Feith dan Castles mengambil sampel berdasarkan hadirnya empat partai politik besar pasca Pemilu 1955 yaitu Partai Nasional Indonesia (nasionalisme radikal), Masyumi (Islam moderen), Nahdlatul Ulama (Islam tradisional), dan Partai Komunis Indonesia (komunisme). Empat partai ini lalu ditambah kenyataan adanya satu partai yaitu Partai Sosialis Indonesia, yang secara kuantitatif anggotanya kecil tetapi memiliki kader yang mampu menjadi menteri kendati suara partai mereka sangat tidak signifikan.
Feith dan Castles menulis bahwa kelima politik aliran muncul akibat terpaan dua pengaruh. Pada satu sisi adalah pengaruh Barat dan pada sisi lain adalah pengaruh tradisi Hindu-Jawa dan Islam. Pengaruh Barat paling kuat menerpa aliran komunisme, nasionalisme radikal, sosialisme demokratik, dan hingga derajat tertentu Islam moderen.
Pengaruh tradisi Hindu-Jawa paling kuat mempengaruhi aspek tradisionalisme di tubuh nasionalisme radikal, kejawaan di aliran komunisme, dan sebagian aliran Islam tradisional. Sementara itu tradisi Islam paling kuat menerpa Islam moderen, Islam tradisional, dan hingga derajat tertentu aliran sosialisme demokratik. Aliran komunisme terkotak sendiri, karena ia memang berbeda, dan hanya bersinggungan dengan akar tradisionalisme Jawa. Sebab itu PKI cukup populer di Jawa terutama di kalangan yang disebut Clifford Geertz sebagai Abangan.
Tradisionalisme Jawa pun menjadi akar bagi nasionalisme radikal, terutama di tubuh PNI. Kalangan Abangan dan Priyayi banyak menjadi anggota PNI. Sebab itu antara PNI dan PKI kerap saling berebut massa. Tradisionalisme Jawa juga memiliki akar di Islam tradisional yaitu NU. Akar tradisionalisme Jawa inilah yang membuat antara NU dan PNI cukup mudah berkoalisi. Namun, baik PNI maupun NU tetap sulit berkoalisi dengan PKI mengingat komunisme cukup besar pengaruh Barat berikut nilai-nilai materialisme yang ditolak oleh NU dan nilai-nilai proletariat mereka juga ditolak oleh PNI.
Tradisi Islam mengakar baik di tubuh aliran Islam moderen maupun Islam tradisional. Namun, aliran Islam tradisional juga memiliki akar dari tradisionalisme Jawa. Aliran Islam moderen terbentuk terutama sejak tahun 1912 saat Muhammadiyah berdiri. Muhammadiyah berdiri sebagai otokritik di dalam implementasi praktek Islam nusantara. Wujud politik dari gerakan pembaruan ini adalah aliran Islam moderen yang representasi paling kuatnya ada di tubuh Masyumi.
Di dalam tubuh Masyumi pun turut berpengaruh aliran sosialisme demokratik. Pengaruh Barat ini membuat Masyumi muncul sebagai partai berbasis tradisi Islam moderen ditambah pengaruh Barat, yaitu kepercayaan atas sistem pemerintahan demokrasi perwakilan.
Pada lain pihak aliran Islam tradisionalis di dalam NU tidak memperoleh pengaruh sosialisme demokratik, melainkan hanya tradisionalisme Jawa. Sebab itu kendati sama-sama berakar pada tradisi Islam, massa NU dan Masyumi sulit untuk saling menyeberang satu sama lain. Atau perkataan lain, akar massa NU dan Masyumi bersifat fix.
Aliran sosialisme demokratik adalah wujud pengaruh kuat dari Barat. Nilai-nilai egalitarian, individualitas, dan kepercayaan atas nilai-nilai positif peradaban Barat membuat PSI selaku representasinya lebih mengedepankan rasionalitas ketimbang emosionalitas dalam melakukan pengkaderan massa mereka.
Akibatnya mereka lebih bersandar pada kekuatan individual kader ketimbang basis massa yang luas seperti PKI ataupun PNI. Aliran sosialisme demokratik juga menyentuh tubuh aliran nasionalisme radikal dan Islam moderen. Ini mengakibatkan tokoh-tokoh PSI dan Masyumi cukup mudah untuk bekerja sama. Bahkan keduanya merupakan oposan Sukarno saat penerapan demokrasi terpimpin.
