Ad Code

Sirkulasi Elit di Kediktatoran Angkatan Darat Indonesia 1960an

Dalam situasi politik sipil yang ambigu, chaos, dead-lock, dan terdapat potensi kuat untuk terjadinya Perang Sipil, militer umumnya melibatkan diri ke dalam masalah politik. Keterlibatan ini bahkan telah menjadi "kebiasaan" di Thailand, di mana militer kerap mengambil-alih kuasa pemerintahan dari tangan Perdana Menteri yang berasal dari sipil akibat suatu pertimbangan. 

Thaksin Shinawatra dan adiknya, Yingluck Shinawatra adalah dua contoh Perdana Menteri terpilih Thailand yang mengalami kudeta militer. Namun, militer Thailand kemudian mengembalikan kuasa pemerintahan ke tangan sipil apabila dinilai situasi sudah kondusif dan apa yang menjadi kepentingan militer bagi Thailand sebagai negara, mulai diperhatikan. 

Hal seperti ini pun pernah terjadi di Indonesia dalam kurun Oktober 1965 setelah ditemukan jenasah 6 jenderal Angkatan Darat dan 1 perwira menengah, hingga 1968 dengan mana Soeharto diangkat sebagai Presiden oleh Ketua MPRS saat itu yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution. 

Di antara kedua kurun ini, kediktatoran militer, khususnya Angkatan Darat, menunjukkan manifestasinya yang paling nyata. Saya tidak akan berbicara mengenai baik atau buruk suatu kediktatoran, karena politik selalu didorong oleh insting purba hasil proses evolusi yang terekam secara sangat baik dalam Sistem Limbik Otak Manusia. Baik kalangan sipil maupun militer adalah sama-sama manusia dan sebab itu sama-sama memiliki insting politik karena sama-sama pula memiliki Sistem Limbik di otak mereka masing-masing. 

Saya hanya hendak menyatakan bahwa dorongan utama dalam politik adalah menciptakan akses yang adil atas resources (misalnya pangan, sandang, papan) bagi seluruh spesies Homo sapiens. "Rakyat" Indonesia seluruhnya adalah spesies Homo sapiens dan sebab itu kepentingan mereka adalah sama, baik dengan elit politik sipil ataupun militer: Akses atas resources. 

Apabila terjadi kondisi turmoil (pergolakan) maka akses atas resources otomatis akan terganggu. Harga sembako mahal, harga bahan bakar mahal, inflasi merusak daya beli masyarakat, konflik antar alpha male hirarki-hirarki politik yang tiada berkesudahan, membuat sebagian pihak merasa bosan, kesal, dan munculah dorongan bertindak untuk memperbaiki situasi turmoil tadi. Di sinilah peran Kediktatoran Militer a.k.a. Angkatan Darat menemui relevansinya. 

Sirkulasi Elit di Kediktatoran Angkatan Darat Indonesia 1960an - seta basri tetap menulis
Alpha Male Lama Bercengkerama dengan Calon Alpha Male Baru
Foto dari: https://www.law-justice.co/artikel/131062/kisah-soeharto-dipecat-nasution--ditempeleng-ahmad-yani-lalu-berkuasa/

Tanggal 1 Oktober 1965 terjadi upaya "penyelamatan negara "oleh Dewan Revolusi. Dekrit Dewan Revolusi ditandatangani Letnan Kolonel Untung Samsuri (Lomandan Gerakan 30 September), Brigadir Jenderal Supardjo, Letnan Kolonel (udara) Heru Atmodjo, Kolonel (laut) Ranu Sunardi, dan Ajun Komisaris Senior (polisi) Anwas Tanuadidjaja. Untung menjadi Ketua Dewan sementara para penandatangan lainnya adalah deputi kendati Heru, Ranu, dan Anwas menyatakan diri tidak tahu skenarionya. 

Mereka mengeluarkan daftar nama Dewan Revolusi yang menyebutkan bahwa Kabinet Dwikora tetap aktif (kecuali Chaerul Saleh, karena ia tokoh Partai Murba, musuh historis PKI), dan daftar tersebut tidak berisi nama Sukarno.[01] Mayor Jenderal Soeharto membalas dengan statement Untung bahwa Dewan Revolusi adalah Kontra Revolusi dan Anti Sukarno. Soeharto segera mengerahkan pasukan Kostrad guna melakukan pembersihan hingga ke Pangkalan Angkatan Udara di Halim Perdanakusumah. 

