Pemikiran seorang Filosof politik tidak pernah bisa lepas dari situasi aktual yang berlaku di zamannya. Mereka kemudian melakukan pemetaan atas situasi dan dari sanalah muncul pemikiran orisinil mereka. Demikian pula Plato, seorang Filosof yang lahir dari garis keturunan keluarga bangsawan Athena dengan masa hidup 427 hingga 347 sebelum Masehi.
Pemikiran Plato yang paling terkenal adalah dikotominya antara dunia indera yang bersifat maya dengan realitas metafisik yang bersifat tetap. Dunia indera selalu berubah karena bersifat maya, sementara realitas metafisik sifatnya permanen atau tetap.
Saat Plato mengembangkan filsafatnya, Athena tengah berada di dalam masa kekalahan militer akibat perang dengan negara kota Yunani lain, konflik internal antar kekuatan politik, sehingga pemikiran Plato lebih dititikberatkan pada upaya pencarian keadilan dan keteraturan politik, mirip dengan situasi yang dihadapi Thomas Hobbes sehingga muncul konsepnya mengenai Leviathan. Bagi Plato, orang yang cocok untuk mengembalikan keadilan dan keteraturan politik Athena adalah seorang Negarawan yang sekaligus pula seorang Filosof.
![]() |
https://www.greecehighdefinition.com/blog/2024/2/21/socrates-plato-and-aristotle-similarities-and-differences |
Untuk menggambarkan pemikiran Plato, ada baiknya sedikit diulas sejarah dari negara kota Athena. Sebelum masa hidup Plato, Athena adalah negara kota Yunani yang paling besar, makmur, dan berbudaya. Di abad ke-7 sebelum Masehi, negara kota Athena didominasi oleh kaum bangsawan (aristokrat) yang menguasai lahan-lahan terbaik di Athena. Mereka memerintah tanpa aturan yang bersifat tertulis.
Secara teritorial, Athena memiliki luas sekitar 1000 mil persegi dengan jumlah warga negara antara tiga puluh hingga empat puluh ribu jiwa. Di era Plato, jumlah warga negara Athena telah mencapai dua ratus ribu jiwa. Athena menempati posisi sebagai episentrum intelektual bagi para orator yang berasal di seluruh wilayah Mediteranea. Posisi demografis dan ekonomi Athena membayangi negara-negara kota tetangganya. Saat itu terdapat sekitar tujuh ratus Polis (Poleis) atau negara kota di seantero wilayah Mediteranea.
Kondisi Athena mulai berangsur berubah semenjak 594 sebelum Masehi. Pada tahun-tahun tersebut terjadi kesenjangan antara kaum kaya aristokrat dengan kaum miskin petani. Mayoritas warganegara Athena bersetuju untuk menunjuk Solon (seorang legislator dan ahli puisi) selaku kepala magistrat (archon). Sebagai archon Solon diberikan mandat kekuasaan di luar kebiasaan, yaitu untuk membebaskan hutang ataupun membebaskan budak, juga memutuskan tindak pengasingan (ekskomunikasi) bagi mereka yang gagal membayar hutang mereka kepada kaum aristokrat.
Aneka perilaku kekuasaan Solon ini kemudian diimitasi oleh seorang figur militer bernama Pisistratus. Selama hampir tiga puluh tahun Pisistratus berhasil mendirikan “tirani populis,” mirip dengan apa yang kelak di kemudian hari dilakukan Gaius Julius Caesar atas Republik Romawi di masa hidup Marcus Tullius Cicero. Dengan tiraninya Pisistratus mampu membangun aneka proyek umum dan bangunan berskala besar seperti tempat pemujaan. Akibatnya, Pisistratus menjadi populer di kalangan warga negara.
Setelah masa Pisistratus berlalu, Athena digantikan oleh era Cleisthenes yang dimulai 506 sebelum Masehi. Cleisthenes adalah seorang reformis. Dalam masa kekuasaannya kategori kewarganegaraan Athena diperluas sehingga tidak lagi memandang status ataupun kemakmuran individual. Ia juga membangun Dewan 500 yang dengannya seluruh warganegara laki-laki dewasa berusia 30 tahun berhak untuk dipilih. Cleisthenes juga menetapkan bahwa otoritas final di Athena harus dipegang oleh sebuah dewan yang disebut Ekklesia. Komposisi Dewan tersebut terdiri atas seluruh warga negara.
