Militer sebagai Alat dan Pelindung
Dunia militer atau ketentaraan, sering dikaitkan sebagai ‘penguasa alat-alat kekerasan’ (manager of violence), namun saat yang bersamaan, militer hadir sebagai ‘pelindung’ (umbrela) bagi terjaminnya pertahanan dan keamanan masyarakat sipil serta keberlangsungan kedaulatan negara. Militer memang menguasai alat-alat kekerasan, karena tanpa pemilikan persenjataan berikut penggunaannya yang otoritatif, mereka tidak berbeda dengan kelompok sipil lain dalam suatu masyarakat.
Penggunaan alat-alat kekerasan secara otoritatif berimplikasi pada kewajiban digunakannya peralatan tersebut secara konstitusional. Pandangan secara konstitusional ini berikut penafsirannya amat berkait dengan asal-muasal kelompok militer di suatu negara. Militer Cina, Indonesia, Amerika Serikat, Perancis, dan Thailand tentu berbeda dalam menafsirkan posisi mereka dalam kancah politik nasional. Militer di Cina, Indonesia, dan Thailand adalah sokoguru berdirinya negara mereka.
Mereka berperan sebagai ‘umbrella’ negara dan bangsa sehingga keterlibatan mereka di dalam politik bukanlah hal yang tabu. Amerika Serikat dan Perancis bermuasalkan pada dominannya kelompok sipil perniagaan yang membentuk negara lewat kontrak sosial. Sebagai pendiri negara, kelompok sipil ini mendirikan kelompok militer sebagai alat negara. Akibatnya, keterlibatan militer ke dalam politik adalah hal yang tabu dan ditolak oleh warganegaranya.
![]() |
Laskar Hisboellah, Salah Satu Elemen Sipil Cikal-Bakal TNI Foto dari : https://www.republika.id/posts/19986/laskar-perjuangan-dalam-masa-revolusi |
Di kedua region tersebut (Timur dan Barat), militer tentu saja sama berperan sebagai umbrella atau pelindung terjaminnya pertahanan dan keamanan masyarakat sipil. Perbedaannya bukan pada ‘apa dan siapa’ kelompok militer tersebut, melainkan ‘bagaimana’ dan ‘untuk apa’ perlindungan tersebut diterapkan.
Pada region Amerika Serikat dan Perancis, militer adalah kelompok militer independen di bawah kendali parlemen dan eksekutif. Peran-peran mereka sudah definitif dan dipahami oleh seluruh warga negara. Namun, pada region Cina, Indonesia, dan Thailand, perlindungan yang dilakukan oleh militer relatif samar. Petinggi Partai Komunis Cina rata-rata adalah mereka yang pernah berdinas di Tentara Pembebasan Rakyat (cikal-bakal TNI a la Cina) sehingga jalur komunikasi dan kesepahaman antara militer di TPR dan PKC relatif padu. Ada wilayah-wilayah kebijakan di mana PKC cenderung berserah kepada militer karena itu adalah kepentingan yang inheren di dalam tubuh anggota politbiro PKC.
Di Thailand, militer sudah sekitar 19 kali melakukan kudeta hit-and-run. Militer Thailand sering melakukan kudeta manakala mereka memandang politisi sipil (perdana menteri) yang mengendalikan suatu pemerintahan mereka nilai “korup”, “malpraktek”, “membahayakan kepentingan nasional rakyat Thailand”, dan “membahayakan Raja.” Uniknya, setelah memerintah beberapa lama, militer Thailand kembali mengadakan Pemilu dan kembali pemerintahan sipil mengendalikan politik nasional.
Mungkin di sinilah peran militer sebagai umbrella tersebut. Hal serupa terjadi di Indonesia, di mana tahun 1946 sekelompok militer di Jawa Tengah menculik PM Sutan Sjahrir karena cenderung kompromistis terhadap Belanda di dalam perundingan. Juga, saat terjadi Peristiwa 1952 yang dipicu Kolonel Bambang Subeno berkeliling ke 5 daerah militer untuk mencari dukungan pemberhentian atas diri atasannya, Abdul Haris Nasution.
Juga tahun 1957 di mana Nasution menyarankan dukungan pada Sukarno untuk mengakhiri Demokrasi Liberal (terakhir adalah Kabinet Ali Sastroamidjojo yang menyerahkan mandat pada Sukarno) dan 2 tahun kemudian mendirikan Demokrasi Terpimpin.
