Militer dan Politik, Benci tapi Rindu
Hal ini sesungguhnya tidak terlampau mencengangkan. Sekurangnya pada tahun 1960-an, sejumlah ilmuwan politik Amerika Serikat memprediksi kemunculan militer dalam politik di negara-negara berkembang. Kemunculan ini di antaranya akibat dua hal yang dijadikan dasar argumentasi.
Pertama, mereka dibutuhkan oleh rakyat karena kelompok militer memiliki kemampuan membangun dan memordernisasi kehidupan bangsa dan negaranya. Kedua, kelompok militer dipercaya senantiasa membela kepentingan rakyat.
Dengan kedua dalil tersebut pula maka analisis atas keterlibatan militer dalam politik Thailand dapat dilangsungkan. Hal ini juga dapat dikembangkan pada analisis serupa di seputar politik Indonesia.
Di Indonesia sendiri, reposisi TNI yang dicanangkan pada awal era Reformasi kini telah berusia hampir dua dekade. Masa dua dekade adalah periode panjang mengingat kini politik Indonesia, khususnya eksekutif, hanya bisa maksimal berkuasa 10 tahun (satu kali masa jabatan 5 tahun dikalikan dua). Belajar dari kasus Thailand, dapat saja dikembangkan analisis atas sejumlah faktor yang mendorong juga menghambat TNI ke atas panggung politik nasional Indonesia.
Kasus Thailand
Kasus Thailand ini menarik, karena kualitas bernegara mereka tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun, militer Thailand begitu percaya diri, tidak ragu atas kecaman dunia internasional karena melakukan kudeta damai, yang semua itu akibat posisi tegas mereka sebagai “praetorian” negara sekaligus sebagai penjaga rakyat. Setelah kajian singkat atas militer Thailand (yang tentu saja tidak lengkap) sub selanjutnya akan membahas kondisi militer Indonesia.
Thailand adalah negara demokrasi, tetapi demokrasi yang mirip dengan Indonesia: penuh intrik dan hiruk-pikuk koalisi pecah-sambung. Perbedaannya RTA (Royal Thai Army) memiliki otonomi dan kekuatan, yang di luar batas cengkeraman politisi sipil. [1] Thailand sama menjargonkan diri sebagai negara demokrasi, tetapi demokrasi Thailand. Kalau Indonesia suka ataupun tidak, harus dikatakan menganut Demokrasi Liberal Barat.
Padahal, tentu saja tidak bisa Indonesia begitu saja langsung mencangkok Demokrasi Liberal Barat, karena ada faktor sosiologis, ekonomis, dan historis yang berbeda. Demikian pula, sejarah angkatan bersenjata Indonesia tidak sama dengan sejarah posisi militer di AS ataupun Inggris. Salah satu ‘contekan’ yang ceroboh dalam proses pencangkokan Demokrasi Liberal di Indonesia adalah, sipil lebih supreme dari militer, dan inilah indikator ahistoris yang grusa-grusu digagas oleh SBY dan kawan-kawan melalui Paradigma Baru TNI.
Kembali ke masalah Thailand, militer di sana tidak terkooptasi oleh politisi sipil, tidak seperti di Indonesia yang bahkan elit militer tertentu malah ikhlas berserah diri pada supremasi sipil, dan ironisnya mereka sendiri yang membuat konsepnya. Otonom dan kuatnya posisi institusional, membuat militer Thailand penuh percaya diri mengoreksi perilaku politisi sipil dan hebatnya, tanpa pertumpahan darah dan pula didukung penuh oleh rakyat.
Saat militer Thailand memandang bahwa politisi sipil sudah keluar jalur, vested-interest, dan melenceng dari apa yang seharusnya, langsung mereka turun tangan, melakukan kudeta, menyelenggarakan Pemilu, menyerahkan kembali kuasa pemerintahan ke tangan sipil, lalu mundur sementara dari politik, untuk kemudian bersiap kembali apabila inkompetensi politisi sipil meruyak.
