Masalah ketimpangan ini pun tidak hanya terjadi akibat praktek-praktek ekonomi yang monopolistik, tidak imbang, ataupun kolutif. Ketimpangan pun dapat muncul akibat alat ukur yang penggunaannya tidak berimbang. Alat ukur yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah PDB dan Indeks Gini. PDB cenderung hanya memperlihatkan pertumbuhan pasar produk/jasa baru, sementara Indeks Gini fokus pada persebaran pertumbuhan tersebut. Kecenderungan berlebih atas PDB mengakibatkan realitas merata-tidaknya distribusi kegiatan ekonomi menjadi tertutupi. Kenyataan yang harus secara umum diterima adalah, distribusi kemakmuran ekonomi secara global adalah timpang.
Produk Domestik Brutto
PDB atau dalam Bahasa Inggris disebut Gross Domestic Product (GDP) adalah alat ukur umum guna mengukur pembangunan ekonomi suatu lingkup geografis. PDB adalah produksi total yang terjadi di suatu lingkup geografis (atau suatu negara) dalam periode 1 tahun. Gross atau brutto adalah merujuk setiap transaksi apapun pasar di dalam negara. Domestik menyatakan bahwa pengukuran diterapkan atas kegiatan ekonomi di suatu batasan geografis. Produk menyatakan bahwa apa yang kita ukur bukan perdagangan di modal yang sudah (misalnya re-seller mobil yang kita miliki) tetapi aliran output baru di suatu periode. "Geliat ekonomi baru" adalah kunci dalam memahami PDB ini.
Cara menghitung PDB adalah GDP dibagi jumlah penduduk yang melakukan produksi tersebut di dalam suatu periode. Jika demikian maka, minimal secara awam kita berpikir, bahwa semakin besar suatu negara maka akan semakin besar jumlah penduduknya. Jika penduduk semakin besar maka tentu semakin besar pula produksi ekonominya. Namun, apakah logika seperti itu juga berlaku bagi peningkatan yang sama dalam hal standar hidup penduduk negara tersebut ? Jawabannya adalah belum tentu !
![]() |
https://sites.manchester.ac.uk/global-social-challenges/2021/05/05/how-big-are-we-going-to-let-the-inequality-gap-get/ |
Rezim ekonomi internasional semisal World Bank atau rezim pemerintahan global semisal PBB sangat gencar mempromosikan penggunaan PDB dalam melakukan peringkatan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara. Memang, jikalau kita bicara pertumbuhan maka penggunaan PDB sebagai standar tersebut bukanlah tidak tepat. PDB tentu mampu mengukur "geliat" positif maupun negatif kegiatan ekonomi, tetapi tidak distribusi atau pemerataannya.
Berdasarkan PDB ini pula, rezim-rezim internasional tersebut kemudian mengkategorisasi negara-negara berdasarkan peringkat perolehan PDBnya. Peringkat tersebut berkisar antara negara High Income, Middle Income, dan Low Income. Alat ukurnya adalah negara dengan PDB >= $ 12.616 masuk kategori High Income, negara dengan PDB antara $ 1.035 - $ 12.615 masuk kategori middle-income, sementara negara dengan PDB <= $ 1.035 masuk kategori low income.
Berdasarkan peringkatan tersebut, maka Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan sejumlah negara "maju" lain mereka nyatakan sebagai berkategori High Income. Seluruh negara tersebut hanya mengkomposisikan 15% atau sekitar 1 milyar penduduk dunia.
Middle Income adalah kategori terbesar PDB negara-negara dunia yang meliputi Middle Income batas atas dan Middle Income batas bawah. Kuantitas total penduduk dunia dari negara-negara yang masuk kategori ini sekitar 70%. Terakhir adalah kategori Low Income, dengan mana ditempati rata-rata oleh negara-negara Afrika dan kawasan Asia bagian selatan. Terdapat sekitar 15% penduduk dunia yang masuk kategori Low Income ini. Dengan demikian, kategori High, Middle, dan Low Income ini cenderung menyerupai kurva normal saat kita dahulu belajar statistik dasar saat kuliah Strata 1.
