Bentham lahir 15 Februari 1748 di Houndsditch, London. Pada usia 7 tahun ia masuk Westminster School. Pada usia 12 tahun ia telah mengambil pendidikan sarjana di Queen’s College, Oxford dan tahun 1764 berhasil menggondol kesarjanaan hukum. Pada tahun 1767, saat ia berusia 15 tahun, ia dipanggil untuk memasuki profesi advokat.
Meski di masa kemudian Bentham tidak menjalani profesi hukum, tetapi kelak ia yang akan mereformasi hukum di Inggris. Secara subyektif, Bentham memandang dirinya sebagai eksponen Abad Pencerahan dan ia hampir hendak mereformasi segala hal di Inggris.
Prinsip Bentham adalah utility (kemanfaatan) sebagai fundasi utama moralitas. Bentham melakukan pemisahan tegas antara apa yang disebut dengan “kritisisme normatif” dengan “deskripsi dan analisis logis,” dengan mana yang disebut terakhir menjadi pegangan berpikir berdasarkan perhatiannya atas sifat hukum. Akibatnya, ia hadir sebagai pendiri yurisprudensi analitis dan utilitarianisme.
Karya terpentingnya adalah Of Laws in General, A Fragment of Government (terbit tahun 1776), An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (terbit tahun 1789), Principles of International Law (terbit tahun 1798), dan Catechism of Reformers (terbit tahun 1809).
Pada tahun 1824, Bentham membantu berdirinya sebuah jurnal bertajuk Westminster Review. Jurnal tersebut memiliki muatan filosofis bersifat radikal. Gagasannya mengenai demokrasi termuat dalam karyanya yang belum selesai yaitu Constitutional Code. Di dalam karya ini, Bentham mendukung reformasi politik, penghapusan monarki, penghapusan House of Lords, dan mendorong berdirinya gereja-gereja.
Gagasan radikal Bentham lainnya -- ingat konteks patriarkis Inggris saat itu -- adalah wanita seharusnya diberikan hak pilih. Gagasan radikal lain darinya adalah pernyataan bahwa pejabat pemerintah harus diseleksi melalui pengujian yang bersifat kompetitif, agar publik tahu siapa yang terbaik dan kompeten kala nanti menjalankan tugas.
Masih banyak karya Bentham, terutama yang berupa manuskrip, belum dipublikasikan. Tulisannya hampir meliputi seluruh subyek yang bisa diamati. Karya-karya yang belum dipublikasikan tersebut meliputi rencananya untuk mereformasi bahasa dan logika, mendesain dan mereformasi penjara, membuat prosedur parlementer, serta sejumlah gagasan radikal di bidang kebijakan ekonomi dan sosial. Bahkan, Bentham pun telah memiliki skema untuk membuat frustrasi para musuh yang menentang gagasan-gagasannya.
Hal menarik dalam rekayasa radikal Bentham atas struktur masyarakat adalah Skema Panopticon, yaitu desainnya untuk mereformasi penjara. Panopticon berarti “all-seeing” yaitu model penjara yang dirancang oleh saudaranya, Samuel Bentham. Fasad Panopticon mengacu dan mirip dengan lingkungan pabrik. Dalam Skema Panopticon, sipir penjara dapat mengawasi tahanan tanpa si tahanan sendiri mengetahui bahwa ia tengah diawasi.
Meski di masa kemudian Bentham tidak menjalani profesi hukum, tetapi kelak ia yang akan mereformasi hukum di Inggris. Secara subyektif, Bentham memandang dirinya sebagai eksponen Abad Pencerahan dan ia hampir hendak mereformasi segala hal di Inggris.
![]() |
| https://cdn.britannica.com/28/212628-050-B3BFD216/British-philosopher-economist-Jeremy-Bentham-preserved-skeleton-University-College-London-England.jpg |
Prinsip Bentham adalah utility (kemanfaatan) sebagai fundasi utama moralitas. Bentham melakukan pemisahan tegas antara apa yang disebut dengan “kritisisme normatif” dengan “deskripsi dan analisis logis,” dengan mana yang disebut terakhir menjadi pegangan berpikir berdasarkan perhatiannya atas sifat hukum. Akibatnya, ia hadir sebagai pendiri yurisprudensi analitis dan utilitarianisme.