Namun, aliran sosialisme demokratik sulit menerima akar PNI yaitu tradisionalisme Jawa. Sama seperti Islam moderen selaku wujud otokritik atas Islam “lama” Indonesia, kehadiran PSI juga merupakan wujud otokritik atas karakter partai massa PNI yang masih mengedepankan aspek emosional di dalam pembangunan kader dan massa mereka.
Keempat aliran yaitu Islam moderen, Islam tradisional, sosialisme demokratik, dan nasionalisme radikal sama-sama tidak memiliki persentuhan dengan komunisme. Keempat aliran ini cenderung memisah dari komunisme sehingga membuat doktrin Nasakom Sukarno sulit untuk diimplementasikan. Kesulitan ini paling tidak dapat terlihat dari akar-akar pengaruh di keempat aliran.
Kecenderungan paling dekat akar komunisme adalah nasionalisme radikal, tetapi PNI yang banyak dipimpin kalangan Priyayi tentu tidak akan pernah bisa menerima program-program “proletariat-egalitarian” dari PKI. Justru malah karena kesamaan akar massa yang kemudian mendorong PNI dan PKI mengalami rivalitas di tingkat massa.
Lima aliran politik menurut Feith dan Castles dimaksudkan untuk menggambarkan ideologi politik yang pernah berkembang di Indonesia sejak 1945 hingga 1965. Sejak 1965 PKI dibubarkan lalu ke mana larinya massa PKI yang katanya besar itu?
Massa PKI tertarik menjadi anggota partai bukan akibat ajaran materialisme historis Karl Marx, revolusioner Lenin, ataupun kekuatan tani Mao. Massa tertarik masuk ke dalam PKI karena kampanye-kampanye PKI seperti reformasi agraria, penghapusan tujuh setan desa, pemerataan kemakmuran, redistribusi nilai lebih dari pengusaha kepada buruh, dan sejenisnya. Sebab itu sangat mungkin, karena memiliki akar sama yaitu tradisionalisme Jawa, para pemilih PKI menjadi medial voter bagi PNI. Atau dapat pula bagi kalangan Abangannya yang mulai mempelajari Islam lantas bergabung dengan NU.
Persoalan dari kategorisasi Feith dan Castles adalah ia didasarkan atas sampel partai politik hasil Pemilu 1955. Pemilu 1955 dapat dikatakan sebagai media tempat aneka ideologi yang satu sama lain saling kontrasi berkompetisi. Situasi ini menjadi berbeda manakala Soeharto mulai menguasai politik Indonesia. Soeharto tidak lagi mempercayai politik yang didasarkan ideologi-ideologi lama, yang hanya mengakibatkan sulitnya kohesi masyarakat secara politik.
Feith dan Castles menulis bahwa kelima politik aliran muncul akibat terpaan dua pengaruh. Pada satu sisi adalah pengaruh Barat dan pada sisi lain adalah pengaruh tradisi Hindu-Jawa dan Islam. Pengaruh Barat paling kuat menerpa aliran komunisme, nasionalisme radikal, sosialisme demokratik, dan hingga derajat tertentu Islam moderen.
![]() |
https://kumparan.com/shafira-rayhana/a-comparison-between-indonesian-ideology-pancasila-and-other-countries-ideology |
Pengaruh tradisi Hindu-Jawa paling kuat mempengaruhi aspek tradisionalisme di tubuh nasionalisme radikal, kejawaan di aliran komunisme, dan sebagian aliran Islam tradisional. Sementara itu tradisi Islam paling kuat menerpa Islam moderen, Islam tradisional, dan hingga derajat tertentu aliran sosialisme demokratik. Aliran komunisme terkotak sendiri, karena ia memang berbeda, dan hanya bersinggungan dengan akar tradisionalisme Jawa. Sebab itu PKI cukup populer di Jawa terutama di kalangan yang disebut Clifford Geertz sebagai Abangan.