Rata-rata negara High Income dalam sejarahnya merupakan eks pelaku kolonialis-imperialis. Jauh sebelum tahun 2000-an, utamanya di era penjelajahan benua, negara-negara tersebut mengakumulasi sumber daya berharga dari negara yang mereka kolonialisasi semisal emas, perak, hasil alam, dan produk berharga yang mahal di pasar negara asal mereka.
Terjadi migrasi aset dari negara-negara kawasan Asia Selatan, Amerika Latin, dan Asia Tenggara ke negara-negara Eropa (dilanjutkan ke Amerika Serikat). Aset tersebut kemudian dijelmakan menjadi barang modal yang digunakan untuk produksi kemudia kemudian dipasarkan baik antar sesama mereka maupun, ironisnya, ke negara-negara yang dahulu mereka kolonisasi dengan sengaja.
Mengenai hal negara Low Income, selain akibat rendahnya kepemilikan aset untuk modal produksi, juga akibat aneka bencana yang melingkupi mereka seperti kekeringan, banjir, perang saudara, dan parokialisme politik tak berkesudahan, yang tidak seluruhnya bersifat alamiah melainkan sengaja direkayasa "negara" high income untuk melestarikan dominasi ekonomi global mereka. Hal ini diperparah dengan keterlibatan wirausahawan personal yang mendompleng negara mereka untuk berbisnis (neoliberalisme).
Rural dan Urban
Sejenak kita beralih dari lingkup global ke konsep rural-urban. Bahwa ketimpangan bukan hanya terjadi antara PDB negara high, middle, ataupun low income. Ketimpangan pun dapat saja terjadi di dalam negara itu sendiri yaitu berkenaan dengan konsep rural dan urban. Rural adalah wilayah pinggiran atau di Indonesia dikenal sebagai desa atau gampong. Sementara urban adalah wilayah kota dengan mana kegiatan produksi (kegiatan ekonomi) banyak terdapat. Akibatnya, uang lebih banyak beredar di wilayah urban ketimbang rural.
PDB penduduk urban, sebab itu, cenderung lebih tinggi ketimbang penduduk rural. Akibatnya, tingginya PDB ini membuat penduduk yang tadinya tinggal di wilayah rural melakukan migrasi ke wilayah urban. Wilayah urban umumnya sempit sehingga konsentrasi baru penduduk memunculkan aneka persoalan baru seperti sanitasi, penyediaan air bersih, pemukiman, dan pencemaran lingkungan, selain tentunya tingkat kriminalitas. Ini akibat wilayah urban umumnya berlokasi di sepanjang aliran sungai yang memungkinkan perpindahan barang dan jasa secara konvensional mudah.
Sementara itu, wilayah rural umumnya terletak di pedesaan atau pedalaman, dengan mana struktur landscape harus diolah terlebih dahulu nilai ekonominya dapat diberdayakan. Terakhir, tingkat kesuburan reproduksi (kemampuan beranak) penduduk rural umumnya relatif lebih tinggi ketimbang urban (banyak yang mandul, impoten, frigid, karena beratnya persaingan kerja).
Kendati demikian, rendahnya kesuburan penduduk urban bukan jaminan konsentrasi kepadatan manusia terkurangi. Tingginya migrasi dari rural ke urban akibat tingginya tingkat kesuburan dan ketiadaan kegiatan ekonomi (uang sedikit beredar) membuat kepadatan penduduk urban tetap konstan atau bahkan meningkat.
Rata-rata, negara-negara yang PDBnya masuk kategori High Income berkarakter urban. Namun, tidak semuanya pula, kita tidak pernah membuat generalisasi mudah atas "manusia" karena sejumlah negara middle income seperti Meksiko, Tunisia, Cina, Aljazair, Brazil, Peru, Mongolia, Panama, Paraguay, Argentina, Uruguay, telah masuk ke dalam kategori negara urban, tentu dengan permasalahannya sendiri-sendiri.