Aneka kup militer di Thailand telah terjadi sebanyak 17 kali (sejak 1932 s.d. 1991), dan ditambah 2 yaitu 2006 dan 2014, sehingga total kup militer adalah 19 kali. Indonesia sendiri terjadi 3 Juli 1946, 17 Oktober 1952, dan 11 Maret 1966. Tahun 2000 militer Indonesia malah mengkudeta dirinya sendiri lewat formalisasi Paradigma Baru TNI. Jadi, militer Indonesia sesungguhnya lebih ‘lembut’ ketimbang Thailand. Bahkan, mayoritas warganegara Thailand jenuh dengan kup sehingga militer menghentikannya sejak 1991.
Namun, kembali mayoritas warganegara Thailand mendukung kup 2006 dan 2014 yang berlangsung tanpa pertumpahan darah. Sungguh suatu hal menarik, rakyat Thailand justru permisif atas tindakan kalangan militer terhadap politisi sipil yang mereka pilih sendiri di dalam Pemilu.
Pada tahun 2006, militer Thailand secara terbuka melakukan kudeta atas pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra. Kudeta ini tanpa pertumpahan darah, dengan mana kemudia militer Thailand segera mendeklarasikan martial law dan mengumumkan diri mereka sebagai pemerintahan interim.
Pada tahun 2014 kembali militer melakukan kudeta atas pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra (adik perempuan Thaksin Shinawatra) akibat aneka faksi sipil saling bertikai tak berkesudahan akibat sengketa amandemen konstitusi. Kudeta kali ini juga berlangsung tanpa pertumpahan darah. Pertanyaannya adalah, mengapa militer Thailand bisa bertindak semacam itu?
Di Thailand ada sejumlah area yang tidak bisa disentuh oleh politisi terpilih (sipil) yaitu Monarki, Majelis Pribadi Monarki, Pengadilan, dan Militer. Keempat lembaga ini tidak peduli dengan demokrasi, mereka berdiri di luarnya, tetapi punya kepentingan atas kehidupan politik Thailand.
Asumsi utama keterlibatan militer ke dalam politik adalah apabila ada ancaman terhadap negara dan masyarakat. Militer adalah penjaga bangsa, penjamin keamanan dan stabilitas. Sejarah militer Thailand pun mirip dengan militer Indonesia. Militer Thailand adalah serupa dengan cikal-bakal TNI, mereka bagian yang turut melahirkan negara-bangsa Thailand.
Hanya elemen militer yang belum dihabisi Belanda, yang kemudian mereka ini bergerilya dan secara mengejutkan kembali menghadirkan de facto Indonesia lewat Serangan Umum 1 Maret 1949 yang merupakan kolaborasi antara Kolonel Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Letkol Soeharto.
Kendati hanya 6 jam menguasai Yogyakarta, serangan militer gabungan di bawah Resimen Soeharto membuktikan militer Indonesia masih ada dan siap mendepolitisasi klaim kemenangan Belanda atas pimpinan sipil Indonesia. Militer adalah sokoguru Republik Indonesia, saham historisnya cukup mahal.
Crouch menyatakan bahwa “the Indonesian army has never restricted itself to an exclusively military role.” [3] Sejak 1945-1949 militer Indonesia terlibat dalam perjuangan fisik (perang) dengan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan.
Kendati sempat sebentar ‘beristirahat’ sejak 1949, berlangsung Demokrasi Liberal yang hiruk-pikuk, mendorong militer kembali masuk politik tahun 1957, dengan pemberlakuan martial law. [4] Ini cukup mirip dengan Thailand, tetapi militer Indonesia lebih khas, mereka ikut menjalankan pemerintahan.