Peristiwa peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto juga tidak lepas dari sokongan militer Indonesia. Selama Orde Baru, militer (terutama Angkatan Darat) adalah pemain utama dalam dwi-fungsi ABRI.
Pasca 1998 militer menarik diri dari politik, tetapi banyak para pensiunan jenderal di usia awal pensiun telah melibatkan diri ke dalam partai-partai politik. Hingga periode terkini, di mana rivalitas Jokowi vs. Prabowo 1, Jokowi vs. Prabowo 2., dan Anies vs. Prabowo vs. Ganjar selalu diwarnai oleh dukung-mendukung para jenderal purnawirawan di masing-masing kubu: Kelompok militer ‘merah-putih’ di kubu Jokowi dan militer ‘hijau’ di kubu Prabowo; Kelompok militer 'merah-putih" terpecah ke Ganjar dan Prabowo sementara militer "hijau" terpecah ke Anies dan Prabowo. Bahkan hingga saat ini, militer sesungguhnyalah tetap berpolitik melalui "jalur memutar" yaitu para kader sesuai angkatan sekolah militer mereka.
Perbedaan Kultur Militer Barat dan Indonesia
Kultur militer di Barat paling tidak tumbuh sejak Revolusi Perancis 1779. Eropa sejak abad pertengahan diwarnai oleh berkuasanya para baron dan marquis. Masing-masing mereka memiliki wilayah kekuasaan spesifik dan kastil adalah markas mereka. Para ‘orang kuat’ ini saling bersaing satu sama lain sehingga letupan perang antar mereka adalah hal yang biasa. Dalam memerangi satu sama lain, mereka tidak membangun pasukan sendiri karena biayanya besar dan sebab itu lebih suka menyewa pasukan dan dikenal sebagai mercenary atau tentara bayaran.
Tentara bayaran ini adalah kalangan profesional sama seperti tukang kuda, pandai besi, ataupun pembuat kerajinan. Mereka ini dihargai karena kemampuan tempurnya dan tentu saja semakin tinggi kemampuan tempur (bukan loyalitas) harga mereka semakin mahal.
Dengan demikian, bahkan sejak awal, konsep cikal-bakal militer di Perancis ini (dan Eropa umumnya, kemudian menyebar ke Amerika Serikat) yaitu profesionalitas sudah menggejala. Baron dan mercenary (tentara swasta/upahan) punya wilayah kekuasaan spesifik yang satu sama lain tidak overlap. Konsep ini kemudian terjadi saat negara moderen Eropa berdiri.
Militer adalah kelompok yang profesional di bidang persenjataan tetapi tunduk pada konstitusi yang disusun oleh kelompok sipil (baron masa lalu adalah kaum sipil, bukan mercenary). Sebab itu dapat pula disebut bahwa militer di Barat adalah militer non organis, karena ia kendati berasal dari rakyat, tetapi sudah memilih ‘bentuk’ profesi otonom yang punya aturan spesifik yang dipahami bersama. Pekerjaan mereka adalah olah senjata untuk melindungi negara, bukan berpolitik.
Berbeda dengan di Indonesia karena di sini militer memiliki cikal bakal yang sifatnya organis dan bahwa negara Indonesia selain lahir dari olah pikir kaum intelektual sipil juga diinisiasi oleh laskar-laskar sipil bersenjata yang kemudian diserap ke dalam TNI.
Selain lasykar-lasykar, militer Indonesia pun berasal dari PETA, yaitu pemuda-pemuda Indonesia dari kaum ‘ekonomi gurem’ yang mengadu nasib menjadi tentara didikan Jepang. Tentara Jepang kendati pasti mereka adalah kelompok militer merupakan organisator politik sipil. Kebiasaan-kebiasaan tentara Jepang ini pun melekat ke dalam benak para pemuda eks PETA yang kemudian diserap ke dalam TNI seperti misalnya Soeharto, Ali Moertopo, Yoga Sugama, Ibnu Sutowo, ataupun Sudjono Humardhani. Tidak hanya para "alumni" PETA, bahkan militer Indonesia yang merupakan jebolan KNIL (militer Belanda) seperti Jenderal A.H. Nasution justru menekankan bahwa militer bukan kelompok pasif, melainkan kelompok aktif dalam pengelolaan negara. Dari Nasution pula doktrin DwiFungsi ABRI lahir dan itu merupakan teori praktis yang sangat cerdas.