Indeks Gini versus PDB
Berbeda dengan PDB, Indeks Gini diukur dari rasio pendapatan teratas (high income) dengan terbawah. Atau, umumnya dilakukan perbandingan antara 20% richest dengan 20% poorest. Sebab itu, peruntukan (aksiologi) Indeks Gini dan PDB juga berbeda. Yang pertama untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi, sementara yang kedua untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi.
Indeks Gini adalah sebuah koefisien yang berkisar antara 1,0 hingga 0,0. Semakin mendekati 0,0 maka pendapatan penduduk di setiap rumah tangga negara itu semakin setara. Ini bisa dinyatakan dalam kalimat "Saya dan tetangga saya sama penghasilannya." Semakin mendekati 1,0 maka pendapatan penduduk di setiap rumah tangga itu semakin tidak setara (timpang). Ini bisa dinyatakan dalam kalimat "Penghasilan saya sangat tinggi, sementara penghasilan tetangga saya sangat rendah." Dengan demikian dapat disimpulkan, mengenai korelasi antara Indeks Gini dengan PDB, bahwa negara dengan tingkat PDB tinggi belum tentu merata kemakmuran ekonomi di antara penduduknya apabila diukur dengan Indeks Gini.
Sekadar sebagai potret besar, negara-negara seperti Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark memiliki Indeks Gini < 0,25. Negara-negara tersebut cenderung merata distribusi kesejahteraan penduduknya jika dibandingkan dengan negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,25 - 0,34 seperti Kanada, Spanyol, Perancis, Jerman, Italia, Mesir, Australia, Asia Tengah (Kazakhstan, Turkmeninstan, Kygyztan), Pakistan, dan Korea Utara.
Namun, negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,25 - 0,34 cenderung lebih kurang timpang ketimbang negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,35 - 0,44 seperti Amerika Serikat, Maroko, Tunisia, Aljazair, Rusia, Mongolia, Jepang, India, Indonesia, Iran, Yaman, Inggris, dan Portugal. Kondisi yang mulai "parah" dialami negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,45 - 0,49 seperti Meksiko, Argentina, dan Cina; atau Brasil, Peru, Papua Nugini, dan Panama dengan Indeks Gini antara 0,50 - 0,54. Terakhir yang cukup timpang adalah Afrika Selatan, dengan Indeks Gini antara 0,55 - 0,65, yang kemungkinan besar adalah sisa-sisa "fosil" budaya rasis apartheid di sana.
Studi atas Indeks Gini negara-negara anggota OECD (Organization for Economic and Development) pernah dilakukan tahun 2014. Negara yang termasuk zona biru atau aman adalah Islandia, Slovenia, Norwegia, Denmark, Republik Ceko, Finlandia, Republik Slovakia, Belgia, Austria, Swedia, dan Luxembourg. Kisaran Indeks Gini negara-negara ini antara 0,244 - 0,270.
Negara-negara dengan kategori hijau, dengan Indeks Gini antara 0,286 - 0,320 adalah Hungaria, Jerman, Belanda, Swiss, Perancis, Polandia, Korea, Selandia Baru, Italia, Estonia, dan Kanada. Sementara negara-negara dengan zona merah Indek Gininya berkisar antara 0,331 - >=0,466 berturut-turut dari terendah hingga tertinggi adalah Irlandia, Australia, Jepang, Yunani, Spanyol, Inggris, Portugal, Israel, Amerika Serikat, Turki, Meksiko, dan Chili.
Apa yang Bisa Dikatakan?
Masalah penting dari perbedaan antara PDB dan Indeks ini tiba untuk diajukan. Pertanyaan tersebut bisa senaif ini: Mengapa ketimpangan (ekonomi) terjadi ? Pertanyaan ini sangat umum tetapi paling sulit dicarikan solusi implementatifnya. Jawaban atas hal tersebut diantaranya bisa dijelaskan lewat sejumlah hal.
Pertama, variasi tingkat pendidikan. Kaum muda terdidik lebih mampu mentransfer kompetensinya menjadi kemakmuran ekonomi ketimbang yang tidak terdidik. Negara-negara dengan jumlah penduduk produktif (kaum muda) dengan proporsi terdidik kecil sementara tidak terdidiknya sangat besar, akan cenderung timpang. Apabila diukur Indeks Gini Hindia Belanda (Indonesia saat masih dijajah Belanda) maka ketimpangan rezim kolonial Hindia-Belanda akan cenderung besar.
