Tampak selintas bahwa Indonesia cukup memenuhi prasyarat itu. Indonesia memiliki banyak kekuatan politik semacam itu, baik yang manifest maupun yang potensil, berupa partai politik, serikat buruh, organisasi-organisasi mahasiswa, petani, dan lain sebagainya.
Namun demikian, kenyataannya adalah bahwa jalannya demokrasi di negeri ini masih terseok-seok, terombang-ambing antara bentuk-bentuk demokrasi dan otoritarian. Mengapa Indonesia bisa berada dalam kondisi demikian?
Di dalam demokrasi peran-peran politik selain negara harus kuat, seperti misalnya partai politik, serikat buruh, organisasi-organisasi mahasiswa, petani, dan lain sebagainya. Di dalam negara post-authoritarian seperti Indonesia, terlebih negara dengan budaya yang sama sekali berbeda dengan negara-negara Eropa sebagai asal-muasalnya, tentu saja demokrasi tidak berkembang seperti umum terjadi di sana.
Justru di Indonesia kini tengah berkembang apa yang dinamakan sebagai “pemerintahan-fungsionalis.” Gagasan ini sesungguhnya telah berlangsung sejak Indonesia merdeka, pernah dirintis pada era Sukarno, dan mapan di era Soeharto.
Gagasan “pemerintahan-fungsionalitas” ini didasarkan atas “kolektivisme” dan “asas kekeluargaan” yang kemudian menjelma ke dalam negara korporatif (corporate state). Negara korporatif ini menganggap bahwa negara adalah organisme, sehingga konsep individu hanya bisa bermakna jika menjadi bagian dari keutuhan yang diatur.
Secara politik, dalam negara korporatif berkembang yang dinamakan perwakilan fungsional, penolakan partai, penolakan perjuangan kelas. Negara korporatis adalah sebuah gagasan, yang sifat manifestasinya adalah relatif. Namun, paling tidak, indikasi ke arah tersebut sudah menggejala.
Dalam kecenderungan ini, corporatist Indonesia adalah “a system of government where large powerful pressure groups influence the policies of the government.”[01] Pengalaman negara korporatis ada di Spanyol dan Italia, di mana dewan legislatif dan “dewan negara” dibangun lebih pada garis korporasi perdagangan ketimbang konstituen secara geografis (dapil) maupun pemilu yang kompetitif. [02] Kini istilah korporatis negara sudah ada yang memasukkan neo-corporatism yaitu masuknya kelompok-kelompok penekan dari dunia usaha.
Di Indonesia saat ini, tentu saja yang kuat bukanlah kelompok penekan seperti serikat buruh melainkan pengusaha. Pengusaha ini hadir di setiap partai politik, sebagai prasyarat dinyatakan bahwa Indonesia sudah mempraktekkan demokrasi. Derasnya arus wacana yang menyatakan bahwa Indonesia dikuasai oleh oligarki partai politik hanya setengahnya tepat, karena partai politik sesungguhnya dikuasai oleh para pengusaha melalui modal mereka di setiap partai politik.
Pada saat dana negara tidak mampu menghidupi partai politik, maka konsekuensi logisnya partai politik mencari dana dari sumber lain, dan pengusaha perlu instrumen penyusun kebijakan yang selaras dengan kepentingan pencarian profit mereka. Terjadilah simbiosis-mutualistik antara partai politik dan pengusaha, yang saat ini dimanifestasikan dalam wujud pemerintahan-fungsional Indonesia 2019-2024.
Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat dinyatakan hanya dalam terma prosedural dan konstitusional, tetapi tidak substansial. Memang konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah pemerintahan dari rakyat, memang Indonesia sudah menjalankan prosedur mahal demokrasi: pemilu yang bertubi-tubi, pilpres, dan pilkada yang juga bertubi-tubi.