Karya terpentingnya adalah Of Laws in General, A Fragment of Government (terbit tahun 1776), An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (terbit tahun 1789), Principles of International Law (terbit tahun 1798), dan Catechism of Reformers (terbit tahun 1809).
Pada tahun 1824, Bentham membantu berdirinya sebuah jurnal bertajuk Westminster Review. Jurnal tersebut memiliki muatan filosofis bersifat radikal. Gagasannya mengenai demokrasi termuat dalam karyanya yang belum selesai yaitu Constitutional Code. Di dalam karya ini, Bentham mendukung reformasi politik, penghapusan monarki, penghapusan House of Lords, dan mendorong berdirinya gereja-gereja.
Gagasan radikal Bentham lainnya -- ingat konteks patriarkis Inggris saat itu -- adalah wanita seharusnya diberikan hak pilih. Gagasan radikal lain darinya adalah pernyataan bahwa pejabat pemerintah harus diseleksi melalui pengujian yang bersifat kompetitif, agar publik tahu siapa yang terbaik dan kompeten kala nanti menjalankan tugas.
Masih banyak karya Bentham, terutama yang berupa manuskrip, belum dipublikasikan. Tulisannya hampir meliputi seluruh subyek yang bisa diamati. Karya-karya yang belum dipublikasikan tersebut meliputi rencananya untuk mereformasi bahasa dan logika, mendesain dan mereformasi penjara, membuat prosedur parlementer, serta sejumlah gagasan radikal di bidang kebijakan ekonomi dan sosial. Bahkan, Bentham pun telah memiliki skema untuk membuat frustrasi para musuh yang menentang gagasan-gagasannya.
Hal menarik dalam rekayasa radikal Bentham atas struktur masyarakat adalah Skema Panopticon, yaitu desainnya untuk mereformasi penjara. Panopticon berarti “all-seeing” yaitu model penjara yang dirancang oleh saudaranya, Samuel Bentham. Fasad Panopticon mengacu dan mirip dengan lingkungan pabrik. Dalam Skema Panopticon, sipir penjara dapat mengawasi tahanan tanpa si tahanan sendiri mengetahui bahwa ia tengah diawasi.
| https://www.ucl.ac.uk/laws/events/2025/jul/person-jeremy-bentham-panopticon-penitentiary-scheme-and-picture-treasury |
Ide besar Bentham adalah agar penjara dijalankan oleh pihak swasta di mana penjara memiliki dua fungsi yaitu sebagai pabrik sekaligus sebagai sekolah agar orang menjadi baik. Tahanan akan diajarkan sejumlah keahlian yang nantinya dapat ia digunakan selepas masa hukuman. Nama penjara swasta yang digagas Bentham ini adalah Panopticon Penitentiary yang berlokasi di Milibank, London, tahun 1794.
Para kritikusnya menganggap ide Bentham tentang "revolusi penjara" sebagai sisi manipulatif Abad Pencerahan. Padahal inti yang dimaksud Bentham adalah upayanya untuk menghaluskan tata cara perlakuan atas narapidana yang “tidak manusiawi” sebagaimana berlangsung di Inggris saat itu. Namun, upayanya tersebut mendapat perlawanan dari pemerintah.
Semenjak itu, Bentham membantah anggapan umum yang berkembang saat itu yang menyatakan bahwa pada hakikatnya pemerintah akan selalu netral dalam menyikapi perubahan atau reformasi yang bersifat radikal. Bentham mulai melihat bahwa pemerintah hakikinya adalah “mesin” dari “kepentingan kaum sinis”sehingga oleh sebab itu pemerintah wajib dikontrol dan diawasi oleh warganegara. Pengalaman ini mendorong Bentam untuk melakukan reformasi atas demokrasi representatif yang berlangsung di Inggris saat hidupnya.
Peristiwa ini berawal pada tahun 1791, di mana Bentham dengan sengaja meletakkan skema penjara Panopticonnya di sebelah William Pitt, Perdana Menteri Inggris saat itu. Kendati awalnya sulit bagi Benthan untuk mendapat dukungan parlemen, Pitt akhirnya mensukseskan usulan Panopticon Bentham di parlemen.
Namun, kendati parlemen telah menyatakan persetujuan mereka, perlawanan sengit dilakukan oleh dua keluarga bangsawan kuat, Keluarga Spencer dan Keluarga Grosvenor. Alasan keduanya adalah bahwa rencana Bentham untuk “merumahkan” para kriminal di pabrik akan mengurangi nilai properti dalam rencana bisnis yang telah mereka susun sebelumnya. Inilah mengapa Bentham menyebut pemerintah sebagai “mesin” dari “kelompok sinis.”