Kedua, diskriminasi juga dapat menjadi sumber ketimpangan. Diskriminasi ini dapat berupa jenis kelamin, ras, etnis, penduduk migran, agama (minoritas-mayoritas), dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada pemerataan pendapatan penduduk. Ini dapat menjelaskan mengapa negara-negara OECD seperti Amerika Serikat dan Inggris tidak sesetara sejumlah negara Skandinavia.
Di Amerika Serikat banyak sekali penduduk migran, baik dari Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin, yang mana mereka ini secara kuantitatif (apabila disatukan cukup) besar sementara PDB mereka relatif sangat kecil. Hal demikian pun terjadi di Inggris, di mana negara tersebut karena kurangnya tenaga kerja membuka keran migrasi dari aneka negara Afrika Utara dan persemakmuran mereka. Sama seperti di Amerika Serikat, terdapat diskriminasi relatif atas pola okupasi penduduk migran ketimbang yang telah lama memiliki kewarganegaraan.
Di Afrika, negara yang paling timpang adalah Afrika Selatan dengan mana selama berpuluh-puluh tahun terjadi diskriminasi berdasarkan warna kulit. Penduduk kulit putih asal Inggris, Belgia, dan Belanda yang berjumlah kecil mengkonsentrasikan kesejahteraan secara sangat besar. Sementara bangsa asli Afrika Selatan yang berjumlah besar, hanya mengkonsentrasikan kesejahteraan yang sedikit. Di sanalah asal-usul ketimpangan terjadi.
Ketiga, perbedaan antara penduduk rural dan urban, dengan mana penduduk yang berurbanisasi biasanya mendapat nilai tambah ekonomi ketimbang yang menetap di desa. Dalam konteks PDB dan Indeks Gini, rural-urban bukan kategori yang tertutup untuk ditafsirkan. Kata kuncinya adalah kegiatan ekonomi dan uang beredar.
Kendati suatu wilayah masuk kategori rural, penduduknya sedikit, tetapi kegiatan ekonomi bergeliat dan uang beredar banyak maka ketimpangan cenderung dapat diminimalisasi oleh sebab PDB cenderung terdistribusi secara relatif merata. Sebaliknya, kendati suatu wilayah padat penduduk tetapi uang dan kegiatan ekonomi yang beredar hanya sedikit dan terkonsentrasi di proporsi kecil penduduk, maka ketimpangan cenderung terjadi akibat PDB tidak terdistribusi secara baik di wilayah tersebut.
Keempat, faktor sejarah di mana penduduk asli umumnya berpendapatan lebih rendah ketimbang pendatang atau elemen masyarakat yang melakukan kolonisasi atas mereka. Hal ini memperoleh contoh bagus, sekali lagi, di Afrika Selatan. Hal sedemikian pun terjadi di negara seperti Israel, di mana penduduk Arab-Palestina cenderung kurang mendapat distribusi PDB Israel yang cukup besar akibat alasan pendudukan mereka oleh para pendatang Yahudi dari Eropa dan Rusia.
The United Nations in Lao PDR, From Millenium Development Goals to Sustainable Development Goals: Laying the base for 2030.
Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New York: Columbia University Press, 2015).
Berdasarkan PDB ini pula, rezim-rezim internasional tersebut kemudian mengkategorisasi negara-negara berdasarkan peringkat perolehan PDBnya. Peringkat tersebut berkisar antara negara High Income, Middle Income, dan Low Income. Alat ukurnya adalah negara dengan PDB >= $ 12.616 masuk kategori High Income, negara dengan PDB antara $ 1.035 - $ 12.615 masuk kategori middle-income, sementara negara dengan PDB <= $ 1.035 masuk kategori low income.
Berdasarkan peringkatan tersebut, maka Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan sejumlah negara "maju" lain mereka nyatakan sebagai berkategori High Income. Seluruh negara tersebut hanya mengkomposisikan 15% atau sekitar 1 milyar penduduk dunia.