Tradisionalisme Jawa pun menjadi akar bagi nasionalisme radikal, terutama di tubuh PNI. Kalangan Abangan dan Priyayi banyak menjadi anggota PNI. Sebab itu antara PNI dan PKI kerap saling berebut massa. Tradisionalisme Jawa juga memiliki akar di Islam tradisional yaitu NU. Akar tradisionalisme Jawa inilah yang membuat antara NU dan PNI cukup mudah berkoalisi. Namun, baik PNI maupun NU tetap sulit berkoalisi dengan PKI mengingat komunisme cukup besar pengaruh Barat berikut nilai-nilai materialisme yang ditolak oleh NU dan nilai-nilai proletariat mereka juga ditolak oleh PNI.
Tradisi Islam mengakar baik di tubuh aliran Islam moderen maupun Islam tradisional. Namun, aliran Islam tradisional juga memiliki akar dari tradisionalisme Jawa. Aliran Islam moderen terbentuk terutama sejak tahun 1912 saat Muhammadiyah berdiri. Muhammadiyah berdiri sebagai otokritik di dalam implementasi praktek Islam nusantara. Wujud politik dari gerakan pembaruan ini adalah aliran Islam moderen yang representasi paling kuatnya ada di tubuh Masyumi.
Di dalam tubuh Masyumi pun turut berpengaruh aliran sosialisme demokratik. Pengaruh Barat ini membuat Masyumi muncul sebagai partai berbasis tradisi Islam moderen ditambah pengaruh Barat, yaitu kepercayaan atas sistem pemerintahan demokrasi perwakilan.
Pada lain pihak aliran Islam tradisionalis di dalam NU tidak memperoleh pengaruh sosialisme demokratik, melainkan hanya tradisionalisme Jawa. Sebab itu kendati sama-sama berakar pada tradisi Islam, massa NU dan Masyumi sulit untuk saling menyeberang satu sama lain. Atau perkataan lain, akar massa NU dan Masyumi bersifat fix.
Aliran sosialisme demokratik adalah wujud pengaruh kuat dari Barat. Nilai-nilai egalitarian, individualitas, dan kepercayaan atas nilai-nilai positif peradaban Barat membuat PSI selaku representasinya lebih mengedepankan rasionalitas ketimbang emosionalitas dalam melakukan pengkaderan massa mereka.
Akibatnya mereka lebih bersandar pada kekuatan individual kader ketimbang basis massa yang luas seperti PKI ataupun PNI. Aliran sosialisme demokratik juga menyentuh tubuh aliran nasionalisme radikal dan Islam moderen. Ini mengakibatkan tokoh-tokoh PSI dan Masyumi cukup mudah untuk bekerja sama. Bahkan keduanya merupakan oposan Sukarno saat penerapan demokrasi terpimpin.
Namun, aliran sosialisme demokratik sulit menerima akar PNI yaitu tradisionalisme Jawa. Sama seperti Islam moderen selaku wujud otokritik atas Islam “lama” Indonesia, kehadiran PSI juga merupakan wujud otokritik atas karakter partai massa PNI yang masih mengedepankan aspek emosional di dalam pembangunan kader dan massa mereka.
Keempat aliran yaitu Islam moderen, Islam tradisional, sosialisme demokratik, dan nasionalisme radikal sama-sama tidak memiliki persentuhan dengan komunisme. Keempat aliran ini cenderung memisah dari komunisme sehingga membuat doktrin Nasakom Sukarno sulit untuk diimplementasikan. Kesulitan ini paling tidak dapat terlihat dari akar-akar pengaruh di keempat aliran.
Kecenderungan paling dekat akar komunisme adalah nasionalisme radikal, tetapi PNI yang banyak dipimpin kalangan Priyayi tentu tidak akan pernah bisa menerima program-program “proletariat-egalitarian” dari PKI. Justru malah karena kesamaan akar massa yang kemudian mendorong PNI dan PKI mengalami rivalitas di tingkat massa.
Lima aliran politik menurut Feith dan Castles dimaksudkan untuk menggambarkan ideologi politik yang pernah berkembang di Indonesia sejak 1945 hingga 1965. Sejak 1965 PKI dibubarkan lalu ke mana larinya massa PKI yang katanya besar itu?
