Ad Code

Otoritarianisme Itu Laten dan Lestari

Otoritarianisme itu laten dan lestari. Pernyataan ini bukan basa-basi atau anti Demokrasi. Pernyataan ini memiliki argumentasi dasar dari susunan otak manusia itu sendiri. Dalam kehidupan politik, manusia punya kecenderungan yang bersifat innate untuk menerima prinsip-prinsip Otoritarian ketimbang Demokrasi. 

Tulisan yang saya jadikan dasar adalah karya Albert Somit dan Steven Peterson, dua pemikir jujur tetapi tidak populer di Amerika Serikat karena basis argumentasinya. Hingga akhir hayat, Somit dan Peterson jarang disebut di dalam jurnal-jurnal kenamaan Amerika Serikat dan Eropa, entah karena masalah apa. Padahal Albert Somit adalah orang yang merintis munculnya Komite Riset 12 di International Political Science Association sehingga studi yang ia endorse yaitu Biopolitics menjadi bagian resmi dalam Ilmu Politik. Biopolitik membongkar motivasi dasar manusia dalam berpolitik secara gamblang dan telanjang. Saya kira cukup, dan mari sama-sama kita melakukan petualangan politik hingga ke ranah terdalam kromosom kita. 

Otoritarianisme Itu Laten dan Lestari
https://aeon.co/videos/why-plato-believed-that-philosopher-kings-not-democracy-should-run-the-state

Manusia saat berkelompok bersaing dalam memperebutkan resources yang terbatas. Perebutan tersebut akan terus berlangsung selama tidak ada individu atau kelompok yang mampu mendominasi sebagian besar lain dari anggota kelompok. Secara innate pula maka individu dalam kelompok lebih dapat menerima dominasi individu atau kelompok selain diri mereka, karena dengan adanya dominasi akan tercipta keteraturan di tengah masyarakat.

Pemikiran mengenai dominasi yang dikaitkan dengan submisi (penerimaan untuk tunduk di bawah dominasi pihak lain) berkembang dalam studi Biopolitik. Albert Somit dan Steven A. Peterson dalam kajian mereka mengenai kemunduran Demokrasi di Amerika Serikat memperingatkan adanya kecenderungan innate manusia dalam politik untuk menerima Otoritarianisme. 

Somit dan Peterson memulai argumentasinya bahwa Demokrasi, untuk mewujud, perlu sejumlah kondisi material dan sosial yang mereka sebut “enabling conditions.” Enabling conditions ini tidak secara otomatis dan alamiah tersedia di dalam suatu masyarakat. Enabling conditions ini juga tidak bisa dipaksakan oleh kekuatan politik di luar masyarakat yang menerapkan melainkan harus tumbuh secara alamiah seiring proses evolusi individu dan sosial manusia [01]. Percobaan Amerika Serikat mencangkokkan Demokrasi di Irak dan Afghanistan dinilai Somit dan Peterson telah gagal. Spesies rakyat Irak dan Afghanistan asing dengan Demokrasi karena telah memiliki jenis kekuasaan tradisi mereka sendiri. 

Mengapa enabling conditions tersebut tidak otomatis dan alamiah tersedia? Somit dan Peterson menganggap bahwa manusia (homo sapiens) masuk kategori primata sosial dan proses evolusi membawa kecenderungan innate atas sistem sosial dan politik yang tersusun secara hirarkis. Juga, kecenderungan yang bersifat innate atas perilaku dominasi dan submisi [02]. 

Sebab itu, menurut Somit dan Peterson, homo sapiens amat sulit menerima Demokrasi sebagai sebuah sistem yang langsung bisa diimplementasikan secara revolutif. Bahkan, Jean-Jacques Rousseau menyatakan bahwa karena "kemustahilannya" diterapkan secara ideal, menyebut Demokrasi hanya cocok untuk pemerintahan Para Dewa. Inilah yang mendorong Somit dan Peterson menyimpulkan bahwa Otoritarian adalah sistem model dan sistem politik terbanyak yang dianut di seluruh dunia, lebih stabil, ketimbang Demokrasi yang baru-baru ini saja menampakkan perkembangan dan cenderung kurang stabil.

Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, baik yang berkenaan dengan studi-studi etologi maupun neurosains, Somit dan Peterson menyimpulkan bahwa Otoritarianisme adalah model default cara memerintah. Otoritarianisme sejalan dengan kecenderungan innate dalam manusia yang merupakan unsur bawaan dari proses evolusi mereka sekurangnya sejak 200 ribu tahun saat kelompok pertama spesies manusia mulai berkembang dan berkelompok. Demokrasi justru menentang kecenderungan innate manusia akan dominasi, submisi, dan pemposisian hubungan antarmanusia yang hirarkis. Somit dan Peterson menulis:

“Biologically speaking, humans are social primates ... evolution has endowed the social primates with an innate predisposition ... for hierarchical social dan political structures. That is, social primates almost invariably form groups, troops, tribes, and societies characterized by marked individual differences in terms of status, dominance and submission, command and obedience, and by unequal access to many of the good things of life. Sad to say, the primary reason for the prevalence of authoritarian governments, for the rarity of democracy, and for why democracy demand such special enabling conditions is to be found not in our stars but in our genes.” [03]
[Secara biologis, manusia adalah primata sosial ... evolusi telah memberkahi aneka primata sosial dengan kecenderungan bawaan ... untuk struktur sosial dan politik yang sifatnya hirarkis. Artinya, primata sosial hampir selalu membentuk kelompok, pasukan, suku, dan masyarakat yang selalu ditandai oleh adanya perbedaan individu baik dalam hal status, dominasi dan submisi, pemberian perintah dan kepatuhan yang diperintah, dan akses yang tidak merata atas aneka komoditas kehidupan. Cukup sedih untuk dinyatakan, alasan utama lazimnya eksistensi pemerintahan otoriter, langkanya demokrasi, dan mengapa demokrasi menuntut “special enabling conditions” yang ditemukan bukan di antara bintang-bintang tetapi di dalam gen kita.]

Somit dan Peterson tidak menentang Demokrasi, dan argumentasi ini didasarkan oleh keunikan homo sapiens yang tidak dimiliki primata besar lain (simpanse, bonobo, gorilla) yaitu kapasitas untuk mencipta, menerima, dan bertindak atas dasar kepercayaan dan nilai-nilai, kendati keduanya (kepercayaan dan nilai-nilai) tersebut bertentangan dengan kecenderungan bawaan bahkan pilihan pribadi homo sapiens sendiri [04]. 

Somit dan Perterson pun menekankan bahwa manusia berbeda dengan primata besar lain, karena homo sapiens secara evolutif mampu mengembangkan kemampuan melawan kecenderungan biologis yang inheren dalam proses evolusi. Kemampuan homo sapiens untuk melawan bawaan alamiah inilah yang mendorong manusia mampu menerima Demokrasi, di luar kecenderungan alamiah mereka untuk terus secara otomatis menerima model kepemimpinan Otoritarian.

Namun, penerimaan manusia atas Demokrasi selalu disertai dengan kecenderungan alamiah manusia yang selalu bekerja, sadar ataupun tidak sadar, untuk menolak Demokrasi. Somit dan Peterson menyebut ini sebagai bias warisan proses evolusi. Nilai-nilai, kepercayaan, kondisi sosial, dan kondisi politik yang Otoritarian lebih mudah diterima oleh manusia karena sejalan dengan kecenderungan bawaan mereka ketimbang Demokrasi yang cenderung melawan kecenderungan alamiah ini [05].

Evolusi Manusia

Teori evolusi tidak sesederhana yang populer di "pasar pemikiran mainstream" yaitu manusia keturunan kera" atau "Tuhan Itu Tidak Ada." Persoalan tidak sesederhana itu, ibarat 1 + 1 = 2 atau hitam berbeda dengan putih! Dasar dari kalangan Biopolitik Neo-Darwinis mengenai kecenderungan manusia pada Otoritarianisme dapat dijelaskan sebagai berikut. 