Sejak era Cleisthenes-lah Athena memulai era Demokrasi di Yunani. Legislasi yang berkenaan dengan urusan komunal dapat diajukan untuk kemudian diputuskan menurut pemikiran siapa saja. Status mereka yang mengajukan legislasi ini pun tanpa memandang garis keturunan ataupun kekayaan mereka, termasuk tidak boleh ada intimidasi atas siapapun yang mengajukan. Sejak masa Cleisthenes pula mulai dikenal apa yang dinamakan budaya politik Yunani. Asumsi budaya politik tersebut adalah bahwa pemerintahan harus bersandar pada pengakuan dan persetujuan, bukan atas paksaan.
Setelah era Cleisthenes berakhir, Pericles muncul selaku pemegang estafek kepemimpinan negara kota Athena. Perikles memerintah antara 461 hingga 429 sebelum Masehi. Di masa Perikles, Ekklesia secara rutin dalam satu tahun melakukan 10 kali pertemuan. Penyelenggara pertemuan tersebut bukanlah Perikles melainkan Ekklesia sendiri.
Partisipan di dalam setiap pertemuan adalah seluruh warganegara dewasa. Isi pertemuan tersebut biasanya adalah merancang kebijakan domestik dan hubungan luar negeri, tindakan militer, dan anggaran negara kota. Para pejabat yang dipekerjakan oleh Ekklesia menerima gaji sebagai imbalan atas pelayanan publik yang mereka berikan. Penerima gaji juga termasuk mereka yang bertugas sebagai juri dalam suatu pengadilan. Termasuk mereka yang boleh menjadi juri ini adalah warganegara yang tidak memiliki tanah. Warga negara yang tidak memiliki tanah ini, yang kekurangan waktu luang pun bahkan diperkenankan untuk menduduki jabatan publik di masa Perikles.
Di masa Pericles pula, penentuan jabatan publik dan keanggotaan di setiap komite, ditentukan oleh surat suara dengan periode tanggung jawab definitif. Dengan demikian hampir seluruh warga negara Athena dapat berkesempatan untuk turut melakukan partisipasi politik secara langsung. Tentu saja yang dilibatkan ini tidak termasuk para istri juga kerabat perempuan para warga negara laki-laki. Mereka yang tidak termasuk juga meliputi orang Yunani non Athena serta para budak.
Di masa Pericles pula, penentuan jabatan publik dan keanggotaan di setiap komite, ditentukan oleh surat suara dengan periode tanggung jawab definitif. Dengan demikian hampir seluruh warga negara Athena dapat berkesempatan untuk turut melakukan partisipasi politik secara langsung. Tentu saja yang dilibatkan ini tidak termasuk para istri juga kerabat perempuan para warga negara laki-laki. Mereka yang tidak termasuk juga meliputi orang Yunani non Athena serta para budak.
Namun, kendati diskriminasi jelas masih terjadi di dalam Demokrasi Athena, umumnya setiap orang (warga negara) dapat terlibat dalam politik. Di masa Perikles kala itu, pengalaman pelatihan dan kompetensi warga negara tidak menjadi rujukan bagi sebuah jabatan. Dengan demikian dalam Demokrasi Pericles, mereka-mereka yang tidak kompeten pun, asalkan merupakan warga negara Athena, diperbolehkan untuk menduduki jabatan publik serta mengurus kehidupan masyarakat.
Demokrasi Athena sebelum Plato telah berkembang sekitar dua ratus tahun. Namun, Demokrasi tersebut dilingkupi oleh aneka konflik militer yang kerap disikapi Athena hampir secara bodoh. Keputusan militer harus dibuat secara cepat karena musuh cenderung bergerak agresif. Akibat proses pembuatan keputusan di Athena harus dibuat secara Demokratis, maka adaptasi Athena atas strategi militer musuh cenderung lambat sehingga kerap negara kota ini menderita kekalahan dalam pertempuran.
Dalam konflik militer, pada tahun 490 dan 480 Athena dan aliansinya menghadapi ancaman Persia, satu negara adidaya saat itu. Athena juga tidak sukses dalam menghadapi pasukan koalisi yang dipimpin Sparta dalam perang internal Yunani antara tahun 431 hingga 404.
