuat mereka frustrasi. Misalnya, saat Jerman kalah perang, harga diri rakyatnya terinjak akibat harus bayar hutang pampasan perang. Akibatnya, Jerman dapat secara sengaja mengembangkan monopoli industri ke tangan sejumlah perusahaan, untuk mengejar produksi sumber daya tertentu, yang dapat kita sebut sebagai perencanaan ekonomi.

Kemajuan teknologi dianggap sebab yang membuat perencanaan ekonomi tidak terelakkan dapat ditafsirkan secara berbeda. Itu dapat saja berarti, menurut Hayek, bahwa kompleksitas peradaban industrial moderen kita telah menciptakan aneka permasalahan baru yang tidak bisa dihadapi kecuali oleh ekonomi terencana. 

Hayek memberi contoh, aneka masalah ekonomi yang tercipta di kota moderen, tidak lagi cukup diselesaikan oleh kompetisi. Namun, itu bukan masalah seperti penyediaan utilitas publik dan sejenisnya. Itu tugas negara menyediakannya. Argumen pendukung ekonomi terencana adalah, peningkatan kesulitan untuk memotret permasalahan yang terjadi di dalam kota moderen tersebut, harus diselesaikan oleh agen sentral agar tidak terjadi chaos.

Argumen ini bagi Hayek bersifat miskonsepsi seputar cara kerja kompetisi. Justru dengan kompetisilah masalah kompleksitas pembagian kerja dapat diatasi dalam kondisi moderen. Dengan pembagian kerja, kompetisi menjadi satu-satunya cara dengan mana koordinasi dapat dicapai dalam kerumitan masyarakat tadi. Kunci dari pembagian kerja di kota moderen tadi adalah desentralisasi pengambilan keputusan dari negara kepada pemerintah lokal. 

Pemerintah lokal dapat mengobservasi kompetisi yang terjadi, tanpa harus campur tangan terhadap kegiatan ekonomi warga kota. Jadi, kunci dalam mengatasi kerumitan masyarakat, bagi Hayek, adalah pembagian kerja secara ekonomi, bukan ekonomi terencana. Sekali lagi, negara (pemerintah lokal) berperan selaku regulator, bukan pemain ekonomi yang menciptakan monopoli. Apabila diambil keputusan pemberlakuan ekonomi terencana, maka pembagian kerja tidak akan terjadi dan masyarakat akan semakin bergantung pada negara. Apabila negara kolaps, maka para pekerja ini pun akan kolaps, tanpa ada alternatif perusahaan lain untuk mereka bekerja.

Planning and the Rule of Law: Chapter 6

Hayek membuka bahasan ini dengan mengutip Karl Mannheim. Mannheim menyatakan “Recent studies in the sociology of law once more confirm that the fundamental principle of formal law by which every case must be judged according to general rational precepts, which have as few exceptions as possible and are based on logical subsumptions, obtains only for the liberal competitive phase of capitalism.”

Bagi Hayek, kondisi yang membedakan antara free country dengan negara arbiter adalah berlakunya rule of law di free country. Rule of law bagi Hayek adalah “government in all its actions is bound by rules fixed and announced beforehand – rules which make it possible to foresee with fair certainty how the authority will use its coercive powers in given circumstates, and to plan one’s individual affairs on the basis of this knowledge.” 

Hayek menyebut definisi rule of law tersebut terlampau ideal dan tidak sepenuhnya bisa terwujud di kenyataan, akibat adanya kenyataan bahwa legislator dan pelaksananya (eksekutif, presiden beserta jajarannya) adalah manusia yang bisa saja keliru. Namun, bagi Hayek, poin yang esensial di sini adalah, diskresi (pengambilan keputusan secara sepihak) oleh organ eksekutif untuk melakukan tindak koersif dikurangi seminimal mungkin dalam rule of law ini. Bagi Hayek, itu sudahlah mencukupi.