Namun, itu semua adalah sekadar warna bahwa Indonesia sudah mempraktekkan demokrasi, sebab secara substansial, begitu aneka pemilu tersebut selesai, tinggallah para pejabat dan anggota dewan (baik pusat maupun daerah) dengan mana mereka ini tunduk pada garis partai. Partai pun tunduk pada pemodal mereka: Pengusaha.
Dalam sistem politik demokrasi liberal Indonesia saat ini, pelembagaan politik dinyatakan sebagai sesuatu yang penting. Apabila seseorang ingin berpolitik, maka masuklah ke dalam partai politik karena partai politik kini sudah berdaya. Demikian yang kerap diargumentasikan oleh kubu yang optimis akan perkembangan demokrasi Indonesia.
Namun, kubu lain yang pesimis (atau kritis) akan menyatakan bahwa bagaimana Indonesia bisa memanifestasikan demokrasi sementara instrumen utama demokrasi yaitu partai politik dikuasai oleh para pengusaha. Partai politik yang korporatis menjadikan negara yang dibangunnya menjadi korporatis pula.
Dalam sejarah, di Pemilu 1955 sebagai misal anggaran kampanye PNI 70%nya berasal dari pengusaha, dengan kurang dari 14% berasal dari iuran anggotanya. [03] Pola yang dilakukan PNI ini agak berbeda dengan 3 partai lain saat pemodalan Pemilu dan organisasi yaitu PKI, NU, dan Masyumi yang banyak mengandalkan sumbangan konstituen maupun anggota partai.
Di era Orde Baru, PPP dan PDI lebih banyak menopangkan biaya operasional partai pada anggota, simpatisan, ataupun subsidi relatif kecil dari negara, sebab kalangan pengusaha menganggap investasi di kedua partai tersebut sebagai kurang profitable. Ini berbeda dengan golongan fungsional Golkar yang memiliki sumber dana melimpah, misalnya dari Yayasan Dana Karya Abadi (Yayasan Dakab), Yayasan Supersemar, dan Dhamais, dan donasi dari aneka pengusaha besar. [04] Ironisnya, pendanaan model PNI di masa lampau justru yang menjadi habit di era pasca transisi politik 1998.
Orientasi pengusaha dalam berbisnis adalah stabilitas politik. Stabilitas politik di era demokrasi liberal hanya mungkin apabila partai-partai politik dapat dikendalikan. Sebab itu kebijakan sebagai funding partai politik adalah tidak lain sebagai strategi bisnis jangka pendek dan menengah mereka.
Pengusaha selain berkepentingan terhadap produk undang-undang yang disusun parlemen juga tentunya berkepentingan besar pula akan munculnya stabilitas politik. Inilah yang mendorong sepinya protes dari kalangan partai politik atas masuknya Prabowo ke dalam kabinet kerja jilid 2. Masuknya Prabowo ke dalam eksekutif diyakini akan mendorong pada terciptanya situasi kondusif politik yang tidak lagi hingar-bingar sehingga bisnis bisa berjalan secara lancar.
Dalam studi di pertambangan Kalimantan Selatan, M. Uhaib As’ad menyimpulkan bahwa para aktor yang bermain sebagai business client, shadow government, dan local bossism membangun relasi kuasa dengan lembaga legislatif dan pemerintah untuk mendapatkan dukungan kebijakan melalui pembuatan sejumlah peraturan daerah berkenaan dengan pertambangan. [05]
Hal yang penting digarisbawahi adalah, hampir di setiap partai politik proses rekrutmen pejabat publik dilakukan secara sentralistik sehingga calon-calon mereka hampir selalu berasal dari eksternal partai politik. [06] Korupsi demokratis memiliki modus manakala terjadi eksklusivitas partai politik dalam rekrutmen dan seleksi kandidat, ditambah sentralisme partai politik dalam proses tersebut yang mengabaikan kontrol anggota partainya dan pertimbangan publik. [07]
Secara umum pasca transisi politik 1998 maka pola relasi bisnis politik di Indonesia ditandai adanya bentuk rent seeking yang dilakukan secra terbuka dalam lingkungan politik yang demokratis. Relasi ini dilakukan di luar hubungan publik dan formal, di mana pebisnis melakukan lobi dengan memberikan atau membawar uang (secara pribadi) kepada pejabat publik (politisi/ pemerintah/ birokrat) untuk memuluskan kepentingan bisnisnya. [08]
Sekurangnya ada 2 alasan pebisnis masuk arena politik yaitu pertama mereka punya kekayaan tetapi tidak punya power atau kekuasaan terhadap negara. Dengan menjadi pejabat negara dua hal sekaligus direngkuh: uang dan kekuasaan. Kedua, bisnisnya tengah menurun sehingga mereka coba full time masuk politik sebagai karir. [09] Semestinya pula dapat ditambahi bahwa terdapat pula pengusaha yang masuk ke dalam politik dalam kondisi perusahaan menaik tetapi diintai oleh masalah hukum, dan ini pula dapat memotivasi pengusaha rela menggelontorkan dana untuk berpolitik.