Tentu tidak dapat dilupakan bahwa Bentham adalah salah satu eksponen utama dari Utilitarianisme. Utilititarianisme merupakan sebuah doktrin yang menilai layak atau tidaknya suatu tindakan, kebijakan, keputusan, dan pilihan pemerintah harus diletakkan dalam terminologi seberapa besar kecenderungannya untuk mempromosikan kebahagiaan atas rakyat yang terkena dampaknya.
Secara pribadi, perilaku Bentham sebagai individu adalah kurang umum di Inggris pada saat itu. Bentham itu setengah jenius, setengah sinting, sangat rajin, mampu menginpirasi rasa cinta dan loyalitas pada rekan-rekannya. Semasa masih hidup ia sempat mengamanatkan untuk menyerahkan mayatnya (setelah ia meninggal) untuk kebutuhan riset ilmiah. Itulah yang menyebabkan bahwa hingga hari ini, muminya masih terdapat di University College, London, universitas mana yang juga turut ia bangun.
Pelajaran yang dipetik Bentham dalam kasus Panopticon adalah bahwa dalam suatu masyarkat politik akan selalu ada kepentingan yang bersifat seksionalis (sectional interest) seperti diwakili Keluarga Spencer dan Keluarga Grosvenor. Ada kemungkinan mereka gunakan aparatus negara untuk mengejar kepentingan privat mereka kendati berhadapan dengan kepentingan publik.
Sebab itu, pemerintah yang tunduk pada kepentingan mereka dianggap Bentham sebagai menderita akibat kekurangan akuntabilitas dan kinerja birokrasi yang diakui. Hingga akhir masa hidupnya, hal-hal mengenai penciptaan negara dan birokrasi moderen adalah tema utama tulisannya, terutama sejak 1809. Sejak tahun itu, Bentham menjadi associate John Mill (ayah kandung John Stuart Mill) dan mendirikan komunitas Philosophic Radicals.
Pemikiran Bentham tentang Psikologi Manusia
Utilitarianisme yang dikembangkan Bentham lebih cocok disebut classical utilitarianism. Ada tiga elemen fundamental dalam utilitarian jenis ini.
Pertama, adalah hedonisme psikologis. Bagi Bentham, semua manusia berupaya mencapai kesenangan atau kebahagiaan secara maksimal, hingga batas terjauh. Ini mungkin mengingatkan kita pada filsafat Epicurean di era filosof alam Yunani. Manusia dikuasai oleh dua penguasa yang sangat daulat: derita dan kesenagan. Bagi Bentham, derita dan kesenangan ini harus dijadikan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya kita lakukan dan mengenai apa yang sebenarnya kita lakukan.
Kedua, utilitarianisme menempatkan kesenangan atau kebahagiaan sebagai komoditas tertinggi. Setiap orang mencari kesenangan sebagai tujuan akhir, bukan berpusing-pusing bagaimana cara mencapai tujuan tersebut.
Istilah “baik” ataupun “buruk” bagi Bentham terpulang pada apa yang kita rasakan saat tertimpa sesuatu: kesenangan atau penderitaan. Bagi Bentham pula, semua kesenangan sifat dan rasanya sama saja bagi semua manusia. Sehingga, apa yang manusia cari bukanlah kualitas tertinggi dari kesenangan melainkan seberapa besar kuantitas kesenangan yang terbesar (greatest quantity of pleasure ).
Bagaimana Bentham memaknai pleasure atau kesenangan itu? Ia mendaftar sejumlah hal seperti senangnya merasa, membaui, dan menyentuh. Juga dalam konteks kekuasaan, pleasure (kesenangan) akan otomatis muncul jika kita (yang berkuasa) melihat orang yang kita sayangi merasa senang.
Dengan demikian, makna kesenangan yang dimaksud Bentham cukup berbeda dengan apa yang dimaksud Epicurus. Kesenangan Epicurus bersifat individual, sementara kesenangan versi Bentham selain individual juga harus berlaku bagi kolektivitas.
Ketiga, utilitarianisme akan menjadi teori tindakan (praksis). Jika memang kesenangan adalah kebaikan, maka tindakan yang benar adalah yang mampu memaksimalkan kesenangan dan meminimalisasikan derita.