Setiap hukum membatasi kebebasan manusia hingga suatu titik dengan asumsi individu lain pun mengejar kebebasan serupa, tetapi di bawah rule of law pemerintah dicegah untuk membatasi upaya individu untuk secara ad hoc melakukan tindakan yang mereka rasa perlu untuk membela kebebasannya tersebut. Dengan mengetahui aturan permainan (hukum) individu bebas mengejar tujuan personal dan hasratnya, dan kuasa pemerintah tidak bisa secara sengaja digunakan untuk memfrustrasikan upaya individu warganegara.

Pembedaan yang sudah dilakukan sebelumnya, seputar penciptaan kerangka permanen perundang-undangan dalam mana kegiatan produktif yang diarahkan oleh keputusan individual, dan arahan kegiatan ekonomi oleh otoritas sentral, masuk sebagai bahasan tepat mengenai perbedaan umum antara Rule of Law dan pemerintah arbiter. Dalam Rule of Law pemerintah memposisikan diri menciptakan aneka aturan yang mengkondisikan sumberdaya tersedia untuk digunakan, dan membiarkan keputusan akhir cara penggunaannya tersebut kepada para individu. Dalam pemerintahan arbiter, merekalah (bukan individu) yang menggunakan alat produksi untuk tujuan tertentu (khusus).

Dalam Rule of Law dapat dibentuk aneka aturan formal yang tidak bertujuan untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan seseorang atau kelompok orang secara khusus. Hukum dimaksudkan semata sebagai instrumen dalam mana rakyat mengejar aneka tujuan mereka sendiri. Hukum tersebut dimaksudkan untuk berlaku dalam jangka lama, sehingga mustahil untuk mengetahui apakah hukum tersebut orang-orang tertentu lebih diuntungkan dari lainnya. Hukum tersebut dapat digambarkan sebagai jenis instrumen produksi, membantu orang untuk memprediksi perilaku dengan siapa mereka akan berkolaborasi, ketimbang sekadar upaya memuaskan kebutuhan yang sifatnya partikular.

Perencanaan ekonomi, dalam pemerintahan arbiter, bertolak belakan dengan Rule of Law. Otoritas perencanaan tidak bisa memposisikan diri mereka dalam menyediakan kesempatan bagi orang-orang yang tidak dikenal untuk berbuat sesuatu di luar perencanaan. Perencanaan ekonomi tidak dapat mengaitkan diri mereka terhadap aturan formal dan bersifat umum yang akan mencegah arbitrase mereka (negara). Ia (pemerintah arbiter dengan ekonomi terencananya) harus menyediakan kebutuhan aktual rakyat manakala kebutuhan tersebut muncul, lalu "memilih" siapa yang akan dipuaskan di antara mereka. 

Ia wajib secara konstan memutuskan aneka pertanyaan yang tidak bisa dijawab lewat prinsip yang sifatnya formal. Sehingga dalam membuat keputusan, ia harus memilah perbedaan kelayakan antara aneka orang yang berbeda. Saat pemerintah harus memutuskan berapa banyak babi yang dapat dipelihara atau berapa banyak bus yang boleh berlalu-lalang, mana pertambangan yang boleh beroperasi, atau di harga berapa sepatu bot harus dijual, keputusan ini tidak bisa dideduksi (diturunkan) dari prinsip-prinsip yang sifatnya formal, atau sifatnya baku untuk periode lama. 

Mereka (pemerintah arbiter) ini secara tidak terelakkan bergantung pada situasi ataupun kondisi di suatu waktu, dan di dalam membuat keputusan tersebut, kerap harus melakukan keseimbangan antara kepentingan berbeda dari aneka individu ataupun kelompok. Di ujungnya, pandangan pribadi seseoranglah yang memutuskan kepetingan mana yang lebih penting; dan pandangan ini menjadi bagian dari hukum negara (the law of the land), ciri khas keputusan yang diambil oleh pemerintahan arbiter yang keputusannya akan dipaksakan oleh aparat pemerintah kepada rakyat, juga dengan cara paksa.