Tingginya prestise partai politik sebagai sokoguru demokrasi liberal saat ini membuat kelompok-kelompok lain seperti serikat buruh, gerakan mahasiswa, petani, nelayan, dengan mana mereka tidak memiliki cukup sumber daya finansial, menjadi tenggelam. Partai politik adalah organisasi yang banyak disasar oleh para pemodal untuk kepentingan bisnis mereka.
Di tubuh PDIP adalah para pengusaha seperti Tjahjo Kumolo dan Arifin Panigoro, di Nasdem Surya Paloh selain pemilik media juga pemilik aneka tambang besar, di Golkar tidak bisa dipungkiri peran Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie, di Gerindra ada peran tidak kecil dari Hashim Djojohadikusumo dan lingkaran bisnisnya, Hary Tanoesudibjo di Perindo, atau di PPP ada Djan Farid.
Selain di parpol, di kementerian pun pengusaha bertebaran di kabinet lanjutan 2019-2024: Nadiem Makarim (Mendikbud, Go-Jek), Erick Thohir (Meneg BUMN, Grup Mahaka), Wisnutama (Merparekraf, NET), Airlangga Hartarto (Menperindag, PT. Graha Curah Niaga), Bahlil Lahadia (Kepala BKPM, PT. Rifa Capital), Angela Herliani Tanoesoedibjo (Wamenparakref, putri Hari Tanoe, Wadir RCTI & GTV), Setiap pengusaha tentu memandang masalah politik bukan secara ideologis melainkan pragmatis. Satu suara pengusaha yang sama kendatipun berbeda partai politik adalah stabilitas politik, dan itulah yang membuat Indonesia kini cenderung korporatis dalam prakteknya.
[01] P. H. Collin, Dictionary of Politics and Government, Third Edition (London: Bloomsbury Publishing Plc, 2004) p. 57
[02] David Robertson, The Routledge Dictionary of Politics, Third Edition (London and New York: Routledge, 2004) pp. 124-5.
[03] Ulla Fiona, The Institutionalization of Political Parties in Post-authoritarian Indonesia: From the Grass-root Up (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013) p. 33.
[04] ibid., p. 59.
[05] M. Uhaib As’ad, “Kapitalisasi Demokrasi dan Jaringan Patronase Politik: Keterlibatan Pengusaha Tambang dalam Pilkada di Kalimantan Selatan” (Jurnal As Siyasah, Vol. 1, No. 1, 2016, pp. 34-41) h. 40.
[06] M. Aqil Irham, “Korupsi Demokratis dalam Partai Politik: Studi Kasus Penyelenggaraan Pemilukada Lampung” (Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Vol. 21, No. 1, Januari 2016: 35-56) h. 47-8.
[07] ibid., h. 54.
[08] Ratnia Solihah, “Pola Relasi Bisnis dan Politik di Indonesia Masa Reformasi: Kasus Rent Seeking” (Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 1, Maret 2016: 41-52) h. 51.
[09] James R. Situmorang, “Beberapa Keterkaitan antara Politik dan Bisnis” (Jurnal Administrasi Bisnis Vol. 5, No. 2, 2009: 146-159) h. 155.