Massa PKI tertarik menjadi anggota partai bukan akibat ajaran materialisme historis Karl Marx, revolusioner Lenin, ataupun kekuatan tani Mao. Massa tertarik masuk ke dalam PKI karena kampanye-kampanye PKI seperti reformasi agraria, penghapusan tujuh setan desa, pemerataan kemakmuran, redistribusi nilai lebih dari pengusaha kepada buruh, dan sejenisnya. Sebab itu sangat mungkin, karena memiliki akar sama yaitu tradisionalisme Jawa, para pemilih PKI menjadi medial voter bagi PNI. Atau dapat pula bagi kalangan Abangannya yang mulai mempelajari Islam lantas bergabung dengan NU.
Persoalan dari kategorisasi Feith dan Castles adalah ia didasarkan atas sampel partai politik hasil Pemilu 1955. Pemilu 1955 dapat dikatakan sebagai media tempat aneka ideologi yang satu sama lain saling kontrasi berkompetisi. Situasi ini menjadi berbeda manakala Soeharto mulai menguasai politik Indonesia. Soeharto tidak lagi mempercayai politik yang didasarkan ideologi-ideologi lama, yang hanya mengakibatkan sulitnya kohesi masyarakat secara politik.
Soeharto lebih meyakini politik yang didasarkan kebutuhan pragmatis. Ideologi "baru" Soeharto ini adalah "Pembangunanisme" yang lahir dari aneka Seminar Angkatan Darat, pemikiran para ekonom terutama dari Universitas Indonesia, yang akhirnya melahirkan konsep Trilogi Pembangunan. Inilah cikal-bakal ideologi Pembangunanisme yang dibangun Soeharto. Nama lain dari ideologi ini adalah Pancasila "yang dilaksanakan secara murni dan konsekuen," stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan secara operasional terjelma dalam Repelita-Pelita.
Pembangunanisme diwujudkan secara politik oleh Soeharto dengan memberdayakan Sekber Golkar agar dapat menjadi konstituen Pemilu. Ideologi Sekber Golkar bersifat pragmatis dan oleh sebab itu siap untuk diisi oleh ideologi apapun yang diintrojeksikan oleh Soeharto. Pancasila digunakan sebagai basis kohesi politik dengan tidak menyebut dirinya sebagai partai politik. Mereka yang hendak bergabung dengan Sekber Golkar dilarang untuk merangkap keanggotaan di dalam partai politik. Bagi Soeharto semua partai politik sifatnya ideologis dan sebab itu tidak kompatibel dengan pragmatisme.
Pada lain pihak, pragmatisme Sekber Golkar membuat dirinya dapat menjadi payung bagi aneka ideologi yang berbeda. Islam modernis, Islam tradisionalis, nasionalisme radikal, dan sosialisme demokratik adalah empat aliran yang dapat dengan mudah diterima oleh Sekber Golkar. Ini tentu dengan catatan karakteristik perjuangan yang bersifat ideologis diubah menjadi ideologi baru yaitu “pembangunan.” Aliran sebagai entitas politik tidak diterima di dalam Sekber Golkar.
Dengan demikian, kehadiran Sekber Golkar selama hampir 30 tahun membuat kelima aliran versi Feith dan Castles tidak lagi bisa menjadi satu-satunya alat analisis ideologi partai politik. Sejak awal Orde Baru Soeharto membelah partai politik menjadi dua bagian besar yaitu “spiritual” dan “material.”
Kubu spiritual diwakili oleh aliran-aliran Islam, sementara kubu material diwakili aliran-aliran sosialisme demokratik dan nasionalisme radikal. Soeharto tidak menerima komunisme karena telah ia nyatakan sebagai ideologi terlarang di Indonesia.
Pembelahan partai menjadi dua bagian ini mirip dengan upaya Sukarno mempersatukan aneka aliran politik ke dalam satu wadah Nasakom. Di dalam kubu spiritual tentu saja antara aliran Islam moderen dan Islam tradisional sulit untuk menyatu karena memiliki basis massa dan akar pengaruh berbeda. Demikian pula di kubu material, antara sosialisme demokratik berbeda dengan nasionalisme radikal. Sosialisme demokratik lebih menekankan rasionalitas dan individualitas, sementara nasionalisme radikal lebih mengandalkan solidaritas dan kolektivitas. Fusi partai politik yang dilakukan Soeharto yang ia rencanakan sejak sebelum 1971 dan baru secara formal dilakukan 1973 bagaikan menyatukan minyak dengan air.