Hayek menyatakan bahwa pembedaan yang telah dibuat antara hukum atau keadilan formal dan peraturan substantif (substantive rules) adalah penting, kendati dalam praktek sulit untuk digambarkan. Namun, terdapat prinsip umum yang bisa membantu. Perbedaan antara dua jenis aturan tersebut serupa dengan antara Aturan Jalan Raya, seperti Rambu Jalan Tol, dan memerintahkan orang ke mana harus berjalan; atau, antara menyediakan marka jalan dan memerintahkan orang seputar jalan mana yang harus dilalui.

Aturan formal memberitahu orang seputar tindakan negara seperti apa yang akan diambil dalam situasi tertentu. Tindakan tersebut didefinisikan melalui istilah yang berlaku umum, tanpa merujuk waktu, tempat, atau orang tertentu. Aturan formal mengacu pada situasi tertentu dengan mana orang bisa mengalaminya dan dalam mana keberadaan aturan tertentu berguna dalam mengatur variasi besarnya tujuan individu. 

Pengetahuan bahwa di dalam situasi tertentu negara akan mengambil tindakan tertentu pula, atau mewajibkan orang berperilaku tertentu, disediakan sebagai alat bagi rakyat untuk memanfaatkannya sesuai rencana mereka sendiri. Atural formal, sebab itu, sekadar instrumental dalam pengertian bahwa mereka (aturan) diharapkan akan bermanfaat bagi siapun secara anonim, untuk tujuan mana orang-orang ini dapat memutuskan untuk mempergunakannya, dalam situasi ataupun kondisi apapun. Faktanya, bagi Hayek, kita jadi tahu dampak konkret dari aturan tersebut, kita tidak tahu tujuan akhir yang sifatnya partikular dari aturan ini secara lebih lanjut, atau orang tertentu mana yang akan terbantu oleh aturan tersebut. 

Aturan formal tersebut sekadar diadakan bagi semua untuk menguntungkan semua orang yang terdampak. Bagi Hayek, inilah kriteria terpenting dari aturan formal yang ia gunakan. Aturan formal ini, lanjut Hayek, tidak melibatkan pilihan antara tujuan spesifik ataupun orang secara spesifik, karena kita tidak tahu sebelumnya siapa dan dengan cara apa mereka (aturan formal) akan digunakan.

Selanjutnya, Hayek mengelaborasi Rule of Law ini. Bagi Hayek, argumentasi Rule of Law terdiri atas dua. Pertama, argumen ekonomi. Kedua, argumen moral atau politik. Pertama, Hayek membahas argumen ekonomi. Negara harus membatasi diri hanya pada pembuatan hukum yang sifatnya berlaku untuk aneka jenis situasi. 

Hukum tersebut harus memberi ruang bagi kemerdekaan individual dalam segala hal yang mana bergantung situasi waktu dan tempat, karena hanya individulah yang yang memahami situasi dirinya sehingga akan menyesuaikan tindakan-tindakannya terhadap hukum tersebut. Jika individu mampu menggunakan pengetahuan yang ada pada dirinya secara efektif untuk membuat perencanaan, mereka harus mampu memprediksi tindakan yang akan diberlakukan oleh negara yang berdampak atas rencana mereka (para individu itu). 

Namun, apabila tindakan negara bisa diprediksi, mereka harus harus bisa ditentukan oleh aturan yang bersifat independen dan baku bagi situasi nyata yang tidak bisa dilihat keberlanjutan ataupun diperhitungkan sebelumnya. Dan, dampak khusus tindakan ini tidak bisa diprediksi. Jika, pada sisi lain, negara mengarahkan tindakan individu untuk mencapai tujuan tertentu, tindakan tersebut harus bisa diputuskan atas dasar situasi lengkap dan sebab itu tidak bisa diprediksi. Sebab itu, terjadi fakta umum bahwa semakin negara “merencanakan” maka makin sulit untuk diterapkan perencanaan yang bersifat individual.