Somit dan Peterson menyatakan Teori Darwin didasarkan atas 2 proposisi sederhana: Pertama, terdapat variasi antar makhluk hidup di dalam suatu spesies; Kedua, variasi antarindividu dalam satu spesies memberi keuntungan bertahan hidup yaitu bagi mereka yang memilikinya dan sebab itu terpilih oleh alam untuk bertahan [06]. 

Singkatnya, kata kunci dalam memahami evolusi adalah variasi dan seleksi. Variasi dan seleksi ini menjadi penting manakala populasi suatu spesies cenderung berkembang biak lebih cepat ketimbang kemampuan alam menyediakan kebutuhan hidup mereka (makanan, tempat tinggal). Hanya varian individu yang kuat akan mampu bertahan dalam lingkungan, sementara yang tidak akan terbuang dengan aneka cara [07].

Karakteristik yang sesuai dengan lingkungan dan mampu memberi nilai bertahan hidup satu organisme disebut adaptasi. Organisme yang terbaik dalam beradaptasi atas lingkungan yang dapat bertahan hidup dan mereproduksi dirinya. Kemampuan beradaptasi ini kemudian diturunkan kepada individu yang mewarisi genetika mereka. Semakin lama organisme ini mengembangkan kemampuan adaptasi tersebut ke arah yang lebih canggih dan lebih punya kemampuan bertahan hidup. Kemampuan adaptasi ini pun disebarkan kepada seluruh spesies tempat organisme tersebut berkelompok.

Persoalannya, bagaimana mekanisme adaptasi ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lain [08]. Darwin tidak punya jawaban atas hal ini melainkan Gregor Mendel. Dari Mendel pula diketahui bahwa gen adalah ‘cetak biru’ spesies yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya suatu spesies. Somit dan Peterson menyatakan sejumlah biolog seperti R. A. Fisher, J. B.S. Haldane, dan Sewall Wright mengaitkan antara seleksi alam yang dikembangkan Darwin dengan genetika Mendel. Hasil pengaitan antara keduanya disebut sebagai Teori Evolusi Sintetik [09]. 

Dari teori ini maka dapat dijelaskan bahwa spesies memiliki kemampuan untuk terus memperbaiki diri dalam mekanisme adaptasinya melalui transmisi terus-menerus gen mereka dari satu generasi ke generasi lain. Generasi yang lebih kemudian lebih baik dalam mekanisme adaptasi ketimbang generasi sebelumnya. Inilah pula yang membuat manusia sebagai spesies dengan kemampuan adaptasi yang jauh melebihi organisme-organisme lain.

Penyempurnaan kemampuan adaptasi dari satu generasi ke generasi lain, secara ilmu sosial (yang dipengaruhi biologi) disebut Teori Inclusive Fitness [10]. Teori ini menyatakan bahwa evolusi membuka ruang bagi organisme ke arah cara perilaku yang memungkinkan mereka memaksimalisi jumlah gen mereka ditransmisikan kepada generasi penerusnya. Inclusive Fitness dicapai lewat dua cara. Pertama, meneruskan gen mereka secara langsung, yang biasa disebut keberhasilan reproduksi individual. Kedua, melanjutkan keberhasilan reproduktif pada kerabat mereka, dengan siapa mereka saling berbagi gen [11].

Dasar Otoritarianisme

Somit dan Peterson menyatakan bahwa seluruh primata sosial menunjukkan perilaku dominasi. Mereka hidup dalam struktur sosial dan politik yang sifatnya hirarkis. Sebab itu, bagi keduanya, hirarki adalah karakteristik paling meresap dan tersebar di organisasi sosial dan politik manusia [12].

Menurut Somit dan Paterson, “dominance is normally defined as a relationship, among members of the same species, in which there is a high probability that the dominant animal will have preferential access to some good to which its fellow speciates also aspire.” [13] Good – komoditas yang sama-sama diinginkan juga dibutuhkan oleh seluruh anggota spesies – jumlahnya terbatas. 

Namun, agar akses kepada komoditas tersebut dapat diperoleh secara tertib, individu dominan umumnya mengatur. Mereka biasanya memperoleh terlebih dahulu baru kemudian mengalokasikannya kepada individu lain. Keteraturan ini terjadi apabila telah terjadi mekanisme dominasi-submisi. Tanpa dominasi-submisi, akses kepada komoditas akan selalu kacau karena melibatkan perebutan disertai kekerasan fisik.