Enam Peristiwa Militer dan Politik di Indonesia
Peristiwa 27 Juni tahun 1946. Dalam peristiwa ini terjadi penculikan atas Sutan Sjahir, perdana menteri Indonesia. Ia diculik oleh kelompok militer yang dipimpin oleh Mayor Sudarsono dan digerakkan oleh Tan Malaka. Alasan kelompok militer ini adalah menganggap Sjahrir dianggap bersikap lembek terhadap Belanda karena melakukan perundingan, bukan lekas memaklumatkan merdeka 100% lewat perjuangan fisik. Kelompok militer ini mengajukan tuntutan agar kabinet dibubarkan, perang total dengan Belanda diterapkan.
Peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa ini dipicu oleh keresahan kalangan militer atas intervensi politisi sipil atas urusan internal Angkatan Darat. Urusan internal ini adalah friksi antara kelompok militer profesional yang diwakili Nasution dengan militer ‘politik’ yang diwakili Bambang Supeno, mantan tentara PETA. Supeno memprotes keputusan Nasution dan TB Simatupang untuk melibatkan Amerika Serikat dalam pembangunan militer Indonesia, lalu melaporkan kepada politisi sipil (Sukarno). Supeno lalu didukung parlemen dan mengecam pemecatan oleh Nasution tersebut.
Jabatan Supeno sebelumnya tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak militer (Nasution). Untuk itulah kemudian kelompok militer mendesak Sukarno untuk membubarkan parlemen. Akhir dari peristiwa ini adalah diskorsnya sejumlah perwira militer termasuk Nasution dan TB Simatupang.
Peristiwa 27 Juni 1955. Latar peristiwa ini adalah permohonan pengunduran diri Kolonel Bambang Sugeng sebagai KSAD. Politisi sipil, khususnya PNI mempolitisasi lowongnya jabatan strategis ini. Pihak TNI mengajukan permintaan agar posisi tersebut diisi berdasarkan senioritas.
Mungkin di sinilah peran militer sebagai umbrella tersebut. Hal serupa terjadi di Indonesia, di mana tahun 1946 sekelompok militer di Jawa Tengah menculik PM Sutan Sjahrir karena cenderung kompromistis terhadap Belanda di dalam perundingan. Juga, saat terjadi Peristiwa 1952 yang dipicu Kolonel Bambang Subeno berkeliling ke 5 daerah militer untuk mencari dukungan pemberhentian atas diri atasannya, Abdul Haris Nasution.
Juga tahun 1957 di mana Nasution menyarankan dukungan pada Sukarno untuk mengakhiri Demokrasi Liberal (terakhir adalah Kabinet Ali Sastroamidjojo yang menyerahkan mandat pada Sukarno) dan 2 tahun kemudian mendirikan Demokrasi Terpimpin.
Peristiwa peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto juga tidak lepas dari sokongan militer Indonesia. Selama Orde Baru, militer (terutama Angkatan Darat) adalah pemain utama dalam dwi-fungsi ABRI.
Pasca 1998 militer menarik diri dari politik, tetapi banyak para pensiunan jenderal di usia awal pensiun telah melibatkan diri ke dalam partai-partai politik. Hingga periode terkini, di mana rivalitas Jokowi vs. Prabowo 1, Jokowi vs. Prabowo 2., dan Anies vs. Prabowo vs. Ganjar selalu diwarnai oleh dukung-mendukung para jenderal purnawirawan di masing-masing kubu: Kelompok militer ‘merah-putih’ di kubu Jokowi dan militer ‘hijau’ di kubu Prabowo; Kelompok militer 'merah-putih" terpecah ke Ganjar dan Prabowo sementara militer "hijau" terpecah ke Anies dan Prabowo. Bahkan hingga saat ini, militer sesungguhnyalah tetap berpolitik melalui "jalur memutar" yaitu para kader sesuai angkatan sekolah militer mereka.
Perbedaan Kultur Militer Barat dan Indonesia
Kultur militer di Barat paling tidak tumbuh sejak Revolusi Perancis 1779. Eropa sejak abad pertengahan diwarnai oleh berkuasanya para baron dan marquis. Masing-masing mereka memiliki wilayah kekuasaan spesifik dan kastil adalah markas mereka. Para ‘orang kuat’ ini saling bersaing satu sama lain sehingga letupan perang antar mereka adalah hal yang biasa. Dalam memerangi satu sama lain, mereka tidak membangun pasukan sendiri karena biayanya besar dan sebab itu lebih suka menyewa pasukan dan dikenal sebagai mercenary atau tentara bayaran.