Sebaliknya, jika kesenangan memang adalah kebaikan, maka tindakan yang salah adalah yang memaksimalkan penderitaan dan meminimalisasikan kesenangan. Kesenangan dan penderitaan adalah kriteria penentu mengenap apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang benar-benar kita lakukan.
Dari psikologi hedonis yang sifatnya individual, Bentham secara radikal kemudia mengelaborasinya ke tingkatan relasi publik. Kesenangan dan penderitaan harus diarahkan pada entitas yang tepat.
Jika yang menjadi sasaran tindakan adalah satu orang, maka tindakan yang benar adalah apa dianggap kesenangan atau penderitaan bagi orang tersebut, bukan orang lain. Jika entitasnya adalah komunitas (masyarakat), maka standar benar dan salah bukanlah kesenangan atau penderitaan satu atau dua individu khusus, melainkan komunitas sebagai keseluruhan.
Mengenai apa yang dirasakan oleh komunitas ini Bentham dan Rousseau saling berbeda. Bagi Rousseau, volonte generale bukanlah jumlah atau total kehendak seluruh individu yang disatukan, melainkan adanya satu kehendak yang sifatnya mengatasi kehendak individu.
Dalam cara pandang Bentham “volonte generale” Rousseau adalah absurd karena ada satu kehendak yang “terlepas” dari individu. Berbeda dengan Rousseau, bagi Bentham entitas yang ada di dalam komunitas tidak lain adalah individu. Sebab itu, maka di dalam rangka menemukan tindakan yang benar atau salah dari sudut pandang komunitas, maka kita harus menemukan terlebih dahulu apa dampaknya bagi kesenangan total di dalam agregat individu yang menjadi anggota komunitas tersebut.
Semua kesenangan individu dalam komunitas harus dihitung sehingga akan terbitlah legislasi terbaik yang hendak disusun komunitas tersebut, yaitu “yang terbanyak.” Mengenai apa yang dimaksud Bentham sebagai “yang terbanyak” adalah kesenangan yang diinginkan oleh mayoritas individu di dalam komunitas. .
Bentham mengembangkan felicific calculus (juga kerap disebut hedonic calculus). Jika kita tengah menghadapi suatu pilihan, maka langkah yang tepat adalah berhitung apakah dampak yang terjadi akibat pilihan kita tersebut: kesenangan ataukah penderitaan?
Menurut Bentham ada tujuh dimensi hedonic calculus yaitu: (1) intensitas; (2) durasi; (3) propinquity (kedekatan atau ketersingkatan waktu pencapaian); (4) kepastian; (5) fecundity (seberapa besar dampak nikmat dan derita setelah pilihan diambil?); (6) kemurnian (apakah pilihan menyenangkan yang diambil memiliki konsekuensi menyakitkan?); dan (7) tingkat (berapa banyak orang mengalami kesenangan atau penderitaan pasca suatu tindakan dilakukan?)
Bagi Bentham, ke-7 dimensi ini tidak perlu diterapkan seluruhnya bagi warganegara biasa. Namun, jika legislator (pembuat undang-undang) mencamkan ketujuhnya pada saat mereka membuat keputusan, maka akan tercapailah tujuan sejati dari pembuatan legislasi “the greates happiness of the greatest number.”
Sebagai informasi tambahan, Bentham juga menolak klaim atas hak-hal alamiah seperti dislogankan oleh Revolusi Perancis. Perlu diketahui, bahwa Revolusi Perancis berlangsung anarkis. Mengenai hak-hak mereka yang “katanya” alamiah, kaum Revolusioner Jacobin sekadar melontarkannya melalui aneka orasi retoris tanpa dalil tertulis yang bisa ditelaah secara obyektif.
Sebab itu, Bentham menyatakan bahwa “hak-hak alamiah” adalah “omong kosong.” Bentham menyatakan “alamiah yang tidak bisa dijelaskan adalah 'omong kosong di atas panggung.” Bentham percaya bahwa kepentingan pihak yang diperintah hanya akan terjamin secara baik melalui pembentukan hak-hak yang secara eksplisit disebutkan secara tegas melalui sistem dan kodifikasi hukum suatu masyarakat.