Kedua, Hayek membahas aturan formal dari sisi moral dan politik. Jika negara bisa meramalkan secara tepat insiden dari tindakannya, itu artinya negara membiarkan mereka yang terdampak atas aturan dalam posisi tidak punya pilihan lain. Di manapun negara dapat secara tepat menaksir dampak aturannya atas orang tertentu berikut wacana alternatif dari tindakannya, itu membuat negara dapat memilih tujuan yang berbeda. 

Jika kita hendak menciptakan suatu kesempatan terbuka bagi semua, untuk menawarkan kesempatan dengan mana orang dapat menggunakan sesuai kebutuhan mereka, hasil yang pasti tidak bisa diramalkan. Aturan umum, yaitu hukum asli (yang dibedakan Hayek dengan perintah / aturan spesifik), harus dimaksudkan untuk bisa operasional dalam suatu kondisi yang tidak bisa diramalkan secara rinci, dan, secara lebih lanjut, dampak hukum tersebut bagi tujuan tertentu atau orang tertentu tidak bisa diketahui sebelumnya. 

Dalam pengertian ini, aturan hanya mungkin terjadi apabila legislator mengambil posisi imparsial. Menjadi imparsial maknanya adalah tidak punya jawaban untuk pertanyaan tertentu. Ini mirip seperti kita melempar koin dengan mana kita tidak tahu sisi mana yang ada di muka atau di belakang. Di dunia, di mana segala sesuatu dapat diramal secara tepat, negara secara nyata hampir tidak bisa melakukan apapun dan tidak boleh memihak. Namun, manakala dampak kebijakan pemerintah terhadap orang-orang tertentu dapat diprediksi secara tepat, dimana tujuan pemerintah diarahkan atas dampak khusus tersebut, aturan tidak bisa lagi membantu untuk mengetahui aneka dampak ini, dan sebab itu tidak bisa lagi hukum dianggap imparsial. 

Negara harus, karena kebutuhan, melakukan pemihakan, memaksakan penilaiannya pada orang-orang dan, alih-alih membantu mereka dalam memajukan tujuan mereka sendiri, justru malah memilihkan tujuan bagi mereka (orang-orang itu). Segera, setelah dampak khusus bisa diramalkan saat hukum dibuat, ia (hukum) berhenti dan kemudian sekadar menjadi alat oleh pembuat hukum (legislator) atas orang-orang tertentu dan tujuan-tujuan mereka sendiri. 

Negara berhenti untuk sekadar menjadi mesin pemberi manfaat untuk membantu aneka individu dalam memenuhi perkembangan personalitas invidual mereka. Negara sekadar menjadi lembaga ‘moral’, yaitu lembaga yang memaksakan pandangannya atas aneka masalah moral pada warganegara, tidak masalah apakah pandangan tersebut masuk kategori bermoral ataukah imoral. Dalam pengertian ini Nazi atau negara Kolektivis lain adalah negara “moral” sementara negara Liberal tidak.

Hayek secara retoris menyatakan bahwa masalah aturan hukum di pemerintahan arbiter ini tidak memunculkan problem serius karena para perencana ekonomi ini, dalam membuat keputusan, tidak dipengaruhi oleh prejudis individualnya, dan beranggapan seluruh rencana didasarkan atas keadilan dan kemasuk-akalan (common sense). Pendapat semacam ini umumnya beroleh dukungan dari mereka yang memiliki pengalaman dalam melakukan kegiatan perencanaan industri tertentu, merasa tidak ada kesulitan yang tidak dapat diatasi, sehingga yakin mereka dapat membuat keputusan secara adil dan bisa diterima semua pihak. Bagi Hayek, anggapan tersebut tidak membuktikan apapun. Mengapa demikian ? 