Sejak 1957, militer Indonesia masuk ke ranah politik (hadir di parlemen), administratif (menjadi pejabat kepala daerah dan kementerian), serta ekonomi (memimpin BUMN). Konsep dasar middle-way Nasution tidak lahir begitu saja 1957, melainkan hasil refleksi panjang sejak berdirinya Republik: Sipil tidak bisa sepenuhnya diserahi tugas mengelola negara. Apakah konsep middle-way Nasution? Ia adalah:
Selama Demokrasi Terpimpin 1959-1965, militer terbiasa bahu-membahu dengan pemimpin sipil dalam mengelola negara. Setelah April 1965, middle-way ini semakin mapan lewat konsep dwi-fungsi ABRI, bahwa militer punya dua peran, yaitu peran militer dan peran sosial-politik.
Selama Orde Baru, konsep ini berjalan secara konsisten sehingga Indonesia berhasil melakukan pembangunan ekonomi, menjamin stabilitas, menciptakan kelas menengah yang melimpah lewat pendidikan dan peningkatan kemakmuran.
Namun, apa yang terjadi setelah 1998? Militer seolah dibuang begitu saja dari peran sosial-politiknya. Militer Indonesia dianggap seperti “pesakitan” dan “penular penyakit otoritarian.” Jargonnya adalah militer harus kembali ke barak. Bagaimana mungkin ini bisa diterima secara rasional, padahal selama 1945 hingga 1998, militer adalah sokoguru penting republik, baik dalam konteks pertahanan, keamanan, maupun stabilisator sosial-politik negeri ini.
Modernisasi Indonesia sejak 1967 adalah buah dari aneka seminar dan perencanaan pembangunan yang justru dimotori militer. Teknokrat sipil dari aneka disiplin ilmu diundang oleh kelompok militer yang concern dalam memodernisasi bangsa ini.
Keluarlah konsep Pembangunan Lima Tahun di awal Orde Baru, di mana Indonesia bisa melakukan pembangunan ekonomi secara sistematis, pembangunan sekolah, pembangunan jalan, pusat kesehatan, menstabilisasi potensi kekeruhan politik, dan menentukan arah negara melalui duduknya mereka di MPR dan DPR, juga eksekutif, sebagai alat kontrol euphoria politik kaum sipil yang hanya membela kepentingan parpol mereka.
Sejak tahun 1960-an, khususnya dalam Demokrasi Terpimpin, Indonesia adalah negara dengan personel militer di dalam pemerintahan, bukan negara dengan pemerintahan militer. [6] Di dalam benak militer Indonesia ada pemahaman panjang bahwa pejabat sipil secara fundamental kurang kapabel dalam menjalankan negara. Ini akibat para pejabat sipil tersebut mudah terbelah dalam kepentingan yang sempit dan sektoral.[7]
Pandangan seperti ini lumrah untuk pernah diutarakan Jenderal Sudirman, A.H. Nasution, dan Soeharto. Inilah maka pada 1992 setengah bupati di Indonesia adalah militer dan sepertiga dari gubernur provinsi adalah militer. Namun, akibat merenggangnya hubungan Soeharto dengan militer di pertengahan dan akhir 1990-an, militer harus berpikir ulang mengenai posisinya di dalam republik ini.
Kingsbury menyatakan “ ... that the state of Republic of Indonesia is not viable without the active involvement of the TNI in its political and security activities, which are inextricably linked.” [8] Indonesia tidak memiliki sejarah khusus sebagai suatu komunitas politik yang homogen. Indonesia terdiri atas aneka komunitas politik yang relatif mandiri, sebelum mereka dirusak oleh Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, bahkan jauh setelah itu, militer-lah yang merupakan kekuatan kohesif untuk merekat aneka komunitas politik yang sangat bervariasi di seluruh wilayah yang kemudian dikenal sebagai Indonesia. Efektivitas negara Indonesia baru bergerak signifikan manakala terdapat unsur militer selaku penggeraknya.
[1] Lipikar Narayaem Lindman, Military Coups in Thailand: The Strategic Arguments to Justify a Democratic Setback (Uppsala University, Fall 2017) p. 4.
[2] O. G. Roeder, The Smiling General: President Soeharto of Indonesia, Second Revised Edition (Djakarta: Gunung Agung, 1970) p. 121.