Bentham dan Demokrasi Respresentatif
Melalui karyanya yang lain yaitu Plan of Parliamentary Reform (terbit tahun 1817), Bentham menyatakan keyakinannya atas kebaikan Demokrasi Representatif adalah niscaya. Namun, itu jika sejumlah syarat terpenuhi seperti hak pilih universal, kotak suara rahasia, dan sidang parlemen tahunan.
Bentham juga dikenal sebagai perintis konsep welfare state. Bentham percaya bahwa legislasi harus menjamin masalah subsisten manusia (pangan, sandang, papan), keamanan, kesejahteraan, dan kesetaraan. Bentham juga rajin berdebat agar tercipta aneka aturan resmi dan mengikat secara hukum seputar jaminan bagi si sakit, upah minimum, reformasi hukum pembuktian, rekrutmen petugas layanan sipil melalui pengujian kompetitif (fit and proper test), juga penghapusan pidana penjara akibat seseorang berhutang.
Para kritikusnya menganggap ide Bentham tentang "revolusi penjara" sebagai sisi manipulatif Abad Pencerahan. Padahal inti yang dimaksud Bentham adalah upayanya untuk menghaluskan tata cara perlakuan atas narapidana yang “tidak manusiawi” sebagaimana berlangsung di Inggris saat itu. Namun, upayanya tersebut mendapat perlawanan dari pemerintah.
Semenjak itu, Bentham membantah anggapan umum yang berkembang saat itu yang menyatakan bahwa pada hakikatnya pemerintah akan selalu netral dalam menyikapi perubahan atau reformasi yang bersifat radikal. Bentham mulai melihat bahwa pemerintah hakikinya adalah “mesin” dari “kepentingan kaum sinis”sehingga oleh sebab itu pemerintah wajib dikontrol dan diawasi oleh warganegara. Pengalaman ini mendorong Bentam untuk melakukan reformasi atas demokrasi representatif yang berlangsung di Inggris saat hidupnya.
Peristiwa ini berawal pada tahun 1791, di mana Bentham dengan sengaja meletakkan skema penjara Panopticonnya di sebelah William Pitt, Perdana Menteri Inggris saat itu. Kendati awalnya sulit bagi Benthan untuk mendapat dukungan parlemen, Pitt akhirnya mensukseskan usulan Panopticon Bentham di parlemen.
Namun, kendati parlemen telah menyatakan persetujuan mereka, perlawanan sengit dilakukan oleh dua keluarga bangsawan kuat, Keluarga Spencer dan Keluarga Grosvenor. Alasan keduanya adalah bahwa rencana Bentham untuk “merumahkan” para kriminal di pabrik akan mengurangi nilai properti dalam rencana bisnis yang telah mereka susun sebelumnya. Inilah mengapa Bentham menyebut pemerintah sebagai “mesin” dari “kelompok sinis.”
Tentu tidak dapat dilupakan bahwa Bentham adalah salah satu eksponen utama dari Utilitarianisme. Utilititarianisme merupakan sebuah doktrin yang menilai layak atau tidaknya suatu tindakan, kebijakan, keputusan, dan pilihan pemerintah harus diletakkan dalam terminologi seberapa besar kecenderungannya untuk mempromosikan kebahagiaan atas rakyat yang terkena dampaknya.
Secara pribadi, perilaku Bentham sebagai individu adalah kurang umum di Inggris pada saat itu. Bentham itu setengah jenius, setengah sinting, sangat rajin, mampu menginpirasi rasa cinta dan loyalitas pada rekan-rekannya. Semasa masih hidup ia sempat mengamanatkan untuk menyerahkan mayatnya (setelah ia meninggal) untuk kebutuhan riset ilmiah. Itulah yang menyebabkan bahwa hingga hari ini, muminya masih terdapat di University College, London, universitas mana yang juga turut ia bangun.
Pelajaran yang dipetik Bentham dalam kasus Panopticon adalah bahwa dalam suatu masyarkat politik akan selalu ada kepentingan yang bersifat seksionalis (sectional interest) seperti diwakili Keluarga Spencer dan Keluarga Grosvenor. Ada kemungkinan mereka gunakan aparatus negara untuk mengejar kepentingan privat mereka kendati berhadapan dengan kepentingan publik.