Dalam studi etologi, dominasi diperoleh lewat aneka cara, bergantung pada jenis spesies dan situasi yang melingkupi. Perkelahian fisik adalah yang paling umum dilakukan seluruh makhluk hidup dalam memperebutkan komoditas langka [14]. Namun, cara ini memunculkan risiko atas seluruh pihak yang terlibat, yang berkisar antara cedera hingga kematian. 

Cara lain munculnya dominasi adalah lewat ancaman dan unjuk diri. Individu yang lebih lemah atau lebih kecil biasanya ‘kabur’ saat yang lebih kuat dan besar unjuk diri dan melakukan ancaman. Berbeda dengan perkelahian fisik, cara ini lebih minimal dalam risiko dan lebih menjamin munculnya tertib sosial dalam sejumlah hal berikut: Bagi kedua individu (dominan dan subordinat tidak punya resiko fisik; Individu dominan memperoleh akses atas komoditas; Individu yang kalah (submisi) kabur, untuk sementara kehilangan akses, dan di masa datang setelah ia lebih kuat mungkin punya kesempatan merebut dominasi [15]. 

Dominasi juga bisa diperoleh lewat pewarisan genetis – dalam komunitas simpanse biasanya dari garis ibu, dalam komunitas manusia biasanya dari garis ayah – kendati dalam konteks pewarisan ini umum terjadi para keturunan dari garis ibu atau ayah yang kurang dominan membentuk aliansi untuk merebut dominasi [16]. Cara lain dalam memperoleh dominasi adalah lewat kombinasi ancaman, kekuatan, dan aliansi [17]. Aliansi dengan satu atau lebih pengikut kerap ditunjukkan oleh komunitas simpanse, juga manusia, dalam merebut dominasi dari invidu dominan (alpha-male). Frans de Waal mengamati bahwa aliansi di antara simpanse kerap terbentuk dan terpecah, yang secara etologis mirip dengan yang terjadi di kalangan manusia [18].

Persoalan selanjutnya, selain karena unsur innate, mengapa manusia mau menerima Dominasi individu atau kelompok lain? Somit dan Peterson menjawab secara singkat: Dominasi berhubungan erat dengan prediktabilitas [19]. Somit dan Peterson melanjutkan:

“Dominance relations yield predictability. Individuals soon learn where they stand with one another with respect to access to valued resources. As a consequence, there is no need constantly to dispute who is to get what, disputes that, at best, would entail repeated and possibly substantial investments of energy and, at worst, repeated risks on injury or death. Dominance furthers predictability and predictability, in turn, benefits both the dominant and the subordinate. The former gains the desired resource … at no greater cost than a possible threat or two; the subordinate, … escapes a clash that might otherwise reduce or literally end his/her reproductive possibilities.” [20]
[Hubungan dominasi menghasilkan prediktabilitas. Individu dapat segera belajar di mana posisi mereka satu sama lain sehubungan akses menuju sumberdaya yan bernilai. Konsekuensinya – dari dominasi ini – tidak perlu ada lagi sengketa terus-menerus seputar siapa dapat apa, sengketa yang, paling banter, akan memerlukan investasi energi berlipat-ganda dan, paling buruk, risiko berulang bagi terjadinya cedera atau kematian. Dominasi menghasilkan prediktabilitas dan prediktabilitas, pada gilirannya, menguntungkan baik pihak dominan maupun subordinatnya. Pihak pertama (Dominan) mendapatkan sumber daya yang diinginkan ... tanpa risiko lebih besar ketimbang satu dua ancaman yang mungkin ada; Subordinat, lolos dari bentrokan yang mungkin mengurangi atau secara harfiah mengakhiri kemungkinkan reproduksi mereka.]

Adanya dominasi menguntungkan seluruh pihak, baik pihak Dominan maupun Subordinat. Sengketa yang melelahkan dalam perebutan komoditas tidak terjadi manakala ada pihak Dominan dan lainnya bersedia menjadi Subordinat.