[3] Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Singapore: Equinox Publishing, 2007) p. 24
[4] ibid.
[5] ibid.
[6] Damien Kingbury, Power Politics and Indonesian Military (London: RoutledgeCurzon, 2003) p. 7
[7] ibid.
[8] ibid. p. 12.
Hal ini sesungguhnya tidak terlampau mencengangkan. Sekurangnya pada tahun 1960-an, sejumlah ilmuwan politik Amerika Serikat memprediksi kemunculan militer dalam politik di negara-negara berkembang. Kemunculan ini di antaranya akibat dua hal yang dijadikan dasar argumentasi.
Pertama, mereka dibutuhkan oleh rakyat karena kelompok militer memiliki kemampuan membangun dan memordernisasi kehidupan bangsa dan negaranya. Kedua, kelompok militer dipercaya senantiasa membela kepentingan rakyat.
![]() |
https://jakartaglobe.id/news/indonesian-military-earns-rebuke-meddling-politics |
Dengan kedua dalil tersebut pula maka analisis atas keterlibatan militer dalam politik Thailand dapat dilangsungkan. Hal ini juga dapat dikembangkan pada analisis serupa di seputar politik Indonesia.
Di Indonesia sendiri, reposisi TNI yang dicanangkan pada awal era Reformasi kini telah berusia hampir dua dekade. Masa dua dekade adalah periode panjang mengingat kini politik Indonesia, khususnya eksekutif, hanya bisa maksimal berkuasa 10 tahun (satu kali masa jabatan 5 tahun dikalikan dua). Belajar dari kasus Thailand, dapat saja dikembangkan analisis atas sejumlah faktor yang mendorong juga menghambat TNI ke atas panggung politik nasional Indonesia.
Kasus Thailand
Kasus Thailand ini menarik, karena kualitas bernegara mereka tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun, militer Thailand begitu percaya diri, tidak ragu atas kecaman dunia internasional karena melakukan kudeta damai, yang semua itu akibat posisi tegas mereka sebagai “praetorian” negara sekaligus sebagai penjaga rakyat. Setelah kajian singkat atas militer Thailand (yang tentu saja tidak lengkap) sub selanjutnya akan membahas kondisi militer Indonesia.
Thailand adalah negara demokrasi, tetapi demokrasi yang mirip dengan Indonesia: penuh intrik dan hiruk-pikuk koalisi pecah-sambung. Perbedaannya RTA (Royal Thai Army) memiliki otonomi dan kekuatan, yang di luar batas cengkeraman politisi sipil. [1] Thailand sama menjargonkan diri sebagai negara demokrasi, tetapi demokrasi Thailand. Kalau Indonesia suka ataupun tidak, harus dikatakan menganut Demokrasi Liberal Barat.
Padahal, tentu saja tidak bisa Indonesia begitu saja langsung mencangkok Demokrasi Liberal Barat, karena ada faktor sosiologis, ekonomis, dan historis yang berbeda. Demikian pula, sejarah angkatan bersenjata Indonesia tidak sama dengan sejarah posisi militer di AS ataupun Inggris. Salah satu ‘contekan’ yang ceroboh dalam proses pencangkokan Demokrasi Liberal di Indonesia adalah, sipil lebih supreme dari militer, dan inilah indikator ahistoris yang grusa-grusu digagas oleh SBY dan kawan-kawan melalui Paradigma Baru TNI.
Kembali ke masalah Thailand, militer di sana tidak terkooptasi oleh politisi sipil, tidak seperti di Indonesia yang bahkan elit militer tertentu malah ikhlas berserah diri pada supremasi sipil, dan ironisnya mereka sendiri yang membuat konsepnya. Otonom dan kuatnya posisi institusional, membuat militer Thailand penuh percaya diri mengoreksi perilaku politisi sipil dan hebatnya, tanpa pertumpahan darah dan pula didukung penuh oleh rakyat.