Middle Income adalah kategori terbesar PDB negara-negara dunia yang meliputi Middle Income batas atas dan Middle Income batas bawah. Kuantitas total penduduk dunia dari negara-negara yang masuk kategori ini sekitar 70%. Terakhir adalah kategori Low Income, dengan mana ditempati rata-rata oleh negara-negara Afrika dan kawasan Asia bagian selatan. Terdapat sekitar 15% penduduk dunia yang masuk kategori Low Income ini. Dengan demikian, kategori High, Middle, dan Low Income ini cenderung menyerupai kurva normal saat kita dahulu belajar statistik dasar saat kuliah Strata 1.
Rata-rata negara High Income dalam sejarahnya merupakan eks pelaku kolonialis-imperialis. Jauh sebelum tahun 2000-an, utamanya di era penjelajahan benua, negara-negara tersebut mengakumulasi sumber daya berharga dari negara yang mereka kolonialisasi semisal emas, perak, hasil alam, dan produk berharga yang mahal di pasar negara asal mereka.
Terjadi migrasi aset dari negara-negara kawasan Asia Selatan, Amerika Latin, dan Asia Tenggara ke negara-negara Eropa (dilanjutkan ke Amerika Serikat). Aset tersebut kemudian dijelmakan menjadi barang modal yang digunakan untuk produksi kemudia kemudian dipasarkan baik antar sesama mereka maupun, ironisnya, ke negara-negara yang dahulu mereka kolonisasi dengan sengaja.
Mengenai hal negara Low Income, selain akibat rendahnya kepemilikan aset untuk modal produksi, juga akibat aneka bencana yang melingkupi mereka seperti kekeringan, banjir, perang saudara, dan parokialisme politik tak berkesudahan, yang tidak seluruhnya bersifat alamiah melainkan sengaja direkayasa "negara" high income untuk melestarikan dominasi ekonomi global mereka. Hal ini diperparah dengan keterlibatan wirausahawan personal yang mendompleng negara mereka untuk berbisnis (neoliberalisme).
Rural dan Urban
Sejenak kita beralih dari lingkup global ke konsep rural-urban. Bahwa ketimpangan bukan hanya terjadi antara PDB negara high, middle, ataupun low income. Ketimpangan pun dapat saja terjadi di dalam negara itu sendiri yaitu berkenaan dengan konsep rural dan urban. Rural adalah wilayah pinggiran atau di Indonesia dikenal sebagai desa atau gampong. Sementara urban adalah wilayah kota dengan mana kegiatan produksi (kegiatan ekonomi) banyak terdapat. Akibatnya, uang lebih banyak beredar di wilayah urban ketimbang rural.
PDB penduduk urban, sebab itu, cenderung lebih tinggi ketimbang penduduk rural. Akibatnya, tingginya PDB ini membuat penduduk yang tadinya tinggal di wilayah rural melakukan migrasi ke wilayah urban. Wilayah urban umumnya sempit sehingga konsentrasi baru penduduk memunculkan aneka persoalan baru seperti sanitasi, penyediaan air bersih, pemukiman, dan pencemaran lingkungan, selain tentunya tingkat kriminalitas. Ini akibat wilayah urban umumnya berlokasi di sepanjang aliran sungai yang memungkinkan perpindahan barang dan jasa secara konvensional mudah.
Sementara itu, wilayah rural umumnya terletak di pedesaan atau pedalaman, dengan mana struktur landscape harus diolah terlebih dahulu nilai ekonominya dapat diberdayakan. Terakhir, tingkat kesuburan reproduksi (kemampuan beranak) penduduk rural umumnya relatif lebih tinggi ketimbang urban (banyak yang mandul, impoten, frigid, karena beratnya persaingan kerja).
Kendati demikian, rendahnya kesuburan penduduk urban bukan jaminan konsentrasi kepadatan manusia terkurangi. Tingginya migrasi dari rural ke urban akibat tingginya tingkat kesuburan dan ketiadaan kegiatan ekonomi (uang sedikit beredar) membuat kepadatan penduduk urban tetap konstan atau bahkan meningkat.