Demokrasi Athena sebelum Plato telah berkembang sekitar dua ratus tahun. Namun, Demokrasi tersebut dilingkupi oleh aneka konflik militer yang kerap disikapi Athena hampir secara bodoh. Keputusan militer harus dibuat secara cepat karena musuh cenderung bergerak agresif. Akibat proses pembuatan keputusan di Athena harus dibuat secara Demokratis, maka adaptasi Athena atas strategi militer musuh cenderung lambat sehingga kerap negara kota ini menderita kekalahan dalam pertempuran.
Dalam konflik militer, pada tahun 490 dan 480 Athena dan aliansinya menghadapi ancaman Persia, satu negara adidaya saat itu. Athena juga tidak sukses dalam menghadapi pasukan koalisi yang dipimpin Sparta dalam perang internal Yunani antara tahun 431 hingga 404.
Demikian pula saat menghadapi Philip dari Makedonia tahun 388, kembali pasukan militer Athena tidak menemui kesuksesan. Akhirnya dalam Perang Peloponesos pada tahun 404 sebelum Masehi, Athena memberikan kekuasaan pada sejumlah klik Oligark yang kemudian terkenal disebut dengan “Tiga Puluh Tiran.” Di antara para tiran ini ada yang memiliki hubungan langsung dengan Plato.
Plato menyaksikan kemunduran Athena. Plato kemudian memfokuskan pemikirannya dengan mendasarkan diri pada potensi dasar dan sifat alamiah manusia. Sama seperti Sokrates, Plato memandang bahwa banyak politisi yang ternyata tidak kompeten dalam menjalankan tugas kenegaraannya.
Plato menyaksikan kemunduran Athena. Plato kemudian memfokuskan pemikirannya dengan mendasarkan diri pada potensi dasar dan sifat alamiah manusia. Sama seperti Sokrates, Plato memandang bahwa banyak politisi yang ternyata tidak kompeten dalam menjalankan tugas kenegaraannya.
Selain itu Plato juga memandang curiga terhadap aneka faksi politik yang saling bertikai dalam Athena. Plato mengamati bahwa banyak di antara politisi inkompeten tersebut dipilih oleh Ekklesia, dan sebab itu dipilih secara Demokratis. Namun, manakala memimpin orang-orang “terpilih” ini ternyata lebih tunduk kepada kepentingan pribadi mereka sendiri ketimbang kepentingan umum.
Plato meyakini bahwa hanya terdapat sedikit orang yang layak untuk menempati jabatan publik. Ia juga meyakini perlunya dibangun dasar rasional bagi perilaku manusia dan organisasi sosial. Akibat keinginannya yang kuat untuk memikirkan apa yang terbaik bagi Athena, ia bahkan menunda keinginannya secara pribadi untuk terjun langsung dalam politik praktis negara kota tersebut.
Plato meyakini bahwa hanya terdapat sedikit orang yang layak untuk menempati jabatan publik. Ia juga meyakini perlunya dibangun dasar rasional bagi perilaku manusia dan organisasi sosial. Akibat keinginannya yang kuat untuk memikirkan apa yang terbaik bagi Athena, ia bahkan menunda keinginannya secara pribadi untuk terjun langsung dalam politik praktis negara kota tersebut.
Dalam upaya tersebut ia mendirikan sekolah yang disebut Academy pada tahun 388 sebelum Masehi. Di sana ia mengajar dan menulis tentang bagaimana cara terbaik untuk mengelola negara. Tulisannya mirip dialog seperti dahulu sering dipraktikkan oleh gurunya: Sokrates.
Karya Plato yaitu Apology mengisahkan tentang keberatannya atas perilaku elit politik Athena atas hukuman mati yang mereka jatuhkan atas Sokrates. Di dalam karya tersebut Plato melakukan pembelaan atas Sokrates. Di dalam karyanya yang lain yaitu Crito ia mengembangkan nalarnya mengapa Sokrates tidak melarikan diri saja dari hukuman mati atas dirinya. Di karya lain yaitu Phaedo seorang yang dikutuk untuk mati mengajukan aneka argumentasi seputar keabadian jiwa. Baik Apology, Crito, maupun Phaedo merupakan dasar dari filsafat politik Plato.