Saat militer Thailand memandang bahwa politisi sipil sudah keluar jalur, vested-interest, dan melenceng dari apa yang seharusnya, langsung mereka turun tangan, melakukan kudeta, menyelenggarakan Pemilu, menyerahkan kembali kuasa pemerintahan ke tangan sipil, lalu mundur sementara dari politik, untuk kemudian bersiap kembali apabila inkompetensi politisi sipil meruyak.
Aneka kup militer di Thailand telah terjadi sebanyak 17 kali (sejak 1932 s.d. 1991), dan ditambah 2 yaitu 2006 dan 2014, sehingga total kup militer adalah 19 kali. Indonesia sendiri terjadi 3 Juli 1946, 17 Oktober 1952, dan 11 Maret 1966. Tahun 2000 militer Indonesia malah mengkudeta dirinya sendiri lewat formalisasi Paradigma Baru TNI. Jadi, militer Indonesia sesungguhnya lebih ‘lembut’ ketimbang Thailand. Bahkan, mayoritas warganegara Thailand jenuh dengan kup sehingga militer menghentikannya sejak 1991.
Namun, kembali mayoritas warganegara Thailand mendukung kup 2006 dan 2014 yang berlangsung tanpa pertumpahan darah. Sungguh suatu hal menarik, rakyat Thailand justru permisif atas tindakan kalangan militer terhadap politisi sipil yang mereka pilih sendiri di dalam Pemilu.
Pada tahun 2006, militer Thailand secara terbuka melakukan kudeta atas pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra. Kudeta ini tanpa pertumpahan darah, dengan mana kemudia militer Thailand segera mendeklarasikan martial law dan mengumumkan diri mereka sebagai pemerintahan interim.
Pada tahun 2014 kembali militer melakukan kudeta atas pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra (adik perempuan Thaksin Shinawatra) akibat aneka faksi sipil saling bertikai tak berkesudahan akibat sengketa amandemen konstitusi. Kudeta kali ini juga berlangsung tanpa pertumpahan darah. Pertanyaannya adalah, mengapa militer Thailand bisa bertindak semacam itu?
Di Thailand ada sejumlah area yang tidak bisa disentuh oleh politisi terpilih (sipil) yaitu Monarki, Majelis Pribadi Monarki, Pengadilan, dan Militer. Keempat lembaga ini tidak peduli dengan demokrasi, mereka berdiri di luarnya, tetapi punya kepentingan atas kehidupan politik Thailand.
Asumsi utama keterlibatan militer ke dalam politik adalah apabila ada ancaman terhadap negara dan masyarakat. Militer adalah penjaga bangsa, penjamin keamanan dan stabilitas. Sejarah militer Thailand pun mirip dengan militer Indonesia. Militer Thailand adalah serupa dengan cikal-bakal TNI, mereka bagian yang turut melahirkan negara-bangsa Thailand.
Sebelum kup 2006, politisi sipil menyerahkan sepenuhnya urusan pertahanan kepada militer. Salah satu isu yang kerap menjadi dalih keterlibatan militer Thailand ke dalam proses politik adalah penyelenggaraan negara oleh politisi sipil yang dianggap kalangan militer sebagai mismanajemen dan merugikan kesejahteraan rakyat.
Dalam kasus Thaksin 2006, keputusan kudeta militer tetap diambil kendati banyak petinggi di kabinet Thaksin punya latar belakang militer. Isu yang dihembuskan militer adalah bahwa masyarakat Thailand tengah terbelah, kecurigaan menyebar luas terhadap pemerintahan Thaksin, pemulihan ketertiban dan kesejahteraan publik.
Dalam kasus kudeta 2014, Jenderal Prayuth Chan-O-Cha, mendeklarasikan kup atas Yingluck Shinawatra dengan dalih mencegah jatuhnya korban jiwa dan eskalasi konflik, memelihara perdamaian dan keteraturan, dan menghindarkan Thailand dari chaos seperti terjadi di Suriah, Libia, dan Iraq.