Namun demikian, kenyataannya adalah bahwa jalannya demokrasi di negeri ini masih terseok-seok, terombang-ambing antara bentuk-bentuk demokrasi dan otoritarian. Mengapa Indonesia bisa berada dalam kondisi demikian?
![]() |
https://bestdiplomats.org/democracy-vs-authoritarianism/ |
Di dalam demokrasi peran-peran politik selain negara harus kuat, seperti misalnya partai politik, serikat buruh, organisasi-organisasi mahasiswa, petani, dan lain sebagainya. Di dalam negara post-authoritarian seperti Indonesia, terlebih negara dengan budaya yang sama sekali berbeda dengan negara-negara Eropa sebagai asal-muasalnya, tentu saja demokrasi tidak berkembang seperti umum terjadi di sana.
Justru di Indonesia kini tengah berkembang apa yang dinamakan sebagai “pemerintahan-fungsionalis.” Gagasan ini sesungguhnya telah berlangsung sejak Indonesia merdeka, pernah dirintis pada era Sukarno, dan mapan di era Soeharto.
Gagasan “pemerintahan-fungsionalitas” ini didasarkan atas “kolektivisme” dan “asas kekeluargaan” yang kemudian menjelma ke dalam negara korporatif (corporate state). Negara korporatif ini menganggap bahwa negara adalah organisme, sehingga konsep individu hanya bisa bermakna jika menjadi bagian dari keutuhan yang diatur.
Secara politik, dalam negara korporatif berkembang yang dinamakan perwakilan fungsional, penolakan partai, penolakan perjuangan kelas. Negara korporatis adalah sebuah gagasan, yang sifat manifestasinya adalah relatif. Namun, paling tidak, indikasi ke arah tersebut sudah menggejala.
Dalam kecenderungan ini, corporatist Indonesia adalah “a system of government where large powerful pressure groups influence the policies of the government.”[01] Pengalaman negara korporatis ada di Spanyol dan Italia, di mana dewan legislatif dan “dewan negara” dibangun lebih pada garis korporasi perdagangan ketimbang konstituen secara geografis (dapil) maupun pemilu yang kompetitif. [02] Kini istilah korporatis negara sudah ada yang memasukkan neo-corporatism yaitu masuknya kelompok-kelompok penekan dari dunia usaha.
Di Indonesia saat ini, tentu saja yang kuat bukanlah kelompok penekan seperti serikat buruh melainkan pengusaha. Pengusaha ini hadir di setiap partai politik, sebagai prasyarat dinyatakan bahwa Indonesia sudah mempraktekkan demokrasi. Derasnya arus wacana yang menyatakan bahwa Indonesia dikuasai oleh oligarki partai politik hanya setengahnya tepat, karena partai politik sesungguhnya dikuasai oleh para pengusaha melalui modal mereka di setiap partai politik.
Pada saat dana negara tidak mampu menghidupi partai politik, maka konsekuensi logisnya partai politik mencari dana dari sumber lain, dan pengusaha perlu instrumen penyusun kebijakan yang selaras dengan kepentingan pencarian profit mereka. Terjadilah simbiosis-mutualistik antara partai politik dan pengusaha, yang saat ini dimanifestasikan dalam wujud pemerintahan-fungsional Indonesia 2019-2024.
Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat dinyatakan hanya dalam terma prosedural dan konstitusional, tetapi tidak substansial. Memang konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah pemerintahan dari rakyat, memang Indonesia sudah menjalankan prosedur mahal demokrasi: pemilu yang bertubi-tubi, pilpres, dan pilkada yang juga bertubi-tubi.
Namun, itu semua adalah sekadar warna bahwa Indonesia sudah mempraktekkan demokrasi, sebab secara substansial, begitu aneka pemilu tersebut selesai, tinggallah para pejabat dan anggota dewan (baik pusat maupun daerah) dengan mana mereka ini tunduk pada garis partai. Partai pun tunduk pada pemodal mereka: Pengusaha.