Karya Plato lainnya adalah Republic. Republic ditulis tidak lama setelah Plato mendirikan Academy. Karya lainnya Statesman mengisahkan pertengahan karir Plato. Sementara karyanya Laws baru selesai ia rampungkan menjelang wafatnya, tepatnya setelah pengalaman buruknya selaku penasehat seorang raja muda di Syracuse pada tahun 360an.
Di dalam Republic Plato mengetengahkan pikirannya seputar upayanya mengejar pengetahuan mengenai etika dan keadilan serta apa yang terbaik bagi suatu masyarakat. Di dalam karya tersebut Plato menggunakan Sokrates sebagai tokoh protagonis. Republic juga berisikan ideal Plato tentang metafisik, yaitu pandangan bahwa apapun yang kita cerap dengan panca indera di dunia ini sifatnya hanya bayang-bayang yang tidak nyata. Sebab itu Plato merujuk pada adanya satu realitas yang sifatnya hakiki yang ia sebut Forma. Forma sekaligus merupakan kebenaran yang sesungguhnya.
Forma terletak di balik aneka kenyataan duniawi yang fana. Forma hanya dapat dicapai melalui investigasi rasional yang penuh kedisiplinan. Di dalam buku ketujuhnya yaitu Republic ini pula, kisah Plato tentang orang-orang yang terikat di dalam gua membelakangi pintu masuk dan hanya melihat bayang-bayang, terdapat.
Karya Plato yaitu Apology mengisahkan tentang keberatannya atas perilaku elit politik Athena atas hukuman mati yang mereka jatuhkan atas Sokrates. Di dalam karya tersebut Plato melakukan pembelaan atas Sokrates. Di dalam karyanya yang lain yaitu Crito ia mengembangkan nalarnya mengapa Sokrates tidak melarikan diri saja dari hukuman mati atas dirinya. Di karya lain yaitu Phaedo seorang yang dikutuk untuk mati mengajukan aneka argumentasi seputar keabadian jiwa. Baik Apology, Crito, maupun Phaedo merupakan dasar dari filsafat politik Plato.
Karya Plato lainnya adalah Republic. Republic ditulis tidak lama setelah Plato mendirikan Academy. Karya lainnya Statesman mengisahkan pertengahan karir Plato. Sementara karyanya Laws baru selesai ia rampungkan menjelang wafatnya, tepatnya setelah pengalaman buruknya selaku penasehat seorang raja muda di Syracuse pada tahun 360an.
Di dalam Republic Plato mengetengahkan pikirannya seputar upayanya mengejar pengetahuan mengenai etika dan keadilan serta apa yang terbaik bagi suatu masyarakat. Di dalam karya tersebut Plato menggunakan Sokrates sebagai tokoh protagonis. Republic juga berisikan ideal Plato tentang metafisik, yaitu pandangan bahwa apapun yang kita cerap dengan panca indera di dunia ini sifatnya hanya bayang-bayang yang tidak nyata. Sebab itu Plato merujuk pada adanya satu realitas yang sifatnya hakiki yang ia sebut Forma. Forma sekaligus merupakan kebenaran yang sesungguhnya.
Forma terletak di balik aneka kenyataan duniawi yang fana. Forma hanya dapat dicapai melalui investigasi rasional yang penuh kedisiplinan. Di dalam buku ketujuhnya yaitu Republic ini pula, kisah Plato tentang orang-orang yang terikat di dalam gua membelakangi pintu masuk dan hanya melihat bayang-bayang, terdapat.
Bayang-bayang disebut Plato sebagai aneka kenyataan yang ditemui manusia di dunia dan ditangkap oleh indera. Namun, hakikatnya kenyataan-kenyataan tersebut bukan yang sesungguhnya atau bukan Forma. Forma baru akan bisa dilihat apabila orang-orang yang terpenjara di dalam gua dilepas rantai ikatannya, kemudian melangkah untuk menuju mulut gua dan menyaksikan sesuatu yang baru. Itulah kenyataan yang sesungguhnya bagi Plato. Bagi Plato, dunia bayang-bayang seperti mereka lihat di dalam gua sangat jauh dari realitas yang sesungguhnya.
Plato juga mengakui bahwa setiap asosiasi atau perkumpulan yang dibuat oleh manusia selalu diarahkan untuk mencapai kebutuhan tertentu. Tidak ada orang yang sungguh-sungguh mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Mereka selalu bergantung pada orang lain untuk bertahan hidup juga berkembang biak.