Rata-rata, negara-negara yang PDBnya masuk kategori High Income berkarakter urban. Namun, tidak semuanya pula, kita tidak pernah membuat generalisasi mudah atas "manusia" karena sejumlah negara middle income seperti Meksiko, Tunisia, Cina, Aljazair, Brazil, Peru, Mongolia, Panama, Paraguay, Argentina, Uruguay, telah masuk ke dalam kategori negara urban, tentu dengan permasalahannya sendiri-sendiri.
Indeks Gini versus PDB
Berbeda dengan PDB, Indeks Gini diukur dari rasio pendapatan teratas (high income) dengan terbawah. Atau, umumnya dilakukan perbandingan antara 20% richest dengan 20% poorest. Sebab itu, peruntukan (aksiologi) Indeks Gini dan PDB juga berbeda. Yang pertama untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi, sementara yang kedua untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi.
Indeks Gini adalah sebuah koefisien yang berkisar antara 1,0 hingga 0,0. Semakin mendekati 0,0 maka pendapatan penduduk di setiap rumah tangga negara itu semakin setara. Ini bisa dinyatakan dalam kalimat "Saya dan tetangga saya sama penghasilannya." Semakin mendekati 1,0 maka pendapatan penduduk di setiap rumah tangga itu semakin tidak setara (timpang). Ini bisa dinyatakan dalam kalimat "Penghasilan saya sangat tinggi, sementara penghasilan tetangga saya sangat rendah." Dengan demikian dapat disimpulkan, mengenai korelasi antara Indeks Gini dengan PDB, bahwa negara dengan tingkat PDB tinggi belum tentu merata kemakmuran ekonomi di antara penduduknya apabila diukur dengan Indeks Gini.
Sekadar sebagai potret besar, negara-negara seperti Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark memiliki Indeks Gini < 0,25. Negara-negara tersebut cenderung merata distribusi kesejahteraan penduduknya jika dibandingkan dengan negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,25 - 0,34 seperti Kanada, Spanyol, Perancis, Jerman, Italia, Mesir, Australia, Asia Tengah (Kazakhstan, Turkmeninstan, Kygyztan), Pakistan, dan Korea Utara.
Namun, negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,25 - 0,34 cenderung lebih kurang timpang ketimbang negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,35 - 0,44 seperti Amerika Serikat, Maroko, Tunisia, Aljazair, Rusia, Mongolia, Jepang, India, Indonesia, Iran, Yaman, Inggris, dan Portugal. Kondisi yang mulai "parah" dialami negara-negara dengan Indeks Gini antara 0,45 - 0,49 seperti Meksiko, Argentina, dan Cina; atau Brasil, Peru, Papua Nugini, dan Panama dengan Indeks Gini antara 0,50 - 0,54. Terakhir yang cukup timpang adalah Afrika Selatan, dengan Indeks Gini antara 0,55 - 0,65, yang kemungkinan besar adalah sisa-sisa "fosil" budaya rasis apartheid di sana.
Studi atas Indeks Gini negara-negara anggota OECD (Organization for Economic and Development) pernah dilakukan tahun 2014. Negara yang termasuk zona biru atau aman adalah Islandia, Slovenia, Norwegia, Denmark, Republik Ceko, Finlandia, Republik Slovakia, Belgia, Austria, Swedia, dan Luxembourg. Kisaran Indeks Gini negara-negara ini antara 0,244 - 0,270.
Negara-negara dengan kategori hijau, dengan Indeks Gini antara 0,286 - 0,320 adalah Hungaria, Jerman, Belanda, Swiss, Perancis, Polandia, Korea, Selandia Baru, Italia, Estonia, dan Kanada. Sementara negara-negara dengan zona merah Indek Gininya berkisar antara 0,331 - >=0,466 berturut-turut dari terendah hingga tertinggi adalah Irlandia, Australia, Jepang, Yunani, Spanyol, Inggris, Portugal, Israel, Amerika Serikat, Turki, Meksiko, dan Chili.
Apa yang Bisa Dikatakan?