Dalam sistem politik demokrasi liberal Indonesia saat ini, pelembagaan politik dinyatakan sebagai sesuatu yang penting. Apabila seseorang ingin berpolitik, maka masuklah ke dalam partai politik karena partai politik kini sudah berdaya. Demikian yang kerap diargumentasikan oleh kubu yang optimis akan perkembangan demokrasi Indonesia.
Namun, kubu lain yang pesimis (atau kritis) akan menyatakan bahwa bagaimana Indonesia bisa memanifestasikan demokrasi sementara instrumen utama demokrasi yaitu partai politik dikuasai oleh para pengusaha. Partai politik yang korporatis menjadikan negara yang dibangunnya menjadi korporatis pula.
Dalam sejarah, di Pemilu 1955 sebagai misal anggaran kampanye PNI 70%nya berasal dari pengusaha, dengan kurang dari 14% berasal dari iuran anggotanya. [03] Pola yang dilakukan PNI ini agak berbeda dengan 3 partai lain saat pemodalan Pemilu dan organisasi yaitu PKI, NU, dan Masyumi yang banyak mengandalkan sumbangan konstituen maupun anggota partai.
Di era Orde Baru, PPP dan PDI lebih banyak menopangkan biaya operasional partai pada anggota, simpatisan, ataupun subsidi relatif kecil dari negara, sebab kalangan pengusaha menganggap investasi di kedua partai tersebut sebagai kurang profitable. Ini berbeda dengan golongan fungsional Golkar yang memiliki sumber dana melimpah, misalnya dari Yayasan Dana Karya Abadi (Yayasan Dakab), Yayasan Supersemar, dan Dhamais, dan donasi dari aneka pengusaha besar. [04] Ironisnya, pendanaan model PNI di masa lampau justru yang menjadi habit di era pasca transisi politik 1998.
Orientasi pengusaha dalam berbisnis adalah stabilitas politik. Stabilitas politik di era demokrasi liberal hanya mungkin apabila partai-partai politik dapat dikendalikan. Sebab itu kebijakan sebagai funding partai politik adalah tidak lain sebagai strategi bisnis jangka pendek dan menengah mereka.
Pengusaha selain berkepentingan terhadap produk undang-undang yang disusun parlemen juga tentunya berkepentingan besar pula akan munculnya stabilitas politik. Inilah yang mendorong sepinya protes dari kalangan partai politik atas masuknya Prabowo ke dalam kabinet kerja jilid 2. Masuknya Prabowo ke dalam eksekutif diyakini akan mendorong pada terciptanya situasi kondusif politik yang tidak lagi hingar-bingar sehingga bisnis bisa berjalan secara lancar.
Dalam studi di pertambangan Kalimantan Selatan, M. Uhaib As’ad menyimpulkan bahwa para aktor yang bermain sebagai business client, shadow government, dan local bossism membangun relasi kuasa dengan lembaga legislatif dan pemerintah untuk mendapatkan dukungan kebijakan melalui pembuatan sejumlah peraturan daerah berkenaan dengan pertambangan. [05]
Hal yang penting digarisbawahi adalah, hampir di setiap partai politik proses rekrutmen pejabat publik dilakukan secara sentralistik sehingga calon-calon mereka hampir selalu berasal dari eksternal partai politik. [06] Korupsi demokratis memiliki modus manakala terjadi eksklusivitas partai politik dalam rekrutmen dan seleksi kandidat, ditambah sentralisme partai politik dalam proses tersebut yang mengabaikan kontrol anggota partainya dan pertimbangan publik. [07]
Secara umum pasca transisi politik 1998 maka pola relasi bisnis politik di Indonesia ditandai adanya bentuk rent seeking yang dilakukan secra terbuka dalam lingkungan politik yang demokratis. Relasi ini dilakukan di luar hubungan publik dan formal, di mana pebisnis melakukan lobi dengan memberikan atau membawar uang (secara pribadi) kepada pejabat publik (politisi/ pemerintah/ birokrat) untuk memuluskan kepentingan bisnisnya. [08]
Sekurangnya ada 2 alasan pebisnis masuk arena politik yaitu pertama mereka punya kekayaan tetapi tidak punya power atau kekuasaan terhadap negara. Dengan menjadi pejabat negara dua hal sekaligus direngkuh: uang dan kekuasaan. Kedua, bisnisnya tengah menurun sehingga mereka coba full time masuk politik sebagai karir. [09] Semestinya pula dapat ditambahi bahwa terdapat pula pengusaha yang masuk ke dalam politik dalam kondisi perusahaan menaik tetapi diintai oleh masalah hukum, dan ini pula dapat memotivasi pengusaha rela menggelontorkan dana untuk berpolitik.