Plato juga mengakui bahwa setiap asosiasi atau perkumpulan yang dibuat oleh manusia selalu diarahkan untuk mencapai kebutuhan tertentu. Tidak ada orang yang sungguh-sungguh mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Mereka selalu bergantung pada orang lain untuk bertahan hidup juga berkembang biak.
Sebab itu bagi Plato negara sengaja didesain untuk memastikan terjadinya pertukaran layanan yang harmonis. Dalam observasinya Plato menyatakan bahwa manusia ternyata memiliki bakat berbeda, sehingga ia mengajukan pendapat bahwa setiap orang harus fokus pada tugas dengan mana mereka mampu memenuhinya. Mereka harus berlatih dan tidak boleh orang tidak berkemampuan untuk suatu tugas memaksakan dirinya menjalankan tugas tersebut.
Dalam Republic Plato mengkritik Demokrasi Pericles yang banyak menempatkan orang-orang tidak kompeten dalam tugas kenegaraan. Bagi Plato tidak ada spesialisasi kerja dalam Demokrasi Pericles. Plato mengusulkan adanya pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja ini juga harus dikaitkan dengan produksi material. Seorang bangsawan tidak mungkin mampu membuat roti yang rasanya seenak yang dibuat oleh kalangan pelayan yaitu koki. Demikian pula di dalam negara, harus ada pembagian kerja berdasarkan keahlian.
Plato membagi masyarakat ke dalam dua kelas terpenting yaitu produsen dan penjaga. Produsen terkait dengan kerja-kerja seperti bidang ekonomi, pertanian, perdagangan, dan pabrik. Penjaga fokus pada tugas-tugas militer dan fungsi eksekutif bergantung pada pencapaian keahliannya. Penjaga militer memperlihatkan keberanian luar biasa dalam kondisi tekanan. Sementara mereka yang menjalankan tugas fungsi eksekutif negara dibedakan berdasarkan kemampuan intelektual, termasuk ke dalamnya kemampuan mereka untuk menjunjung kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Berkenaan dengan penciptaan kelas penjaga, dalam Republic Plato mengusulkan perlunya pelatihan sejak masa kanak-kanak. Mereka harus hidup di dalam garnisun sehingga tidak terganggu oleh kehidupan yang berkaitan dengan milik, kekayaan, dan pernikahan. Aristokrasi intelektual harus diciptakan dengan penguasa yang memiliki kemampuan tinggi dalam hal seni (techne) memerintah. Cara pandang Plato seputar cara memerintah ini merefleksikan pengaruh Sparta, sebuah negara kota militeristik.
Bagi Plato, seorang Negarawan-Filosof akan mampu mengimplementasikan kekuasaannya secara bijaksana. Sebagai ahli di bidang ilmu pengetahuan seputar tata cara memerintah, mereka akan mampu menginsiprasi dan mengarahkan orang lain menuju standar-standar virtue seperti Beauty, Goodness, Equality, dan Justice.
Bagi Plato pula maka kalangan petani selaku produsen juga para pengrajin tidak memiliki hak untuk mempertanyakan otoritas politik. Hal ini akibat mereka cenderung diarahkan oleh nafsu dan selera. Tugas mereka adalah untuk patuh dan mensuplay masyarakat dengan aneka produk material yang penting bagi perkembangan masyarakat. Bagi Plato, kemerdekaan adalah pemberian izin kepada warga negara sehubungan dengan realisasi panggilan tugas mereka guna melayani sesama. Termasuk ke dalam kemerdekaan ini adalah memenuhi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
Seorang Negarawan-Filosof telah terbebaskan dari godaan sehingga dapat fokus mengarahkan bawahannya untuk bekerja demi kepentingan komunitas. Kepentingan komunitas bagi Plato adalah kebutuhan tertinggi manusia. Sebab itu penguasa (Negarawan-Filosof) diberi kekebasan untuk mengadaptasi aneka hukum yang diperuntukkan guna mengatur hal-hal khusus dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Dalam Republic Plato mengkritik Demokrasi Pericles yang banyak menempatkan orang-orang tidak kompeten dalam tugas kenegaraan. Bagi Plato tidak ada spesialisasi kerja dalam Demokrasi Pericles. Plato mengusulkan adanya pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja ini juga harus dikaitkan dengan produksi material. Seorang bangsawan tidak mungkin mampu membuat roti yang rasanya seenak yang dibuat oleh kalangan pelayan yaitu koki. Demikian pula di dalam negara, harus ada pembagian kerja berdasarkan keahlian.