Masalah penting dari perbedaan antara PDB dan Indeks ini tiba untuk diajukan. Pertanyaan tersebut bisa senaif ini: Mengapa ketimpangan (ekonomi) terjadi ? Pertanyaan ini sangat umum tetapi paling sulit dicarikan solusi implementatifnya. Jawaban atas hal tersebut diantaranya bisa dijelaskan lewat sejumlah hal.
Pertama, variasi tingkat pendidikan. Kaum muda terdidik lebih mampu mentransfer kompetensinya menjadi kemakmuran ekonomi ketimbang yang tidak terdidik. Negara-negara dengan jumlah penduduk produktif (kaum muda) dengan proporsi terdidik kecil sementara tidak terdidiknya sangat besar, akan cenderung timpang. Apabila diukur Indeks Gini Hindia Belanda (Indonesia saat masih dijajah Belanda) maka ketimpangan rezim kolonial Hindia-Belanda akan cenderung besar.
Kedua, diskriminasi juga dapat menjadi sumber ketimpangan. Diskriminasi ini dapat berupa jenis kelamin, ras, etnis, penduduk migran, agama (minoritas-mayoritas), dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada pemerataan pendapatan penduduk. Ini dapat menjelaskan mengapa negara-negara OECD seperti Amerika Serikat dan Inggris tidak sesetara sejumlah negara Skandinavia.
Di Amerika Serikat banyak sekali penduduk migran, baik dari Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin, yang mana mereka ini secara kuantitatif (apabila disatukan cukup) besar sementara PDB mereka relatif sangat kecil. Hal demikian pun terjadi di Inggris, di mana negara tersebut karena kurangnya tenaga kerja membuka keran migrasi dari aneka negara Afrika Utara dan persemakmuran mereka. Sama seperti di Amerika Serikat, terdapat diskriminasi relatif atas pola okupasi penduduk migran ketimbang yang telah lama memiliki kewarganegaraan.
Di Afrika, negara yang paling timpang adalah Afrika Selatan dengan mana selama berpuluh-puluh tahun terjadi diskriminasi berdasarkan warna kulit. Penduduk kulit putih asal Inggris, Belgia, dan Belanda yang berjumlah kecil mengkonsentrasikan kesejahteraan secara sangat besar. Sementara bangsa asli Afrika Selatan yang berjumlah besar, hanya mengkonsentrasikan kesejahteraan yang sedikit. Di sanalah asal-usul ketimpangan terjadi.
Ketiga, perbedaan antara penduduk rural dan urban, dengan mana penduduk yang berurbanisasi biasanya mendapat nilai tambah ekonomi ketimbang yang menetap di desa. Dalam konteks PDB dan Indeks Gini, rural-urban bukan kategori yang tertutup untuk ditafsirkan. Kata kuncinya adalah kegiatan ekonomi dan uang beredar.
Kendati suatu wilayah masuk kategori rural, penduduknya sedikit, tetapi kegiatan ekonomi bergeliat dan uang beredar banyak maka ketimpangan cenderung dapat diminimalisasi oleh sebab PDB cenderung terdistribusi secara relatif merata. Sebaliknya, kendati suatu wilayah padat penduduk tetapi uang dan kegiatan ekonomi yang beredar hanya sedikit dan terkonsentrasi di proporsi kecil penduduk, maka ketimpangan cenderung terjadi akibat PDB tidak terdistribusi secara baik di wilayah tersebut.
Keempat, faktor sejarah di mana penduduk asli umumnya berpendapatan lebih rendah ketimbang pendatang atau elemen masyarakat yang melakukan kolonisasi atas mereka. Hal ini memperoleh contoh bagus, sekali lagi, di Afrika Selatan. Hal sedemikian pun terjadi di negara seperti Israel, di mana penduduk Arab-Palestina cenderung kurang mendapat distribusi PDB Israel yang cukup besar akibat alasan pendudukan mereka oleh para pendatang Yahudi dari Eropa dan Rusia.
Sumber Pengetahuan
The United Nations in Lao PDR, From Millenium Development Goals to Sustainable Development Goals: Laying the base for 2030.
Jeffrey D. Sachs, The Age of Sustainable Development (New York: Columbia University Press, 2015).
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.