Tentara bayaran ini adalah kalangan profesional sama seperti tukang kuda, pandai besi, ataupun pembuat kerajinan. Mereka ini dihargai karena kemampuan tempurnya dan tentu saja semakin tinggi kemampuan tempur (bukan loyalitas) harga mereka semakin mahal.
Dengan demikian, bahkan sejak awal, konsep cikal-bakal militer di Perancis ini (dan Eropa umumnya, kemudian menyebar ke Amerika Serikat) yaitu profesionalitas sudah menggejala. Baron dan mercenary (tentara swasta/upahan) punya wilayah kekuasaan spesifik yang satu sama lain tidak overlap. Konsep ini kemudian terjadi saat negara moderen Eropa berdiri.
Militer adalah kelompok yang profesional di bidang persenjataan tetapi tunduk pada konstitusi yang disusun oleh kelompok sipil (baron masa lalu adalah kaum sipil, bukan mercenary). Sebab itu dapat pula disebut bahwa militer di Barat adalah militer non organis, karena ia kendati berasal dari rakyat, tetapi sudah memilih ‘bentuk’ profesi otonom yang punya aturan spesifik yang dipahami bersama. Pekerjaan mereka adalah olah senjata untuk melindungi negara, bukan berpolitik.
Berbeda dengan di Indonesia karena di sini militer memiliki cikal bakal yang sifatnya organis dan bahwa negara Indonesia selain lahir dari olah pikir kaum intelektual sipil juga diinisiasi oleh laskar-laskar sipil bersenjata yang kemudian diserap ke dalam TNI.
Selain lasykar-lasykar, militer Indonesia pun berasal dari PETA, yaitu pemuda-pemuda Indonesia dari kaum ‘ekonomi gurem’ yang mengadu nasib menjadi tentara didikan Jepang. Tentara Jepang kendati pasti mereka adalah kelompok militer merupakan organisator politik sipil. Kebiasaan-kebiasaan tentara Jepang ini pun melekat ke dalam benak para pemuda eks PETA yang kemudian diserap ke dalam TNI seperti misalnya Soeharto, Ali Moertopo, Yoga Sugama, Ibnu Sutowo, ataupun Sudjono Humardhani. Tidak hanya para "alumni" PETA, bahkan militer Indonesia yang merupakan jebolan KNIL (militer Belanda) seperti Jenderal A.H. Nasution justru menekankan bahwa militer bukan kelompok pasif, melainkan kelompok aktif dalam pengelolaan negara. Dari Nasution pula doktrin DwiFungsi ABRI lahir dan itu merupakan teori praktis yang sangat cerdas.
Enam Peristiwa Militer dan Politik di Indonesia
Peristiwa 27 Juni tahun 1946. Dalam peristiwa ini terjadi penculikan atas Sutan Sjahir, perdana menteri Indonesia. Ia diculik oleh kelompok militer yang dipimpin oleh Mayor Sudarsono dan digerakkan oleh Tan Malaka. Alasan kelompok militer ini adalah menganggap Sjahrir dianggap bersikap lembek terhadap Belanda karena melakukan perundingan, bukan lekas memaklumatkan merdeka 100% lewat perjuangan fisik. Kelompok militer ini mengajukan tuntutan agar kabinet dibubarkan, perang total dengan Belanda diterapkan.
Peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa ini dipicu oleh keresahan kalangan militer atas intervensi politisi sipil atas urusan internal Angkatan Darat. Urusan internal ini adalah friksi antara kelompok militer profesional yang diwakili Nasution dengan militer ‘politik’ yang diwakili Bambang Supeno, mantan tentara PETA. Supeno memprotes keputusan Nasution dan TB Simatupang untuk melibatkan Amerika Serikat dalam pembangunan militer Indonesia, lalu melaporkan kepada politisi sipil (Sukarno). Supeno lalu didukung parlemen dan mengecam pemecatan oleh Nasution tersebut.
Jabatan Supeno sebelumnya tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak militer (Nasution). Untuk itulah kemudian kelompok militer mendesak Sukarno untuk membubarkan parlemen. Akhir dari peristiwa ini adalah diskorsnya sejumlah perwira militer termasuk Nasution dan TB Simatupang.