Plato membagi masyarakat ke dalam dua kelas terpenting yaitu produsen dan penjaga. Produsen terkait dengan kerja-kerja seperti bidang ekonomi, pertanian, perdagangan, dan pabrik. Penjaga fokus pada tugas-tugas militer dan fungsi eksekutif bergantung pada pencapaian keahliannya. Penjaga militer memperlihatkan keberanian luar biasa dalam kondisi tekanan. Sementara mereka yang menjalankan tugas fungsi eksekutif negara dibedakan berdasarkan kemampuan intelektual, termasuk ke dalamnya kemampuan mereka untuk menjunjung kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Berkenaan dengan penciptaan kelas penjaga, dalam Republic Plato mengusulkan perlunya pelatihan sejak masa kanak-kanak. Mereka harus hidup di dalam garnisun sehingga tidak terganggu oleh kehidupan yang berkaitan dengan milik, kekayaan, dan pernikahan. Aristokrasi intelektual harus diciptakan dengan penguasa yang memiliki kemampuan tinggi dalam hal seni (techne) memerintah. Cara pandang Plato seputar cara memerintah ini merefleksikan pengaruh Sparta, sebuah negara kota militeristik.
Bagi Plato, seorang Negarawan-Filosof akan mampu mengimplementasikan kekuasaannya secara bijaksana. Sebagai ahli di bidang ilmu pengetahuan seputar tata cara memerintah, mereka akan mampu menginsiprasi dan mengarahkan orang lain menuju standar-standar virtue seperti Beauty, Goodness, Equality, dan Justice.
Bagi Plato pula maka kalangan petani selaku produsen juga para pengrajin tidak memiliki hak untuk mempertanyakan otoritas politik. Hal ini akibat mereka cenderung diarahkan oleh nafsu dan selera. Tugas mereka adalah untuk patuh dan mensuplay masyarakat dengan aneka produk material yang penting bagi perkembangan masyarakat. Bagi Plato, kemerdekaan adalah pemberian izin kepada warga negara sehubungan dengan realisasi panggilan tugas mereka guna melayani sesama. Termasuk ke dalam kemerdekaan ini adalah memenuhi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
Seorang Negarawan-Filosof telah terbebaskan dari godaan sehingga dapat fokus mengarahkan bawahannya untuk bekerja demi kepentingan komunitas. Kepentingan komunitas bagi Plato adalah kebutuhan tertinggi manusia. Sebab itu penguasa (Negarawan-Filosof) diberi kekebasan untuk mengadaptasi aneka hukum yang diperuntukkan guna mengatur hal-hal khusus dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Setelah negawaran-Filosof bekerja maka sasaran akhir negara-kota tercapai yaitu justice (keadilan), yaitu kondisi di mana ketiga segmen masyarakat (pengrajin dan petani, militer, dan penguasa) dapat melaksanakan tugas mereka secara saling melengkapi dan harmonis. Kesalingmelengkapi ini berkenaan dengan kebutuhan fisik, perlindungan, dan Negarawan yang cakap.
Dalam Statesman dan Law Plato tidak lagi bicara hal-hal spekulatif seperti dalam Republic. Kendati Negarawan-Filosof yang ia maksud di dalam Republic berdiri di atas hukum, tetapi di dalam Laws Plato mengakui sulitnya untuk menemukan Negarawan yang benar-benar bebas dari kepentingan egoistik.
Sebab itu, setelah negara yang dipimpin oleh Negarawan-Filosof, Plato merekomendasikan negara hukum sebagai bentuk pemerintahan terbaik keduanya. Kendati demikian, Plato tetap bersikukuh membela Otoritarianisme yang terkembang melalui ide Negarawan-Filosof. Baginya, politik itu sama seperti dunia pengobatan dan matematika. Hanya mereka yang ahli saja yang mampu membuat aneka keputusan untuk menjalankan negara secara baik.
Catatan
Artikel ini telah saya bukukan dengan rincian:
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.