Seleksi atas “kepentingan” adalah perhatian utama dalam melakukan perencanaan, dan itu diposisikan oleh industri khusus. Mereka yang lekas tertarik pada satu isu khusus tidak lantas menjadi hakim terbaik bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.  Misalkan, saat modal dan tenaga kerja di suatu industri setuju atas beberapa kebijakan pembatasan dan sebab itu mendorong mereka untuk mengeksploitasi konsumen, biasanya tidak ada kesulitan mengenai pembagian keuntungan secara proporsional dengan pendapatan mereka sebelumnya. Kerugian yang menimpa ribuan atau jutaan konsumen biasanya diabaikan begitu saja atau dianggap tidak perlu jadi perhatian.

Namun, lanjut Hayek, jika kita ingin menguji manfaat dari prinsip "keadilan" dalam memutuskan aneka jenis masalah yang muncul dalam konteks perencanaan ekonomi, kita harus membuat aplikasinya pada sejumlah pertanyaan di mana keuntungan dan kerugian dapat dilihat secara lebih jelas. Ketika kita harus memilih antara upah yang lebih tinggi untuk perawat atau dokter dan layanan yang lebih luas untuk orang sakit, lebih banyak susu untuk anak-anak dan upah yang lebih baik untuk pekerja pertanian, atau antara pekerjaan untuk yang menganggur atau upah yang lebih baik untuk mereka yang sudah bekerja, maka tidak ada sistem nilai yang sifatnya lengkap di mana keinginan setiap orang atau kelompok memiliki jawaban yang memuaskan.

Bagi Hayek, ini menunjukkan fakta tatkala perencanaan ekonomi jadi semakin ekstensif, maka makin penting untuk memenuhi syarat ketentuan hukum guna mengacu pada apa yang "adil" atau "masuk akal." Artinya, menurut Hayek, ini berarti bahwa semakin penting untuk menyerahkan keputusan atas kasus konkret ke tangan diskresi hakim atau otoritas yang bersangkutan. Seseorang dapat menulis sejarah kemundurang Rule of Law, menghilangnya Rechstaat (negara hukum), dalam terminologi pengenalan progresif atas formula yang meragukan ke dalam legislasi dan yuridiksi, dan atas peningkatan kewenangan dan ketidakmenentuan, dan akibatnya tidak menghormati, hukum dan peradilan, yang dalam keadaan ini tidak lagi bisa diharapkan, kendati ia tetap menjadi instrumen kebijakan.

Hayek menambahkan, bahwa penting untuk memberi perhatian dalam hubungan antara proses mundurnya Rule of Law ini, telah berlangsung cukup mapan di Jerman selama beberapa waktu, sebelum Hitler berkuasa, dan bahwa kebijakan tersebut berkembang dengan baik sebagai fundasi perencanaan Totaliter, sehingga membuat tugas Hitler lebih mudah lagi.

Tidak ada keraguan bahwa perencanaan harus melibatkan diskriminasi yang disengaja, yaitu antara kebutuhan khusus orang yang berbeda, dan memungkinkan satu orang untuk melakukan apa yang tidak boleh dilakukan orang lainnya. Diskriminasi ini harus ditetapkan lewat aturan hukum. Aturan ini merinci seberapa layak orang-orang tertentu dan orang-orang berbeda untuk diberi izin (konsesi) untuk memiliki atau melakukan tindakan tertentu. Ini berarti kembali ke aturan status, yaitu pembalikan dari "gerakan masyarakat progresif" yang, dalam ungkapan terkenal Sir Henry Maine, "sampai sekarang merupakan perpindahan dari status ke kontrak." 

Hayek menyatakan bahwa memang, Rule of Law, lebih dari sekadar aturan kontrak, mungkin harus dianggap lawan utama dari aturan status. Rule of Law lah, dalam pengertian aturan hukum formal, ketiadaan hak istimewa yang sifatnya legal atas orang-orang tertentu yang ditentukan otoritas, yang melindungi kesetaraan di hadapan hukum yang merupakan kebalikan dari pemerintahan yang arbiter.