Tingginya prestise partai politik sebagai sokoguru demokrasi liberal saat ini membuat kelompok-kelompok lain seperti serikat buruh, gerakan mahasiswa, petani, nelayan, dengan mana mereka tidak memiliki cukup sumber daya finansial, menjadi tenggelam. Partai politik adalah organisasi yang banyak disasar oleh para pemodal untuk kepentingan bisnis mereka.
Di tubuh PDIP adalah para pengusaha seperti Tjahjo Kumolo dan Arifin Panigoro, di Nasdem Surya Paloh selain pemilik media juga pemilik aneka tambang besar, di Golkar tidak bisa dipungkiri peran Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie, di Gerindra ada peran tidak kecil dari Hashim Djojohadikusumo dan lingkaran bisnisnya, Hary Tanoesudibjo di Perindo, atau di PPP ada Djan Farid.
Selain di parpol, di kementerian pun pengusaha bertebaran di kabinet lanjutan 2019-2024: Nadiem Makarim (Mendikbud, Go-Jek), Erick Thohir (Meneg BUMN, Grup Mahaka), Wisnutama (Merparekraf, NET), Airlangga Hartarto (Menperindag, PT. Graha Curah Niaga), Bahlil Lahadia (Kepala BKPM, PT. Rifa Capital), Angela Herliani Tanoesoedibjo (Wamenparakref, putri Hari Tanoe, Wadir RCTI & GTV), Setiap pengusaha tentu memandang masalah politik bukan secara ideologis melainkan pragmatis. Satu suara pengusaha yang sama kendatipun berbeda partai politik adalah stabilitas politik, dan itulah yang membuat Indonesia kini cenderung korporatis dalam prakteknya.
Catatan Kaki
[01] P. H. Collin, Dictionary of Politics and Government, Third Edition (London: Bloomsbury Publishing Plc, 2004) p. 57
[02] David Robertson, The Routledge Dictionary of Politics, Third Edition (London and New York: Routledge, 2004) pp. 124-5.
[03] Ulla Fiona, The Institutionalization of Political Parties in Post-authoritarian Indonesia: From the Grass-root Up (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013) p. 33.
[04] ibid., p. 59.
[05] M. Uhaib As’ad, “Kapitalisasi Demokrasi dan Jaringan Patronase Politik: Keterlibatan Pengusaha Tambang dalam Pilkada di Kalimantan Selatan” (Jurnal As Siyasah, Vol. 1, No. 1, 2016, pp. 34-41) h. 40.
[06] M. Aqil Irham, “Korupsi Demokratis dalam Partai Politik: Studi Kasus Penyelenggaraan Pemilukada Lampung” (Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Vol. 21, No. 1, Januari 2016: 35-56) h. 47-8.
[07] ibid., h. 54.
[08] Ratnia Solihah, “Pola Relasi Bisnis dan Politik di Indonesia Masa Reformasi: Kasus Rent Seeking” (Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 1, Maret 2016: 41-52) h. 51.
[09] James R. Situmorang, “Beberapa Keterkaitan antara Politik dan Bisnis” (Jurnal Administrasi Bisnis Vol. 5, No. 2, 2009: 146-159) h. 155.
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.