Spirit Otonomi Daerah
Spirit utama dalam otonomi daerah adalah urusan pemerintahan atau kewenangan yang didesentralisasikan, yang tadinya dipegang oleh pusat untuk diberikan kepada daerah. Urusan yang minta untuk diserahkan tersebut akan dijalankan seluas-luasnya oleh daerah, meliputi perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasinya.
![]() |
https://pages.uoregon.edu/vburris/whorules/ |
Urusan Absolut adalah wewenang penuh pemerintah pusat. Urusan Konkuren (ini yang menjadi spirit utama) dibagi antara pemerintah pusat, daerah tingkat pertama, dan daerah tingkat kedua. Urusan ini yang paling rumit dan spesifik diatur karena berkenaan dengan kesejahteraan daerah.
Urusan Umum adalah urusan pemerintah pusat yang pelaksanaannya berkolaborasi dengan daerah secara proporsional. Intinya adalah, pemerintah pusat tetap memegang urusan pemerintahan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang terdiri atas agama, pendidikan, hubungan luar negeri, moneter dan fiskal, pertahan, dan keamanan.
Urusan-urusan lainnya di luar enam dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal urusan yang dipegang oleh pemerintah daerah harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan dan kapasitas daerah.
Rasionalisasi Otonomi Daerah
Dalam menyusun otonomi daerah dikenal dasar rasionalisasinya. Rasionalisasi ini adalah dasar kemasukakalan (jadi bukan mengada-ada akibat euphoria demokrasi) mengapa otonomi daerah perlu diberlakukan di Indonesia. Rasionalitas tersebut ada empat yaitu aspek fisik kewilayahan, aspek legal konstitusional, aspek penduduk, dan aspek good governance.
Dalam aspek fisik kewilayahan, maka rasionalitas otonomi daerah didasarkan atas kenyataan faktual bahwa luas wilayah Indonesia itu sangat besar. Indonesia terdiri atas 1,9 juta kilometer persegi luas daratan, luas lautan yang 1,5 kali luas daratan, keberadaan pulau besar menengah dan kecil sejumlah 17.508 pulau, dan masih banyaknya daerah terisolir atau remote area seperti banyak terdapat di Papua, Papua Barat, Kalimantan, dan Maluku. Dalam aspek ini maka otonomi daerah dirasionalisasi sebagai upaya untuk lebih penetratif, efektif, dan efisien dalam memanajemen aspek fisik kewilayahan ini.
Dalam aspek legal konstitusional dasarnya adalah kontitusi 1945. Sebelum konstitusi diamandemen pasca transisi politik 1998, Pasal 18 sudah mengamanatkan harus adanya otonomi daerah yaitu di Pasal 18. Ini adalah amanat dari founding fathers bahwa daerah harus diperhatikan pengelolaannya oleh siapapun rezim yang memerintah Republik Indonesia. Sebagai hasilnya, maka konstitusi hasil amandemen mengembangkan konsep otonomi daerah di Pasal 18 tersebut menjadi konsep otonomi daerah dan otonomi khusus. Hal ini dapat disimak di Pasal 18, 18A, dan 18B.
Dengan dasar ini maka kini Indonesia telah memiliki undang-undang yang memayungi kekhususan/keistimewaan provinsi-provinsi seperti Aceh, Papua Barat, Papua, Yogyakarta, dan DKI Jakarta, dengan adanya kecenderungan sejumlah provinsi yang menghendaki aturan otonomi khusus atau keistimewaan bagi daerahnya. Selain itu, UU No.23/2014 sebagai turunan dari Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 yang membagi urusan pemerintahan antara pusat dan daerah secara terperinci (lengkap dengan Lampirannya, yang kerap luput diperhatikan dan "malas" dibaca).
Dalam aspek penduduk, secara demografis Indonesia mengurus “terlalu” banyak penduduk. Tidak bisa dibayangkan apabila seluruh urusan pusat saja yang mengelola. Jumlah penduduk Indonesia kini sudah lebih dari 270 juta jiwa dengan multietnis sebesar 1340 suku bangsa, dengan sekurangnya 6 agama dan sekitar 245 aliran. Karena potensi konflik yang besar, maka pemerintah pusat tetap mengurus agama dengan terus mempertahankan Kementerian Agama.
Dalam aspek good governance maka otonomi daerah dirasionalisasikan untuk mengembangkan dua konsentrasi pemerintahan. Pemerintah pusat akan lebih ringan dan ramping organisasinya. Pada sisi lain pemerintah daerah akan lebih efisien, efektif, transparan, akuntabel dan partisipatif. Otonomi daerah juga berupaya menciptakan pemerintahan daerah yang lebih kreatif dan inovatif, juga demokratis dengan memberi kesempatan mereka melangsungkan public services yang lebih baik.
Dengan demikian, pada hakikatnya otonomi daerah adalah penjabaran rinci atas aneka kewenangan atau urusan pemerintahan yang meliputi komponen kelembagaa, sumberdaya manusia (birokrasi), keuangan daerah, regulasi lokal, penyelenggaraan pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD), dan pengawasan. Ketujuh hal ini adalah inti pokok dari apa yang tersemat di dalam konsep otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia.
Dinamika otonomi daerah Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini bervariasi, yaitu dalam hal maksimumitas sentralisasi dan desentralisasinya. Aturan otonomi daerah yang paling sentralistik adalah UU No.5/1974 yang diimplementasikan saat Orde Baru. Sebab itulah tuntutan otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan paling krusial pasca transisi politik 1998.