Hayek melanjutkan, hasil yang diperlukan, dan tampak paradoksal, adalah kesetaraan formal di hadapan hukum ada dalam posisi konfliktual. Konflik ini secara nyata tidak sesuai, dengan fungsi pemerintah yang diarahkan secara sengaja untuk menguntungkan kesetaraan materi dan substansi lain dari orang yang berbeda. Sehingga, kebijakan apa pun yang ditujukan untuk mencapai substansi ideal dari keadilan distributif hanya akan mengarah pada penghancuran Rule of Law.

Hayek berargumen, untuk memberi aneka orang berbeda kesempatan obyektif yang sama, bukan dengan memberi mereka kesempatan subyektif. Tidak bisa disangkal bahwa Rule of Law menghasilkan ketimpangan ekonomi. Hal yang bisa membela adalah kenyataan bahwa ketimpangan akibat Rule of Law dilakukan secara sengaja seperti yang terjadi pada pemerintah arbiter.

Bagi Hayek, Rule of Law hanya bisa efektif apabila diaplikasikan tanpa adanya pengecualian. Konflik antara keadilan formal dan kesetaraan formal di mata hukum di satu sisi, dan upaya merealisasikan aneka gagasan keadilan dan kesetaraan substantif di sisi lain, menambah pada melebarkan kebingungan seputar konsep privilese (pengistimewaan) dan penyalahgunaan yang terjadi. 

Penyalahgunaan ini misalnya di bidang pengistimewaan properti. Ia tentu termasuk pengistimewaan jika, sebagai contoh, di masa lalu tanah selalu menjadi milik kaum bangsawan. Dan, pengistimewaan tersebut, di masa kini, adalah hak untuk memproduksi atau menjual komoditas tertentu yang diserahkan pada orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, untuk menyebut hal tersebut sebagai properti privat, di mana semua dapat memperoleh atas nama aturan yang sama, suatu privilese, karena hanya berlaku bagi suatu kelompok yang memperolehya, mencederai makna dari privilese itu sendiri.

Hayek berujar, tidak bisa diprediksinya dampak tertentu (khusus) inilah yang membedakan karakteristik hukum formal di sistem Liberal. Juga penting bagi kita karena hukum formal tersebut membantu kita untuk secara melakukan penjernihan atas kebingungan lain yang menjadi sifat alami sistem ini: keyakinan bahwa kebingungan tersebut bersumber dari kelambanan putusan yang dilakukan pemerintah. Dalam sistem Liberal, pertanyaan apakah negara harus atau tidak harus bertindak atau “ikut campur,” merupakan suatu dilema, dan terminologi laissez-faire merupakan deskripsi yang sangat ambigu dan dan kurang tepat untuk digunakan dalam hal prinsip yang menjadi fundamen kebijakan Liberal.

Rule of Law hanya mewujud selama periode Liberal berlangsung, dan sekaligus merupakan pencapaian terbesar ideologi ini. Tidak hanya sebagai katup-pengaman tetapi jaminan hukum bagi kemerdekaan. Hayek, mengutip Immanuel Kant, “manusia itu bebas jika ia patuh bukan pada siapapun melainkan hanya pada hukum.” Gagasan bahwa tidak ada kuasa legislatif adalah esensi dari kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis.

Rule of Law sebab itu berdampak pada pembatasan lingkup legislasi: Ia membatasi diri pada jenis aturan umum yang dikenal sebagai hukum formal, dan meniadakan legislasi yang diarahkan secara sengaja untuk orang-orang tertentu, atau pada pemungkinan penggunaan kuasa memaksa dari negara untuk tujuan yang diskriminatif. Ini artinya, bukan bahwa segala sesuatu diatur oleh hukum, tetapi sebaliknya, bahwa kekuasaan yang memaksa dari negara dapat digunakan hanya dalam kasus yang didefinisikan secara jelas oleh hukum dan bisa diprediksi bentuk tindakan tersebut sebelumnya.


Bahan Renungan

Artikel ini didasarkan atas bagian Pengantar, Bab I, II, III, IV, dan VI dalam Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Abingdon & New York: Routledge Classics, 2001).

Posting Komentar

0 Komentar