Namun, Soeharto pun berhasil menciptakan aliran baru politik Indonesia yang disebut dengan pragmatisme-pembangunisme. Ideologi ini bertahan cukup lama dan berhasil mendegradasi sejumlah sekat aliran antar ideologi. Buktinya adalah sejak transisi politik 1998, partai-partai di Indonesia melakukan “re-grouping” dan banyak di antara partai-partai tersebut yang merupakan keturunan langsung ideologi Soeharto.
Partai DIP, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Berkarya, Partai Garuda, adalah partai-partai ideologis Soeharto. Aneka partai tersebut sulit dibedakan satu dengan lain seperti dahulu kita dengan mudah bisa membedakan antara PNI, PKI, Masyumi, NU, dan PSI. Partai-partai keturunan ideologi Soeharto hanya bisa dibedakan dengan siapa ketua umumnya, tetapi tidak muatan programnya. Semuanya relatif sama baik dalam hal pencantuman “ideologi”, visi dan misi, serta karakter organisasi.
Partai DIP mungkin kendati cukup serupa, tetapi ada sedikit perbedaan karena ia cenderung meneruskan aneka kebiasaan PNI. Kebiasaan PNI seperti ikatan solidaritas, feodalisme, serta nilai-nilai nasionalisme masih kerap dikumandangkan partai ini, ditambah adanya keturunan Sukarno yang menjadi pimpinannya. Selebihnya, Partai DIP sama dengan partai-partai lain yang merupakan keturunan ideologis Soeharto.
Namun, analisis Feith dan Castles juga bukan sama sekali kehilangan relevansinya. Sejak 1998 pun dimensi ideologis pun kembali hadir kendati tidak setajam dan khas era 1945 hingga 1965. Islam tradisionalis merupakan basis massa PKB, Islam moderen merupakan basis massa PAN. PPP sekadar meneruskan kebiasaan era Soeharto sebagai wadah “spiritual” dan dikhawatirkan apabila tetap tidak memiliki basis massa yang jelas maka partai ini akan menghilang.
Kendati pun tetap dapat digunakan, kategori Feith dan Castles sudah kurang relevan dalam menganalisis lahirnya PKS. Partai ini jelas bukan Islam tradisionalis versi Geertz, kendati warna dari dimensi Islam modernis sedikit tetap ada.
Pada lain pihak, pragmatisme Sekber Golkar membuat dirinya dapat menjadi payung bagi aneka ideologi yang berbeda. Islam modernis, Islam tradisionalis, nasionalisme radikal, dan sosialisme demokratik adalah empat aliran yang dapat dengan mudah diterima oleh Sekber Golkar. Ini tentu dengan catatan karakteristik perjuangan yang bersifat ideologis diubah menjadi ideologi baru yaitu “pembangunan.” Aliran sebagai entitas politik tidak diterima di dalam Sekber Golkar.
Dengan demikian, kehadiran Sekber Golkar selama hampir 30 tahun membuat kelima aliran versi Feith dan Castles tidak lagi bisa menjadi satu-satunya alat analisis ideologi partai politik. Sejak awal Orde Baru Soeharto membelah partai politik menjadi dua bagian besar yaitu “spiritual” dan “material.”
Kubu spiritual diwakili oleh aliran-aliran Islam, sementara kubu material diwakili aliran-aliran sosialisme demokratik dan nasionalisme radikal. Soeharto tidak menerima komunisme karena telah ia nyatakan sebagai ideologi terlarang di Indonesia.
Pembelahan partai menjadi dua bagian ini mirip dengan upaya Sukarno mempersatukan aneka aliran politik ke dalam satu wadah Nasakom. Di dalam kubu spiritual tentu saja antara aliran Islam moderen dan Islam tradisional sulit untuk menyatu karena memiliki basis massa dan akar pengaruh berbeda. Demikian pula di kubu material, antara sosialisme demokratik berbeda dengan nasionalisme radikal. Sosialisme demokratik lebih menekankan rasionalitas dan individualitas, sementara nasionalisme radikal lebih mengandalkan solidaritas dan kolektivitas. Fusi partai politik yang dilakukan Soeharto yang ia rencanakan sejak sebelum 1971 dan baru secara formal dilakukan 1973 bagaikan menyatukan minyak dengan air.
