Ad Code

Soeharto dan Gagasan Kekuasaan Jawa

Soeharto, hingga kini adalah satu-satunya pemimpin politik dengan kekuasaan terlama di Republik Indonesia. Menarik untuk membedah tata cara Soeharto menerapkan kekuasaan politiknya melalui kacamata “kekuasaan Jawa.” Dari kacamata kekuasaan Jawa, menarik untuk kita bahas penjelasan dari Benedict Anderson seputar gagasan kekuasaan dalam budaya Jawa. Soeharto kemungkinan besar mempersepsi kekuasaan pada dirinya akibat pengaruh budaya Jawa.


Soeharto dan Gagasan Kekuasaan Jawa
Soeharto Tengah Merokok Cerutu
https://www.viva.co.id/edukasi/1483004-profil-singkat-soeharto-the-smiling-general

Budaya ini adalah aspek nurture atau nilai-nilai masyarakat di sekeliling yang kemudian terintrojeksikan ke dalam diri Soeharto lalu mengarahkan aneka tindakannya. Seperti telah dikemukakan, bahwa untuk menjelaskan hal ini akan digunakan pendapat Benedict Anderson seputar gagasan kekuasaan dalam budaya Jawa. [01]

Benedict R. O’G. Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture“ dalam Culture and Politics in Indonesia, Claire Holt, ed. Singapore: Equinox Publishing, 2007. pp. 1-69

Anderson mengkontraskan empat gagasan kekuasaan Barat dengan Jawa seperti termuat dalam Tabel . Pertama, jika Barat memandang "power is abstract " [kekuasaan itu abstrak] maka budaya Jawa memandang "power is concrete" [kekuasaan itu nyata]. Menurut Anderson gagasan bahwa kekuasaan itu nyata adalah premis inti pemikiran politik Jawa, dengan menjelaskan:

"Power exists, independent of its possible users. It is not a theoretical postulate but an existensial reality. Power is intangible, mysterious, and divine energy which animates the universe. It is manifested in every aspect of the natural world, in stones, trees, clouds, and fire, but is expressed quintessentially in the central mystery of life, the process of generation and regeneration ... no sharp division between organic and inorganic matter, for everything is sustained by the same invisible power." [02] 
[Kekuasaan itu nyata ada, sifatnya independen dari siapapun penggunanya. Kekuasaan bukan postulat teoretis tetapi suatu kenyataan yang bersifat eksistensial. Kekuasaan tidak berwujud, misterius, dan merupakan energi ilahiah yang menggerakkan alam semesta. Kekuasaan termanifestasi dalam setiap aspek kehidupan alam, dalam batuan, pepohonan, arakan awan, dan api, tetapi pada dasarnya diekspresikan dalam misteri sentral kehidupan, proses generasi dan regenerasi ... tidak ada pemisahan tajam antara materi organik dan anorganik, karena semua itu dipelihara oleh kekuatan tak terlihat yang sama.]

Menurut Anderson, budaya Jawa memandang kekuasaan itu bersifat nyata, bukan gagasan abstrak seperti berkembang di budaya Barat. Kekuasaan mengandung energi ilahiah yang mampu menggerakkan alam semesta. Kekuasaan menjelma dalam setiap aspek kehidupan, baik benda hidup (misalnya manusia) ataupun tak hidup (misalnya bebatuan).

Karena sifatnya independen dari siapapun penggunanya maka konsekuensinya kekuasaan dapat diambil, diserahkan, dipinjam, direbut, atau dipertahankan. Dalam cara pandang ini, Soeharto memandang dirinya telah mengambil kekuasaan dari Sukarno dan sebagai akibatnya Sukarno tidak lagi punya kekuasaan.

Dengan tidak adanya kekuasaan nyata dari Sukarno maka ia tidak boleh lagi berkuasa. Kekuasaan kini sudah beralih dan tergenggam di dalam tangannya. Secara singkat, kekuasaan yang tadinya digenggam dalam tangan Sukarno dipindahkan atau diambil-oper oleh Soeharto. Kekuasaan tersebut adalah sama, yaitu kekuasaan untuk mengatur Republik Indonesia.

Kedua, jika Barat memandang "the sources of power are heterogeneous" [sumber kekuasaan bersifat heterogen] maka budaya Jawa memandang "power is homogeneous" [kekuasaan bersifat homogen].

Untuk menjelaskan sifat homogen dari kekuasaan dalam cara pandang budaya Jawa, Anderson menjelaskan:

It follows from this conception that all power is of the same type and has the same source. Power in the hands of one individual or one groups is identical with power in the hands of any other individual or group.” [03]
[Berdasarkan konsepsi ini dinyatakan bahwa semua kekuasaan punya jenis dan sumber yang sama. Kekuasaan di tangan satu individu atau kelompok identik dengan kekuasaan di tangan individu atau kelompok lain].