Latar Historis Militer Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Hubungan sipil militer di Indonesia cukup rumit dalam arti sulit untuk melakukan kapling di sini militer dan di sana sipil. Hubungan sipil militer Indonesia berkelindan, terjadi proses saling pengaruh setara antara kedua kutub politik.
Sejak berdirinya negara, proses politik yang dilakukan Indonesia tidak lebih dari kolaborasi setara antara elemen sipil dan militer. Sebagai akibatnya, hubungan sipil militer di Indonesia adalah persoalan yang belum pernah bisa dikatakan tuntas. Wujud kelindan rumit sipil militer bahkan pasca 1998 adalah asingnya konsep militer pensiun.
Di setiap usungan capres dan cawapres, faksi-faksi militer ada di setiap kubu capres dan cawapres. Elit militer, kendati sudah tidak aktif, masih memiliki link dengan militer aktif. Hubungan senior-junior dalam militer tidak pernah lekang, sama halnya dengan hubungan senior-junior di kalangan politisi sipil. Selalu ada mentor dan selalu ada murid. Dan, berbeda dengan Thailand, ini kurang sehat.
Peristiwa 3 Juli 1946 adalah intrusi militer atas politik negosiasi sipil yang dianggap lembek terhadap Belanda, dan pandangan ini pun dianut oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sjahrir diculik dan anasir militer laskar yang dimotori Tan Malaka lewat Mayor Sudarsono, menuntut pembubaran kabinet agar perang total terhadap Belanda bisa dilangsungkan secara leluasa, tanpa lagi embel-embel politik akomodasional dalam aneka negosiasi Sjahir dengan Belanda.
Juga, dari elemen pembentuk angkatan bersenjata Indonesia yaitu KNIL (didikan Belanda), PETA (didikan Jepang), dan Lasykar, hanya KNIL yang dapat berpikir dalam garis demarkasi urusan sipil-militer. PETA adalah elemen pembentuk TNI yang berasal dari kaum bawah, besar jumlahnya, dan politis sifatnya. Demikian pula Lasykar yang justru adalah elemen pembentuk militer Indonesia yang merupakan sayap perjuangan bersenjata partai politik: Pesindo dari garis kiri dan Hizbullah dari sayap Masyumi.
Dengan demikian dari raison d’etre nya, militer Indonesia sifatnya sudah politis dan ini terus berkembang hingga masa sekarang ini. Inilah yang mendasari Nasution (padahal ia eks KNIL) mengajukan konsep middle-way.
Juga saat pemimpin sipil Indonesia habis ditangkapi Belanda dalam Agresi Militer II, dan pemerintahan pindah dari Yogyakarta ke Bukit Tinggi (PDRI), de facto Indonesia bisa dikatakan tidak ada. Sukarno setelah penangkapannya menyatakan:
Dalam kasus Thaksin 2006, keputusan kudeta militer tetap diambil kendati banyak petinggi di kabinet Thaksin punya latar belakang militer. Isu yang dihembuskan militer adalah bahwa masyarakat Thailand tengah terbelah, kecurigaan menyebar luas terhadap pemerintahan Thaksin, pemulihan ketertiban dan kesejahteraan publik.
Dalam kasus kudeta 2014, Jenderal Prayuth Chan-O-Cha, mendeklarasikan kup atas Yingluck Shinawatra dengan dalih mencegah jatuhnya korban jiwa dan eskalasi konflik, memelihara perdamaian dan keteraturan, dan menghindarkan Thailand dari chaos seperti terjadi di Suriah, Libia, dan Iraq.
Latar Historis Militer Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Hubungan sipil militer di Indonesia cukup rumit dalam arti sulit untuk melakukan kapling di sini militer dan di sana sipil. Hubungan sipil militer Indonesia berkelindan, terjadi proses saling pengaruh setara antara kedua kutub politik.