Dominasi sebagai unsur innate dalam masyarakat manusia tidak berhenti di situ. Dominasi melahirkan Hirarki linier, dengan mana setiap hewan (termasuk manusia) diberi peringkat dari pucuk (top) atau alpha ke bawah atau omega [21]. Hirarki linier ini lebih mungkin terjadi di lingkup primata besar non manusia. Khusus untuk kelompok manusia (homo sapiens) masyarakatnya lebih kompleks [22]. Hirarki (sebagai hasil dominasi) kerap baru tersusun akibat terjadinya aliansi dan koalisi dari sejumlah individu dalam spesies, baik hewan maupun manusia. Namun, tetap dari aliansi dan koalisi ini muncul satu individu yang lebih Dominan daripada anggota kelompok aliansi ataupun koalisinya.

Hirarki yang terbentuk mendorong terciptanya stabilitas. Stabilitas ini kondusif untuk terjadinya reproduksi sukses di antara para anggota masyarakat. Somit dan Peterson menyatakan:

“However, whether a society is characterized by a linear hierarchy or by a more complex coalition structure, the net result is essentially the same in evolutionary terms. Hierarchy leads to social stability, and stability – on balance – is conducive to more successful reproduction among the members of that society. Hierarchy, an outgrowth of dominance relations among a social species, functions to enhance the likehood that the individuals who constitute that species will optimize their inclusive fitness. The direct benefit is to the individual – but the group and, ultimately the species may itself also gain thereby.” [23]
[“Namun, apakah masyarakat dicirikan hierarki linier atau oleh struktur koalisi yang lebih kompleks, hasil akhirnya pada dasarnya sama dalam konteks evolusi. Hirarki mengarahkan terciptanya stabilitas sosial, dan stabilitas – sebagai imbalannya – kondusif untuk reproduksi yang lebih sukses di antara anggota masyarakat itu. Hirarki, sebagai kembangan hubungan dominasi antar spesies sosial, berfungsi menguatkan kesamaan bahwa aneka individu yang membentuk spesies akan mengoptimalkan inclusive fitness mereka. Manfaat langsung tentu bagi individu – tetapi kelompok, dan juga, spesies itu sendiri pun turut menikmatinya."]

Hirarki, ketimbang ditolak, justru lebih merupakan ciri bawaan dari struktur sosial dan politik masyarakat manusia. Hirarki mengarahkan pada munculnya stabilitas di dalam masyarakat. Stabilitas tersebut beranjak dari individu, kelompok, hingga spesies (sejumlah besar manusia yang menyatukan di ke dalam masyarakat.

Jika Dominasi mengarahkan pada munculnya hirarki, maka submisi (pihak yang menerima Dominasi) pasti punya alasannya tersendiri. Somit dan Peterson kembali mengemukakan aspek innate lain dari primata besar (termasuk manusia) yaitu obedience (kepatuhan). Mengenai kepatuhan ini, Somit dan Peterson menyatakan:

“... among our species’ most powerful and persistent evolutionary legacies is a readiness to give “obedience to those in authority” ... a readiness hardly conducive to either the emergence or the survival of democratic governance, a readiness evidenced by the world around us and by research findings ... Not all obedience ... can reasonably be attributed solely to an evolutionarily derived predispotition. Some act of obedience are no doubt voluntarily in that we obey a law or a command because we think the action requested is right, moral, or desirable: possesing freedom of choice, we would take the same action, even if not commanded to do so.” [24]
[... di antara warisan evolusi spesies kita yang paling kuat dan persisten adalah kesiapan untuk memberikan" kepatuhan kepada mereka yang berwenang "... kesiapan yang tidak kondusif baik bagi kemunculan atau kelangsungan hidup pemerintahan yang demokratis, kesiapan yang dibuktikan oleh dunia. di sekitar kita dan oleh temuan penelitian ... Tidak semua kepatuhan ... dapat secara wajar dikaitkan semata-mata dengan kecenderungan yang diturunkan secara evolusioner. Beberapa tindakan kepatuhan tidak diragukan lagi adalah sukarela karena kita mematuhi hukum atau perintah karena kita berpikir tindakan yang diminta itu benar, bermoral, atau diinginkan: memiliki kebebasan memilih, kita akan mengambil tindakan yang sama, bahkan jika tidak diperintahkan untuk melakukannya .]