Sebab itu, pemerintah yang tunduk pada kepentingan mereka dianggap Bentham sebagai menderita akibat kekurangan akuntabilitas dan kinerja birokrasi yang diakui. Hingga akhir masa hidupnya, hal-hal mengenai penciptaan negara dan birokrasi moderen adalah tema utama tulisannya, terutama sejak 1809. Sejak tahun itu, Bentham menjadi associate John Mill (ayah kandung John Stuart Mill) dan mendirikan komunitas Philosophic Radicals.
Pemikiran Bentham tentang Psikologi Manusia
Utilitarianisme yang dikembangkan Bentham lebih cocok disebut classical utilitarianism. Ada tiga elemen fundamental dalam utilitarian jenis ini.
Pertama, adalah hedonisme psikologis. Bagi Bentham, semua manusia berupaya mencapai kesenangan atau kebahagiaan secara maksimal, hingga batas terjauh. Ini mungkin mengingatkan kita pada filsafat Epicurean di era filosof alam Yunani. Manusia dikuasai oleh dua penguasa yang sangat daulat: derita dan kesenagan. Bagi Bentham, derita dan kesenangan ini harus dijadikan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya kita lakukan dan mengenai apa yang sebenarnya kita lakukan.
Kedua, utilitarianisme menempatkan kesenangan atau kebahagiaan sebagai komoditas tertinggi. Setiap orang mencari kesenangan sebagai tujuan akhir, bukan berpusing-pusing bagaimana cara mencapai tujuan tersebut.
Istilah “baik” ataupun “buruk” bagi Bentham terpulang pada apa yang kita rasakan saat tertimpa sesuatu: kesenangan atau penderitaan. Bagi Bentham pula, semua kesenangan sifat dan rasanya sama saja bagi semua manusia. Sehingga, apa yang manusia cari bukanlah kualitas tertinggi dari kesenangan melainkan seberapa besar kuantitas kesenangan yang terbesar (greatest quantity of pleasure ).
Bagaimana Bentham memaknai pleasure atau kesenangan itu? Ia mendaftar sejumlah hal seperti senangnya merasa, membaui, dan menyentuh. Juga dalam konteks kekuasaan, pleasure (kesenangan) akan otomatis muncul jika kita (yang berkuasa) melihat orang yang kita sayangi merasa senang.
Dengan demikian, makna kesenangan yang dimaksud Bentham cukup berbeda dengan apa yang dimaksud Epicurus. Kesenangan Epicurus bersifat individual, sementara kesenangan versi Bentham selain individual juga harus berlaku bagi kolektivitas.
Ketiga, utilitarianisme akan menjadi teori tindakan (praksis). Jika memang kesenangan adalah kebaikan, maka tindakan yang benar adalah yang mampu memaksimalkan kesenangan dan meminimalisasikan derita.
Sebaliknya, jika kesenangan memang adalah kebaikan, maka tindakan yang salah adalah yang memaksimalkan penderitaan dan meminimalisasikan kesenangan. Kesenangan dan penderitaan adalah kriteria penentu mengenap apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang benar-benar kita lakukan.
Dari psikologi hedonis yang sifatnya individual, Bentham secara radikal kemudia mengelaborasinya ke tingkatan relasi publik. Kesenangan dan penderitaan harus diarahkan pada entitas yang tepat.
Jika yang menjadi sasaran tindakan adalah satu orang, maka tindakan yang benar adalah apa dianggap kesenangan atau penderitaan bagi orang tersebut, bukan orang lain. Jika entitasnya adalah komunitas (masyarakat), maka standar benar dan salah bukanlah kesenangan atau penderitaan satu atau dua individu khusus, melainkan komunitas sebagai keseluruhan.
Mengenai apa yang dirasakan oleh komunitas ini Bentham dan Rousseau saling berbeda. Bagi Rousseau, volonte generale bukanlah jumlah atau total kehendak seluruh individu yang disatukan, melainkan adanya satu kehendak yang sifatnya mengatasi kehendak individu.
Dalam cara pandang Bentham “volonte generale” Rousseau adalah absurd karena ada satu kehendak yang “terlepas” dari individu. Berbeda dengan Rousseau, bagi Bentham entitas yang ada di dalam komunitas tidak lain adalah individu. Sebab itu, maka di dalam rangka menemukan tindakan yang benar atau salah dari sudut pandang komunitas, maka kita harus menemukan terlebih dahulu apa dampaknya bagi kesenangan total di dalam agregat individu yang menjadi anggota komunitas tersebut.