Namun, Soeharto pun berhasil menciptakan aliran baru politik Indonesia yang disebut dengan pragmatisme-pembangunisme. Ideologi ini bertahan cukup lama dan berhasil mendegradasi sejumlah sekat aliran antar ideologi. Buktinya adalah sejak transisi politik 1998, partai-partai di Indonesia melakukan “re-grouping” dan banyak di antara partai-partai tersebut yang merupakan keturunan langsung ideologi Soeharto.
Partai DIP, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Berkarya, Partai Garuda, adalah partai-partai ideologis Soeharto. Aneka partai tersebut sulit dibedakan satu dengan lain seperti dahulu kita dengan mudah bisa membedakan antara PNI, PKI, Masyumi, NU, dan PSI. Partai-partai keturunan ideologi Soeharto hanya bisa dibedakan dengan siapa ketua umumnya, tetapi tidak muatan programnya. Semuanya relatif sama baik dalam hal pencantuman “ideologi”, visi dan misi, serta karakter organisasi.
Partai DIP mungkin kendati cukup serupa, tetapi ada sedikit perbedaan karena ia cenderung meneruskan aneka kebiasaan PNI. Kebiasaan PNI seperti ikatan solidaritas, feodalisme, serta nilai-nilai nasionalisme masih kerap dikumandangkan partai ini, ditambah adanya keturunan Sukarno yang menjadi pimpinannya. Selebihnya, Partai DIP sama dengan partai-partai lain yang merupakan keturunan ideologis Soeharto.
Namun, analisis Feith dan Castles juga bukan sama sekali kehilangan relevansinya. Sejak 1998 pun dimensi ideologis pun kembali hadir kendati tidak setajam dan khas era 1945 hingga 1965. Islam tradisionalis merupakan basis massa PKB, Islam moderen merupakan basis massa PAN. PPP sekadar meneruskan kebiasaan era Soeharto sebagai wadah “spiritual” dan dikhawatirkan apabila tetap tidak memiliki basis massa yang jelas maka partai ini akan menghilang.
Kendati pun tetap dapat digunakan, kategori Feith dan Castles sudah kurang relevan dalam menganalisis lahirnya PKS. Partai ini jelas bukan Islam tradisionalis versi Geertz, kendati warna dari dimensi Islam modernis sedikit tetap ada.
PKS merupakan wujud pengaruh dimensi Islam transnasionalis pasca revivalisme Islam tahun 1980an. PKB, PKS, dan PAN tetap merupakan “partai konfesional” tetapi mereka memiliki akar pengaruh dan core base voter yang berbeda satu sama lain, dan ini belum sepenuhnya dirangkum apabila kita hanya mengikuti tipologi aliran Feith dan Castles.
Demikian pula dalam memetakan partai-partai pragmatis seperti Partai Demokrat dan Partai Hanura misalnya, yang di dalam asasnya kerap mencantumkan slogan "nasionalis-relijius." Apakah memang telah terjadi perembesan ideologi Islam Modern atau Tradisional ke dalam suatu partai? Ataukah sebaliknya, terjadi perembesan ideologi Nasionalis-Radikal ke dalam ideologi Islam Modern atau Tradisional? Ataukah, memang penyebutan "nasionalis-relijius" benar-benar hanya dimaksudkan untuk menarik massa atau pemilih dalam Pemilu dari kalangan Islam maupun Nasionalis? Ataukah, dan ini yang terakhir, penyebutan "nasionalis-relijius" merupakan formula politik dari orang paling kuat di masing-masing partai?
Dan hal terakhir yang dapat kita sebutkan adalah tidak adanya partai politik yang berideologikan Komunis hingga saat ini. Mungkin yang sedikit "menyerempet" adalah penyebutan asas-asas seperti "demokrasi kerakyatan," "demokrasi populis," tetapi sulit untuk kita katakan bahwa itu adalah Komunisme.
Sebab itu, minimal secara formal, lima aliran politik versi Castles and Feith kini hanya tinggal empat aliran saja, dengan sejumlah perubahan karakteristik. Analisis apapun yang menggunakan tipologi ideologi versi Feith and Castles haruslah hati-hati di dalam menggunakannya karena secara faktual aliran politik yang menumbuhkan politik aliran di Indonesia kini telah berubah.
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.