Kepatuhan ini, tentu tidak aneh apabila terjadi dalam hubungan Hirarkis yang kerap ditemukan dalam pemerintahan Otoritarian. Namun, bagi Somit dan Peterson, kepatuhan ini pun dapat menjadi aset dasar dari tumbuhnya Demokrasi. Demokrasi menekankan pentingnya rule of law. Rule of law baru bisa berharga dan dinilai tinggi apabila masyarakat yang diaturnya mematuhi. Akhirnya, Somit dan Peterson menyatakan bahwa hubungan Dominasi, sistem sosial Hirarkis, dan kepatuhan sebagai tiga unsur innate dalam manusia yang merupakan karakteristik homo sapiens:

“Obedience is thus a behavioral correlate of dominance and hierarchy. If inclusive fitness is to be optimized, a social species must evolve all three behaviors – dominance relations, hierarchical social systems, and obedience. All three, surely, are characteristic of Homo Sapiens.” [25]
[Ketaatan karenanya berkorelasi perilaku dominasi dan hierarki. Jika kebugaran inklusif harus dioptimalkan, spesies sosial harus mengembangkan ketiga perilaku - hubungan dominasi, sistem sosial hierarkis, dan kepatuhan. Ketiganya, tentu saja, adalah ciri khas Homo Sapiens.]

Berdasarkan analisis Somit and Peterson maka penulis bukannya hendak mengajukan pikiran positif atau negatif, optimis atau pesimis. Otoritarianisme itu tidak hanya berkembang di mereka yang memiliki kekuasaan melainkan juga “rakyat” atau spesies yang menjadi subyek kekuasaan mereka. Tujuan utama dari seluruh spesies adalah keadilan dan kesejahteraan dalam mengakses resources senada dengan bunyi sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Bagi spesies yang berposisi sebagai “yang diperintah” maka demokrasi, otoritarianisme, oligarki, mobokrasi, plutokrasi, dan sejenisnya hanya tinggal kata-kata rumit tanpa arti jika resources tetap langka atau sulit mereka peroleh. 

Bagi spesies, manakala suatu rezim pemerintahan mampu mewujudkan “keadilan” dan “sejahtera” bagi semua, spesies tidak akan ambil pusing apakah mereka menerapkan Otoritarianisme atau tidak. Jika disuruh memilih melalui polling apakah spesies memilih Demokrasi tapi keadilan dan kesejahteraan timpang ataukah memilih Otoritarianisme tapi keadilan dan kesejahteraan cenderung merata (ukur dengan Indeks Gini), penulis berani berpendapat bahwa spesies rakyat Indonesia akan memilih Otoritarianisme.

Kepentingan spesies penguasa dan spesies rakyat adalah sama, akses atas resources (pangan, sandang, papan). Selama itu terpenuhi, tidak akan ada persoalan apakah pemerintahan yang berlangsung Demokrasi atau Otoritarianisme. “Perut kenyang, baju punya, dan rumah punya” saya kira secara subsisten cukup bagi spesies rakyat yang 85% untuk tidak ambil pusing masalah jenis kekuasaan apa yang berlangsung. Bagaimana menurut Anda?



Catatan Kaki

[0] Albert Somit and Steven A. Peterson, The Failure of Democratic Nation Building: Ideology Meets Evolution (New York – Hampshire: Palgrave MacMillan, 2005) p. 1.

[02] ibid.

[03] ibid., p. 3.

[04] ibid.

[05] ibid. p. 4.

[06] ibid., p. 9-10.

[07] ibid., p. 10.

[08] ibid.

[09] ibid.

[10] ibid., p. 11.

[11] ibid.

[12] ibid.

[13] ibid.

[14] ibid.

[15] ibid., p. 11-12.

[16] ibid., p. 12.

[17] ibid.

[18] ibid.

[19] ibid.

[20] ibid.

[21] ibid., p. 13.

[22] ibid.

[23] ibid.

[24] ibid, p. 16

[25] ibid.

Posting Komentar

0 Komentar