Dari konsepsi kedua, budaya Jawa memandang kekuasaan itu bersifat homogen, dengan sumber dan jenis yang sama, tunggal. Kekuasaan yang dipegang oleh satu individu atau oleh kelompok adalah sama, yaitu sama-sama kekuasaan dalam manifestasinya yang identik.

Jika Aristoteles membedakan kekuasaan sebagai berjenis monarki, aristokrasi, ataupun polity, maka bagi budaya Jawa semuanya sama baik di tangan banyak orang, sedikit orang, atau satu orang jenisnya adalah sama: Kekuasaan. Bagi pandangan Jawa, kekuasaan di tangan pihak satu ataupun di tangan pihak musuh adalah sama yaitu kekuasaan yang identik, serupa. Dari penjelasan ini maka kekuasaan personal Soeharto sifatnya campur aduk dengan kekuasaan lembaga.

Tidak ada perbedaan antara kekuasaan di tangan angkatan bersenjata dengan kekuasaan Soeharto. Tidak ada perbedaan antara kekuasaan di tangan parlemen dengan kekuasaan Soeharto. Tidak ada perbedaan antara kekuasaan di tangan hirarki kekuasaan Soeharto dengan kekuasaan di tangan sejumlah hirarki lain seperti partai-partai politik, kekuatan politik Islam, Golkar, dan aneka kelompok intelektual serta tokoh-tokoh mahasiswa. Semua adalah kekuasaan yang sama tinggal persoalannya kekuasaan itu siapa yang harus memonopoli.

Dalam cara pandang budaya Jawa, maka kekuasaan tentu saja harus ada di dalam genggaman Soeharto bukan individu atau kekuatan politik lain. Ini juga menjelaskan perlunya Soeharto menghentikan dualisme kepemimpinan politik nasional sejak 1965.

Ketiga, jika Barat memandang "the accumulation of power has no inherent limits" [akumulasi kekuasaan tidak memiliki batasan yang melekat] maka budaya Jawa menggagas "the quantum of power in the universe is constant" [jumlah atau bagian kekuasaan di alam semesta bersifat tetap].

Mengenai gagasan tetapnya kekuasaan di alam semesta ini Anderson menjelaskan secara agak panjang:

"In the Javanese view, the cosmos is neither expanding nor contracting. The total amount of power within it, too, remains fixed. Since power simply exists, and is not the product of organization, wealth, weapons, or anything else -- indeed precedes all of these and makes them what they are -- its total quantity does not change, even though the distribution of power in the universe may vary. For political theory, this has the important corollary that concentration of power in one place or in one person requires a proportional diminution elsewhere." [04]
[Dalam pandangan Jawa, semesta itu tidak mengembang ataupun menyusut. Jumlah seluruh kekuasaan di dalamnya, juga, tetap saja sama. Karena kekuasaan itu begitu saja ada, dan bukan dihasilkan oleh organisasi, kekayaan, persenjataan, atau apa pun - (kekuasaan) mendahului semuanya dan menjadikannya apa adanya - jumlah keseluruhannya tidak berubah, kendatipun distribusi kekuasaan di alam semesta mungkin saja berbeda. Bagi teori politik, hal ini memiliki konsekuensi penting bahwa pemusatan kekuasaan di satu tempat atau di satu orang memerlukan pengurangannya secara proporsional di tempat lain.]

Perkembangan kosmologi kontemporer Barat, terutama didukung teori relativitas Albert Einstein, menganggap bahwa alam semesta itu mengembang seperti balon yang ditiup. Budaya Jawa memandang sebaliknya, alam semesta itu bersifat tetap, tidak mengembang juga menyusut. Sebab itu kekuasaan jumlahnya tetap, tidak berkurang juga tidak bertambah.

Kekuasaan tumbuh mendahului lainnya, hadir begitu saja, bukan merupakan akibat memiliki sesuatu seperti kekayaan ataupun persenjataan. Ken Arok pendiri Singasari bangkit menuju kekuasaan karena ia menganggap dirinya menerima pulung sebagai berkah ilahiah bahwa ia ditakdirkan untuk berkuasa. [05]

Demikian pula Soeharto mungkin mempersepsinya, sejak 1 Oktober 1965 ia meyakini bahwa pulung kekuasaan sudah jatuh kepada dirinya, dan ini membuatnya seolah begitu yakin melakukan langkah-langkah politik untuk mengatasi pergolakan untuk kemudian menggenggam kekuasaan negara.