Sejak berdirinya negara, proses politik yang dilakukan Indonesia tidak lebih dari kolaborasi setara antara elemen sipil dan militer. Sebagai akibatnya, hubungan sipil militer di Indonesia adalah persoalan yang belum pernah bisa dikatakan tuntas. Wujud kelindan rumit sipil militer bahkan pasca 1998 adalah asingnya konsep militer pensiun.
Di setiap usungan capres dan cawapres, faksi-faksi militer ada di setiap kubu capres dan cawapres. Elit militer, kendati sudah tidak aktif, masih memiliki link dengan militer aktif. Hubungan senior-junior dalam militer tidak pernah lekang, sama halnya dengan hubungan senior-junior di kalangan politisi sipil. Selalu ada mentor dan selalu ada murid. Dan, berbeda dengan Thailand, ini kurang sehat.
Peristiwa 3 Juli 1946 adalah intrusi militer atas politik negosiasi sipil yang dianggap lembek terhadap Belanda, dan pandangan ini pun dianut oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sjahrir diculik dan anasir militer laskar yang dimotori Tan Malaka lewat Mayor Sudarsono, menuntut pembubaran kabinet agar perang total terhadap Belanda bisa dilangsungkan secara leluasa, tanpa lagi embel-embel politik akomodasional dalam aneka negosiasi Sjahir dengan Belanda.
Juga, dari elemen pembentuk angkatan bersenjata Indonesia yaitu KNIL (didikan Belanda), PETA (didikan Jepang), dan Lasykar, hanya KNIL yang dapat berpikir dalam garis demarkasi urusan sipil-militer. PETA adalah elemen pembentuk TNI yang berasal dari kaum bawah, besar jumlahnya, dan politis sifatnya. Demikian pula Lasykar yang justru adalah elemen pembentuk militer Indonesia yang merupakan sayap perjuangan bersenjata partai politik: Pesindo dari garis kiri dan Hizbullah dari sayap Masyumi.
Dengan demikian dari raison d’etre nya, militer Indonesia sifatnya sudah politis dan ini terus berkembang hingga masa sekarang ini. Inilah yang mendasari Nasution (padahal ia eks KNIL) mengajukan konsep middle-way.
Juga saat pemimpin sipil Indonesia habis ditangkapi Belanda dalam Agresi Militer II, dan pemerintahan pindah dari Yogyakarta ke Bukit Tinggi (PDRI), de facto Indonesia bisa dikatakan tidak ada. Sukarno setelah penangkapannya menyatakan:
“Continue our struggle and believe that the ultimate victory is ours” dan dilanjutkan Hatta “the people must fight and and I am convinced that the entire population of Indonesia is prepared to take over the struggle form us.” [2]
Kendati hanya 6 jam menguasai Yogyakarta, serangan militer gabungan di bawah Resimen Soeharto membuktikan militer Indonesia masih ada dan siap mendepolitisasi klaim kemenangan Belanda atas pimpinan sipil Indonesia. Militer adalah sokoguru Republik Indonesia, saham historisnya cukup mahal.
Crouch menyatakan bahwa “the Indonesian army has never restricted itself to an exclusively military role.” [3] Sejak 1945-1949 militer Indonesia terlibat dalam perjuangan fisik (perang) dengan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan.
Kendati sempat sebentar ‘beristirahat’ sejak 1949, berlangsung Demokrasi Liberal yang hiruk-pikuk, mendorong militer kembali masuk politik tahun 1957, dengan pemberlakuan martial law. [4] Ini cukup mirip dengan Thailand, tetapi militer Indonesia lebih khas, mereka ikut menjalankan pemerintahan.
Sejak 1957, militer Indonesia masuk ke ranah politik (hadir di parlemen), administratif (menjadi pejabat kepala daerah dan kementerian), serta ekonomi (memimpin BUMN). Konsep dasar middle-way Nasution tidak lahir begitu saja 1957, melainkan hasil refleksi panjang sejak berdirinya Republik: Sipil tidak bisa sepenuhnya diserahi tugas mengelola negara. Apakah konsep middle-way Nasution? Ia adalah:
“to which the army would neither seek to take over the government nor remain politically inactive ... the military claimed the right to continuous representation in the government, legislature, and administration.” [5]
Selama Orde Baru, konsep ini berjalan secara konsisten sehingga Indonesia berhasil melakukan pembangunan ekonomi, menjamin stabilitas, menciptakan kelas menengah yang melimpah lewat pendidikan dan peningkatan kemakmuran.