Gerakan 30 September begitu cepat dilumpuhkan, yang bagi para "pembenci" Soeharto diasumsikan memang sengaja dirancang untuk gagal. Namun, G30S 1965 memang suatu gerakan yang "tanggung", "malu-malu", "berahasia terlalu berlebihan", "tidak profesional" karena sipil seperti Syam bin Abu Mubaidah mengapa harus mengambil keputusan militer? 

Penjelasan ini dapat Anda peroleh dari buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto . Roosa menyebut Soeharto bukan perencana G30S karena G30S akan gagal dengan sendirinya karena alur komando yang kacau, overlaping komando bidang sipil dan militer, dan akhirnya ambruk dengan sendirinya karena "kebodohannya" sendiri, juga kementahan para perencananya: Aidit - Biro Khusus PKI - Kwartet Perwira Militer. 

Namun, sejarah 30 September 1965 menciptakan efek panjang dan buram bahkan hingga saya tulis. Spekulasi banyak beredar pengenai siapa perencana, yang kadang satu sama lain saling bertentangan.  Hanya tersedia sejumlah hipotesis dalam menjelaskan peristiwa tersebut yang di antaranya banyak bersumber dari karya Harold Crouch yang dikutip selanjutnya. [02] 

Hipotesis Pertama menyebutkan PKI adalah dalang dari coup d’etat yang dilakukan Dewan Revolusi dan ini adalah versi resmi Angkatan Darat yang memegang kekuasaan pasca tumbangnya Sukarno. 

Hipotesis Kedua menyatakan PKI tidak punya peran dalam perencanaan kudeta dan penjelasan ini diwakili Ben Anderson dan Ruth McVey, dimana Anderson and McVey berpendapat bahwa Gerakan 30 September 1965 tidak lebih merupakan konflik internal di tubuh Angkatan Darat di mana perwira menengah muda di Jawa kecewa dengan para perwira militer di Jakarta yang berperilaku koruptif dan tidak menyokong mereka yang tengah berkonfrontasi melawan Malaysia di perbatasan Kalimantan. Bagi Anderson dan McVey, PKI tidak perlu melakukan kudeta karena mereka dalam posisi aman, menguasai birokrasi, dan dekat dengan Sukarno.

Hipotesis Ketiga menyatakan kudeta dilakukan atas jaminan dari Sukarno, yang diantaranya diajukan A.C.A. Dake berdasarkan testimoni Mahmilub dari ajudan Sukarno, Kolonel Bambang Widjanarko. Sukarno merestui apa yang akan dilakukan oleh Letnan Kolonel Untung untuk melakukan pembersihan Dewan Jenderal. 

Hipotesis Keempat diajukan oleh W.F. Wertheim yang menyatakan bahwa otak Gerakan 30 September adalah Sjam, dan Sjam ini merupakan agen Angkatan Darat yang fungsinya memprovokasi PKI. Wertheim menolak kemungkinan Sjam sebagai agen PKI. Lewan Sjam, Angkatan Darat mencekoki Aidit dengan isu Dewan Jenderal dan perwira menengah progresif tersedia untuk mendahului pembasmian atas Dewan Jenderal tersebut. Sjam menciptakan kondisi yang memadai agar tersedia cukup legitimasi bagi Angkatan Darat untuk membasmi PKI hingga ke akar-akarnya.

Mengenai masalah "hipotesis" sesungguhnya penulis telah membuat artikel tersendiri dengan mana terdapat rangkuman 7 (tujuh) hipotesis mengenai misteri Gerakan 30 September 1965. Artikel ini telah terbit dan dapat Anda cari di dalam blog ini

Mari kita lupakan sejenak "misteri" G30S 1965 dan kembali ke masalah Kediktatoran Kediktatoran militer adalah periode transisi. Kediktatoran militer resmi berlaku sejak 11 Maret 1966 saat Sukarno menandatangani Surat Perintah yang memberi kewenangan besar kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan nasional. 

Umum diketahui bahwa setelah surat ini, terjadi creeping coup atas kepemimpinan Sukarno yang klimaksnya terjadi ketika pada Maret 1967 beliau dicopot dari segala jabatannya. Peristiwa ini dikelilingi pembersihan berdarah yang dilakukan massa anti PKI yang melakukan pembersihan orang-orang yang dicurigai terlibat Partai Komunis Indonesia. Pembersihan ini menelan 200.000 hingga 300.000 nyawa. Kejayaan PKI di masa Demokrasi Terpimpin habis tanpa sisa. Konsep dwifungsi ABRI seperti digagas Nasution 11 Nopember 1958 segera memiliki media aktualisasinya, dan terus menjadi trend umum pemerintahan hingga transisi politik 1998.