Masih membahas pandangan Anderson yang ketiga, bahwa Soeharto pun kemungkinan meyakini bahwa dapat saja kekuasaan terdistribusi. Sebab itu untuk melakukan pemusatan kekuasaan ia harus mengurangi kekuasaan di tempat-tempat lain.

Kekuasaan di Indonesia dalam kurun 1965 hingga 1968 awalnya tersebar di Sukarno dan PKI yang kemudian ia ambil dan hilangkan dari mereka. Lalu pada kurun 1968-1971 kekuasaan ternyata tersebar di aneka kekuatan politik Islam, partai politik, kelompok intelektual, dan dalam tubuh angkatan bersenjata. Satu per satu ia lakukan langkah untuk mengambil dari masing-masing pihak sehingga hasil akhirnya adalah kekuasaan dapat terpusat ke dalam tangannya.

Keempat, jika Barat memandang "power is morally ambiguous" [kekuasaan itu secara moral bersifat ambigu] maka budaya Jawa memandang "power does not raise the question of legitimacy" [kekuasaan tidak menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi].

Mengenai tidak ada pandangan soal legitimasi dalam kekuasaan Jawa ini, Anderson menjelaskan juga :

"Since all power derives from a single homogeneous source, power itself antecedes questions of good and evil. To the Javanese way of thinking it would be meaningless to claim the right to rule on the basis of differential sources of power --- for example, to say that power based on wealth is is legitimate, whereas power based on guns is illegitimate. Power is neither legitimate nor illegitimate. Power is." [06]
[Karena semua kekuasaan berasal dari sumber yang homogen, maka kekuasaan itu sendiri (sebagai konsekuensinya) mendahului pertanyaan tentang baik dan jahat. Bagi cara berpikir orang Jawa, tidak ada artinya mengklaim hak untuk memerintah atas dasar sumber kekuasaan yang berbeda - misalnya, mengatakan bahwa kekuasaan berdasarkan kekayaan adalah berlegitimasi (sah), sedangkan kekuasaan berdasarkan senjata adalah tidak berlegitimasi (sah). Kekuasaan bukan masalah berlegitimasi atau tidak berlegitimasi. Kekuasaan adalah kekuasaan.]

Kekuasaan adalah kekuasaan, tidak ada kekuasaan yang satu bersifat sah sementara lainnya tidak. Kekuasaan apabila hadir di tangan satu atau sekelompok orang tidak ada masalah berlegitimasi ataupun tidak. Kekuasaan adalah entitas yang kehadirannya mendahulu konsep baik ataupun jahat karena sifatnya ilahiah.

Karena menggenggam kekuasaan yang tidak ambigu secara moral, maka Soeharto menjalankan kekuasaan sebagaimana mestinya entitas tersebut dijalankan. Karena kekuasaan sudah ada di dalam genggamannya maka tidak masuk akal apabila individu atau kelompok lain mempertanyakan legitimasi kekuasaannya.

Kekuasaan akan ia jalankan sebagaimana konsepsi yang pertama, bahwa kekuasaan itu memiliki sifat ilahiah. Dengan demikian, ia akan menjalankan kekuasaan dengan prinsip tersebut yang bertujuan untuk mengatur semesta, yang dalam konteks ini negara Republik Indonesia.

Konsep kekuasaan Jawa versi Anderson ini menjelaskan bagaimana Soeharto mempersepsi kekuasaan dirinya. Konsepsi tersebut tentu saja berpengaruh besar terhadap seluruh perilaku kekuasaan yang ia tunjukkan selama kurun 1965 hingga 1971. Tidak semua individu dominan di setiap kekuatan politik baik yang berasal dari Jawa terlebih dari luar Jawa punya persepsi kekuasaan yang serupa dengan Soeharto. Tokoh-tokoh seperti Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Nasution, Burhanuddin Harahap, Adam Malik, B.J. Habibie, dan sederet tokoh non Jawa tentu tidak lantas menerima gagasan kekuasaan semacam Soeharto.


Catatan Kaki

[01] Benedict R. O’G. Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture“ dalam Culture and Politics in Indonesia, Claire Holt, ed. Singapore: Equinox Publishing, 2007. pp. 1-69. Artikel ini juga pernah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa” dalam bunga rampai yang disusun oleh Miriam Budiardjo, ed. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Cetakan 1. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984. Artikel Anderson ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1972 oleh Cornell University.

[02] ibid., p. 8.

[03] ibid., p. 7.

[04] ibid., p. 7-8.

[05] Mengenai pulung ini Geertz menulis … “ … a special kind of political spirit … which, visible and shaped like a moon …” [Mereka yang mendapat pulung sama dengan hak untuk berkuasa.] Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1960. p. 26.

[06] ibid., p. 8.

Posting Komentar

0 Komentar