Semua kesenangan individu dalam komunitas harus dihitung sehingga akan terbitlah legislasi terbaik yang hendak disusun komunitas tersebut, yaitu “yang terbanyak.” Mengenai apa yang dimaksud Bentham sebagai “yang terbanyak” adalah kesenangan yang diinginkan oleh mayoritas individu di dalam komunitas. .
Bentham mengembangkan felicific calculus (juga kerap disebut hedonic calculus). Jika kita tengah menghadapi suatu pilihan, maka langkah yang tepat adalah berhitung apakah dampak yang terjadi akibat pilihan kita tersebut: kesenangan ataukah penderitaan?
Menurut Bentham ada tujuh dimensi hedonic calculus yaitu: (1) intensitas; (2) durasi; (3) propinquity (kedekatan atau ketersingkatan waktu pencapaian); (4) kepastian; (5) fecundity (seberapa besar dampak nikmat dan derita setelah pilihan diambil?); (6) kemurnian (apakah pilihan menyenangkan yang diambil memiliki konsekuensi menyakitkan?); dan (7) tingkat (berapa banyak orang mengalami kesenangan atau penderitaan pasca suatu tindakan dilakukan?)
Bagi Bentham, ke-7 dimensi ini tidak perlu diterapkan seluruhnya bagi warganegara biasa. Namun, jika legislator (pembuat undang-undang) mencamkan ketujuhnya pada saat mereka membuat keputusan, maka akan tercapailah tujuan sejati dari pembuatan legislasi “the greates happiness of the greatest number.”
Sebagai informasi tambahan, Bentham juga menolak klaim atas hak-hal alamiah seperti dislogankan oleh Revolusi Perancis. Perlu diketahui, bahwa Revolusi Perancis berlangsung anarkis. Mengenai hak-hak mereka yang “katanya” alamiah, kaum Revolusioner Jacobin sekadar melontarkannya melalui aneka orasi retoris tanpa dalil tertulis yang bisa ditelaah secara obyektif.
Sebab itu, Bentham menyatakan bahwa “hak-hak alamiah” adalah “omong kosong.” Bentham menyatakan “alamiah yang tidak bisa dijelaskan adalah 'omong kosong di atas panggung.” Bentham percaya bahwa kepentingan pihak yang diperintah hanya akan terjamin secara baik melalui pembentukan hak-hak yang secara eksplisit disebutkan secara tegas melalui sistem dan kodifikasi hukum suatu masyarakat.
Bentham dan Demokrasi Respresentatif
Melalui karyanya yang lain yaitu Plan of Parliamentary Reform (terbit tahun 1817), Bentham menyatakan keyakinannya atas kebaikan Demokrasi Representatif adalah niscaya. Namun, itu jika sejumlah syarat terpenuhi seperti hak pilih universal, kotak suara rahasia, dan sidang parlemen tahunan.
Bentham juga dikenal sebagai perintis konsep welfare state. Bentham percaya bahwa legislasi harus menjamin masalah subsisten manusia (pangan, sandang, papan), keamanan, kesejahteraan, dan kesetaraan. Bentham juga rajin berdebat agar tercipta aneka aturan resmi dan mengikat secara hukum seputar jaminan bagi si sakit, upah minimum, reformasi hukum pembuktian, rekrutmen petugas layanan sipil melalui pengujian kompetitif (fit and proper test), juga penghapusan pidana penjara akibat seseorang berhutang.
Keyakinan pada diri Bentham adalah menyingkirkan segala dampak merusak dari tahayul dan adat dalam hal penyusunan legislasi. Tahayul dan adat, menurut Bentham, harus digantikan dengan penegakkan moralitas dan yurisprudensi.
Dalam konteks demokrasi, Bentham berada dalam posisi mendukung perluasan hak suara secara menyeluruh. Ia juga banyak menaruh perhatian atas rincian struktur kelembagaan negara moderen. Pandangan Bentham atas demokrasi perwakilan adalah perlawanannya atas sinister-interest (kasus Panoptical, yang melibatkan 2 keluarga bangsawan berpengaruh).
Sinister-interest terjadi manakala terdapat kelompok istimewa (bangsawan kuat misalnya) yang mampu menggolkan kepentingan mereka yang bersifat seksional atau sempit di atas kepentingan publik. Bentham juga mencurigai bahwa banyak pejabat pemerintah yang berpotensi untuk terpisah dari kelompok yang diperintah (rakyat).