Namun, apa yang terjadi setelah 1998? Militer seolah dibuang begitu saja dari peran sosial-politiknya. Militer Indonesia dianggap seperti “pesakitan” dan “penular penyakit otoritarian.” Jargonnya adalah militer harus kembali ke barak. Bagaimana mungkin ini bisa diterima secara rasional, padahal selama 1945 hingga 1998, militer adalah sokoguru penting republik, baik dalam konteks pertahanan, keamanan, maupun stabilisator sosial-politik negeri ini.
Modernisasi Indonesia sejak 1967 adalah buah dari aneka seminar dan perencanaan pembangunan yang justru dimotori militer. Teknokrat sipil dari aneka disiplin ilmu diundang oleh kelompok militer yang concern dalam memodernisasi bangsa ini.
Keluarlah konsep Pembangunan Lima Tahun di awal Orde Baru, di mana Indonesia bisa melakukan pembangunan ekonomi secara sistematis, pembangunan sekolah, pembangunan jalan, pusat kesehatan, menstabilisasi potensi kekeruhan politik, dan menentukan arah negara melalui duduknya mereka di MPR dan DPR, juga eksekutif, sebagai alat kontrol euphoria politik kaum sipil yang hanya membela kepentingan parpol mereka.
Sejak tahun 1960-an, khususnya dalam Demokrasi Terpimpin, Indonesia adalah negara dengan personel militer di dalam pemerintahan, bukan negara dengan pemerintahan militer. [6] Di dalam benak militer Indonesia ada pemahaman panjang bahwa pejabat sipil secara fundamental kurang kapabel dalam menjalankan negara. Ini akibat para pejabat sipil tersebut mudah terbelah dalam kepentingan yang sempit dan sektoral.[7]
Pandangan seperti ini lumrah untuk pernah diutarakan Jenderal Sudirman, A.H. Nasution, dan Soeharto. Inilah maka pada 1992 setengah bupati di Indonesia adalah militer dan sepertiga dari gubernur provinsi adalah militer. Namun, akibat merenggangnya hubungan Soeharto dengan militer di pertengahan dan akhir 1990-an, militer harus berpikir ulang mengenai posisinya di dalam republik ini.
Kingsbury menyatakan “ ... that the state of Republic of Indonesia is not viable without the active involvement of the TNI in its political and security activities, which are inextricably linked.” [8] Indonesia tidak memiliki sejarah khusus sebagai suatu komunitas politik yang homogen. Indonesia terdiri atas aneka komunitas politik yang relatif mandiri, sebelum mereka dirusak oleh Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, bahkan jauh setelah itu, militer-lah yang merupakan kekuatan kohesif untuk merekat aneka komunitas politik yang sangat bervariasi di seluruh wilayah yang kemudian dikenal sebagai Indonesia. Efektivitas negara Indonesia baru bergerak signifikan manakala terdapat unsur militer selaku penggeraknya.
Catatan Kaki
[1] Lipikar Narayaem Lindman, Military Coups in Thailand: The Strategic Arguments to Justify a Democratic Setback (Uppsala University, Fall 2017) p. 4.
[2] O. G. Roeder, The Smiling General: President Soeharto of Indonesia, Second Revised Edition (Djakarta: Gunung Agung, 1970) p. 121.
[3] Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Singapore: Equinox Publishing, 2007) p. 24
[4] ibid.
[5] ibid.
[6] Damien Kingbury, Power Politics and Indonesian Military (London: RoutledgeCurzon, 2003) p. 7
[7] ibid.
[8] ibid. p. 12.
0 Komentar
Silakan tulis komentar Anda.