Hasilnya adalah hadirnya UU No. 22/1999 yang sangat desentralistik, yang akibatnya kemudian direvisi oleh UU No. 32/2004 yang lebih moderat, dan kini UU revisinya yaitu UU No. 23/2014 sebagai bentuk win-win solutionnya.
Hubungan Kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Daerah
Dalam konteks otonomi daerah, presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dan ini sesuai dengan amanat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, sebagai efek pasal konstitusi tersebut, presiden adalah penanggung jawab utama atas penyelenggaraan otonomi daerah.
Berhasil tidaknya implementasi otonomi daerah ada di pundak presiden dan tanggung jawab ini cukup berat mengingat presiden agak sulit bergerak leluasa lagi di tingkat daerah (sudah ada Pilkada Langsung). Di tingkat nasional, presiden sesuai amanat Pasal 17 UUD 1945 mengangkat menteri-menteri dan aneka kepala lembaga setingkat kementerian (BPS, BIN, dan sejenisnya) untuk memimpin kementerian yang sifatnya menjalankan tugas teknis hingga ke daerah.
Sifat kementerian ini adalah koordinasi, pembinaan, dan pengawasan, bukan pelaksana sebagian urusan yang sudah dibagi antara pusat dan daerah. Sebagian urusan ini diserahkan kepada daerah, sementara sebagian lainnya tetap di tangan pemerintah pusat.
Kewenangan komando kementerian dan lembaga-lembaga tingkat pusat sebab itu tidak lagi bisa disebut “komando langsung” melainkan komando tidak langsung. Pelaksana pemerintahan di tingkat daerah Pertama adalah gubernur dengan mitranya DPRD Tingkat I.
Posisi Gubernur dengan demikian, secara konstitusi, adalah wakil pemerintah pusat. Penyelenggara pemerintahan daerah tingkat satu adalah gubernur, bukan presiden sebab presiden lebih berperan sebagai koordinator, pembina, dan pengawas saja.
Demikian pula dari daerah tingkat pertama ke kedua, gubernur adalah koordinator, pembina, dan pengawas penyelenggara pemerintahan daerah tingkat dua yang diposisikan oleh bupati atau walikota dengan mitranya DPRD Tingkat II. Penyelenggara pemerintahan di daerah tingkat II adalah bupati/walikota, bukan gubernur. Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat didasarkan atas sifat pembagian kewenangan ini.
Bagaimana tepatnya kedudukan pemerintah pusat di hadapan pemerintah daerah? Indonesia masih menganut konsep negara kesatuan, bukan federasi. Sebab itu maka hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa disimpulkan dalam sejumlah hal berikut:
- Urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan presiden. Dengan demikian, bukan daerah yang membagi kekuasaannya dengan pusat melainkan sebaliknya, pusat yang membagi kekuasaannya kepada daerah.
- Presiden menetapkan pedoman penyelenggaraan urusan pemerintahan dan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Ini berdasar asumsi pertama, bahwa pusat yang memberikan kekuasaan pada daerah dan sebab itu pusat memiliki kepentingan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan terhadap pemerintahan daerah. Pusat wajib turun tangan apabila penyelenggaraan otonomi daerah di suatu wilayah memiliki hambatan ataupun inefektivitas.
- Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tingkat provinsi dilaksakan oleh oleh pemerintah pusat, sementara pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
- Hubungan presiden dengan gubernur, bupati, dan walikota serta hubungan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan bupati/walikota sifatnya hirarkis: Yang atas lebih berkuasa dari yang di bawah. Ini berbeda dengan konsep pembagian kekuasaan di negara federasi, di mana negara bagian memiliki kedaulatan yang tidak bisa diganggu-gugat oleh pemerintah nasional apabila sudah dijamin di dalam konstitusi negara bagian.
Dalam diskusi otonomi daerah menarik untuk dikaji konsep teoretis mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan. Pemisahan kekuasaan (separation of power) berkenaan dengan kekuasaan negara dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep ini populer disebut Trias Politika.
Di sisi lain pembagian kekuasaan (distribution or sharing or division of power) berkenaan dengan distribusi atau penyerahan urusan pemerintahan menurut tingkatnya, yaitu antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dengan demikian, secara teoretis otonomi daerah berkenaan dengan division of power ini. Ada pihak yang memiliki kekuasaan kemudian mendistribusikannya kepada pemerintahan jenis lain untuk melaksanakan kekuasaan yang mereka serahkan tersebut.
Pada sisi lain, separation of power lebih tepat dialamatkan pada bagaimana kekuasaan terpisah di aneka lembaga level pusat seperti KPU, Bank Sentral, DPR, “MPR”, DPD, Presiden dan Wapres, MA, MK, KY, dan BPK. Separation of power berlaku untuk cabang-cabang pemerintahan yang setara, sementara division of power berlaku untuk cabang-cabang pemerintahan yang tidak setara atau tersusun secara hirarkis. Dengan demikian presiden, gubernur, dan bupati/walikota satu sama lain tidak setara posisinya dalam hal kepemilikan kekuasaan.
Dalam konteks division of power antara pemerintah pusat dan daerah ada empat cara dalam melakukan pembagian, yaitu secara formal, material, residu, dan riil.
Secara formal artinya pembagian kekuasaan tersebut ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan. Secara material maknanya adalah pembagian kekuasaan dirinci satu per satu ke dalam Undang-undang. Secara residu artinya bahwa sisa kewenangan yang dipegang pusat dianggap menjadi kewenangan daerah. Secara riil artinya kekuasaan disesuaikan dengan kebutuhan ataupun kemampuan riil dari daerah yang akan diserahi kekuasaan tersebut.
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.