Begitu mereka terlepas, maka kepentingan mereka tidak lagi identik dengan kepentingan rakyat melainkan kelompoknya yang terdekat. Hal ini mirip dengan keberatan Rousseau atas para magistrat yang menyusun undang-undang, yang segera begitu terpilih, mereka melepaskan diri dari kepentingan pemilih untuk kemudian mengejar kepentingan pribadi mereka.
Bagi Bentham, solusi atas terpisahnya kepentingan ini adalah mengkondisikan agar kepentingan pemerintah semaksimal mungkin harus serupa dengan kepentingan publik yang diperintah. Salah satu jalan untuk ini adalah melakukan perluasan hak pilih secara universal. Syarat Bentham bagi mereka yang ingin mengikuti Pemilu adalah kemampuan baca-tulis, sangat praktis, yaitu agar pemilih bisa membaca kertas suara.
Demokrasi representatif bagi Bentham bukan melulu merupakan persoalan pelembagaan Pemilu (perluasan hak pilih, kemampuan membaca kertas suara). Bentham tidak lupa melansir peran opini publik atas budaya pemerintahan. Sebab itu, Bentham amat membela intrusi pers untuk bersuara secara merdeka dan merdeka dalam mengamati perilaku pejabat publik. Melalui pers, menurut Bentham, maka suara greatest happiness of the greatest number bisa terdengar. Hak-hak menyatakan pendapat secara bebas bagi pers ini, bagi Bentham, harus terjamin di dalam konstitusi.
Dalam konteks demokrasi, Bentham berada dalam posisi mendukung perluasan hak suara secara menyeluruh. Ia juga banyak menaruh perhatian atas rincian struktur kelembagaan negara moderen. Pandangan Bentham atas demokrasi perwakilan adalah perlawanannya atas sinister-interest (kasus Panoptical, yang melibatkan 2 keluarga bangsawan berpengaruh).
Sinister-interest terjadi manakala terdapat kelompok istimewa (bangsawan kuat misalnya) yang mampu menggolkan kepentingan mereka yang bersifat seksional atau sempit di atas kepentingan publik. Bentham juga mencurigai bahwa banyak pejabat pemerintah yang berpotensi untuk terpisah dari kelompok yang diperintah (rakyat).
Begitu mereka terlepas, maka kepentingan mereka tidak lagi identik dengan kepentingan rakyat melainkan kelompoknya yang terdekat. Hal ini mirip dengan keberatan Rousseau atas para magistrat yang menyusun undang-undang, yang segera begitu terpilih, mereka melepaskan diri dari kepentingan pemilih untuk kemudian mengejar kepentingan pribadi mereka.
Bagi Bentham, solusi atas terpisahnya kepentingan ini adalah mengkondisikan agar kepentingan pemerintah semaksimal mungkin harus serupa dengan kepentingan publik yang diperintah. Salah satu jalan untuk ini adalah melakukan perluasan hak pilih secara universal. Syarat Bentham bagi mereka yang ingin mengikuti Pemilu adalah kemampuan baca-tulis, sangat praktis, yaitu agar pemilih bisa membaca kertas suara.
Demokrasi representatif bagi Bentham bukan melulu merupakan persoalan pelembagaan Pemilu (perluasan hak pilih, kemampuan membaca kertas suara). Bentham tidak lupa melansir peran opini publik atas budaya pemerintahan. Sebab itu, Bentham amat membela intrusi pers untuk bersuara secara merdeka dan merdeka dalam mengamati perilaku pejabat publik. Melalui pers, menurut Bentham, maka suara greatest happiness of the greatest number bisa terdengar. Hak-hak menyatakan pendapat secara bebas bagi pers ini, bagi Bentham, harus terjamin di dalam konstitusi.
Sumber Bacaan
Paul Kelly, “Bentham” dalam David Boucher and Paul Kelly, eds. Political Thinkers from Socrates to the Present (Oxford: Oxford University Press, 2003) pp. 307-23.
John Hoffman, A Glossary of Political Theory (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007) Pp. 16-7.
Ian Adams and R. W. Dyson, Fifty Major Political Thinkers, Second Edition (London and New York: Routledge, 2007) pp. 106-11.

https://orcid.org/0000-0002-1420-4288
0 Komentar