Bagi Nasution – mencontoh negara-negara Amerika Latin – tentara bukan hanya penonton. Tentara di Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan menegakkan republik, membasmi pemberontakan dan separatisme, dan sebab itu harus diakomodir keberadaannya bukan hanya pada Dewan Nasional (bentukan Sukarno) melainkan di Dewan Perancang Nasional, korps diplomatik, DPR, dan di badan-badan pemerintahan lainnya. 

Selain itu, lebih lanjut Nasution memperingatkan "... jika hal itu tidak dipenuhi mungkin tentara akan melakukan reaksi menggunakan kekerasan terhadap diskriminasi para perwira militer."[03] Saham angkatan bersenjata Indonesia cukup besar dalam penentuan nasib Indonesia, khususnya tatkala para pemimpin politik sipil menyerah pada Belanda sementara Jenderal Sudirman memilih terus berjuang menegakkan kedaulatan negara dengan perang gerilya.

Pada hakikatnya, peralihan kekuasaan pasca Sukarno sepenuhnya dikendalikan sebuah junta militer dengan Soeharto sebagai pusat strategi karena ia memegang mandat Supersemar dari Sukarno. Hampir tidak ada politisi sipil yang berpengaruh di dalam peralihan kekuasaan yang sangat cepat ini. Kendati demikian, Soeharto tidak bisa sama sekali meninggalkan politisi sipil di mana pada 27 Maret 1966 kabinet baru tercipta dan mencerminkan triumvirat Soeharto – Adam Malik – Sultan Hamengkubuwono IX. Warna elit sipil sangat kental di sana, terlebih Soeharto sudah tidak mau lagi mengenakan seragam militer setelah menjadi presiden. 

Soeharto tetap memperhatikan perimbangan politik di kalangan sipil dengan tidak membumihanguskan PNI melainkan sekadar membersihkan PNI dari anasir pro Sukarno dan PKI.[04] PNI ini tetap diperlukan Soeharto untuk mengimbangi potensi Islam politik yang baru memperoleh kemenangan pasca runtuhnya PKI.

Soeharto menempatkan perwira-perwira militer di dalam posisi-posisi strategis. Strategi ini dinamakan praetorianisme yaitu tentara penjaga yang awalnya bertugas menjaga kaisar kini malah menumbangkan kaisar dan mengendalikan proses penunjukan penggantinya.[05] Hingga tahun 1971 ketika Pemilu pertama Orde Baru diadakan, prakondisi untuk melakukan autogolpe sudah dilakukan sepenuhnya oleh Soeharto sehingga MPR yang nantinya terbentuk dipastikan sepenuhnya ada di bawah pengaruh politiknya. 

Autogolpe ini dilakukan Soeharto melalui para bonding (klik kecil, tetapi kompak) yang kemudian dikenal dengan nama kelompok inti dalam dan kelompok inti luar.[06] Soeharto mulai 1971 tidak lagi memerintah sebagai seorang militer melainkan seorang militer yang berjubah sipil. Ia mengganti seragam militernya dengan seragam safari sipil atau batik. Suksesnya Pemilu 1971 menandai akhir dari Kediktatoran Militer untuk kemudian sistem politik Indonesia memasuki periode panjang Otoritarian II hingga tahun 1998.


Sumber Renungan

[01] Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, 2007) h. 97-8.

[02] ibid., p. 101-6. Keempat hipotesis yang kemudian dipaparkan diambil dari sumber ini. Setelah transisi politik 1998, banyak sekali buku yang coba kembali menelusuri sejarah gelap ini, tetapi umumnya tidak terlalu jauh dari keempat hipotesis atau modifikasi-kombinasi atas keempat hipotesis ini.

[03] David Jenkins, Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (Depok: Komunitas Bambu, 2010) h. 3.

[04] M.C. Ricklefs, Sejarah Nasional Indonesia Modern 1200 – 2004 (Jakarta: Serambi, 2008) h. 571.

[05] David Jenkins, Soeharto ..., op.cit., h. 23.

[06] Pembahasan kedua kelompok ini dilakukan jika terdapat kesempatan.

Posting Komentar

0 Komentar