Peristiwa 27 Juni 1955. Latar peristiwa ini adalah permohonan pengunduran diri Kolonel Bambang Sugeng sebagai KSAD. Politisi sipil, khususnya PNI mempolitisasi lowongnya jabatan strategis ini. Pihak TNI mengajukan permintaan agar posisi tersebut diisi berdasarkan senioritas.
Namun, pemerintah menggunakan kriteria sendiri dan mengajukan 3 calon: Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Sudirman, dan Kolonel Bambang Utoyo. Ini ditambah 1 orang lagi yaitu Kolonen Bachrun yang diusulkan Sukarno dan Hatta.
Sayangnya, pengajuan calon-calon tersebut tidak sesuai pandangan Angkatan Darat yang menganggap bahwa yang layak untuk dicalonkan adalah Kolonel Simbolon atau Kolonel Nasution. Calon-calon lain menolak karena tidak ada seorangpun yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Korps Perwira. Hanya ada 1 yang menerima yaitu Kolonel Bambang Utoyo, yang menerima jabatan tersebut tanpa konsultasi dengan pimpinan Angkatan Darat.
Peristiwa 14-15 Agustus 1958. Ini adalah sidang Dewan Nasional, di mana Nasution mengusulkan agar militer memiliki posisi baik di Dewan Nasional, DPR, maupun kabinet. Argumentasi Nasution adalah historis, yaitu saat terjadi Agresi Militer Belanda II dan politisi sipil nasional puncak ditangkap dan diasingkan Belanda, praktis hanya TNI yang mempertahankan status quo wilayah Republik Indonesia.
Juga saat itu berlangsung UU Keadaan Bahaya di mana Djuanda sebagai pimpinan kabinet ditugaskan Sukarno mendirikan pemerintahan yang berkolaborasi dengan militer. Atas hasil desakan ini maka militer masuk ke dalam Dewan Nasional dengan Sukarno selaku ketua dan ex officio terdiri atas Jenderal Nasution, Komodor Suyadarma, Laksamana Subijakto, dan Komisaris Sukanto.
Seminar TNI AD tahun 1966. Dalam seminar TNI AD 25 -31 Agustus 1966, ditetapkan doktrin bahwa militer (AD) selain memiliki fungsi militer, juga “untuk berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik dan ekonomi dan bidang sosial budaya.” Seminar ini pun menghasilkan dokumen berjudul “Kontribusi Angkatan Darat dari Ide untuk Kabinet Ampera.”
Dokumen tersebut terdiri atas 2 bagian yaitu “Rencana untuk Stabilisasi Politik” dan “Rencana untuk Stabilisasi Ekonomi.” Apa yang diterakan di dalam ke-2 bagian dokumen tersebut hampir seluruhnya diterapkan di era Orde Baru di mana Angkatan Darat (militer) berperan secara sentral dalam politik Indonesia.
Seminar Angkatan Darat 22-24 September 1998. Seminar ini mengetengahkan tema “Peran ABRI Abad XXI” dan merupakan upaya melakukan reformasi di tubuh TNI. Hasil seminar diberi judul “ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa.”
Berbeda dengan Seminar 1966, dari seminar ini TNI berkehendak untuk menjadi militer profesional, yaitu semata sebagai alat pertahanan negara yang tangguh dan kuat. Beberapa poin dari hasil pemikiran ini adalah TNI secara berangsur melepaskan posisi mereka di jabatan politik sipil, anggota militer yang ingin terlibat dalam politik sipil harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas militer, pemisahan Polri dari TNI, memotong hubungan dengan Golkar, netral dalam Pemilu dan politik, dan mengurangi pengaruh militer dalam everyday politics.
Demikian pendapat saya, apakah memang politisi sipil di Indonesia memiliki semangat korps untuk membangun bangsa atau sebaliknya, semangat korps untuk merebut resources demi kepentingan para cukong finansial mereka, para kreditor kampanye, atau bagi-bagi "rejeki halal" bagi kaum mereka saja. Jika politisi sipil cenderung membuat situasi negara kacau dan menunjukkan gejala bangkrut, maka sulit kita menyalahkan apabila militer kembali masuk ke dalam politik. Negara ini bernama Indonesia, bukan Inggris, Swedia, terlebih lagi Swiss.
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.